Rumah Arya dan Amelia bersebelahan sejak mereka dilahirkan dan sekarang menjadi teman dekat. Arya merupakan anak yang cukup mandiri dan selalu ceria ketika bermain bersama temannya. Sedangkan Amelia, sifatnya sedikit pemalu dan selalu mengikuti Arya kemanapun ia pergi.
Tak hanya mereka berdua, orang tua mereka sama dekatnya seperti anak mereka. Sebab hal itu, orang tua mereka sepakat untuk mendaftarkan sekolah dasar yang sama agar Amelia perlahan akan dibimbing oleh Arya agar tak terlalu sering mengandalkannya.
Baik Arya maupun Amelia sangat menyetujui kesepakatan orang tuanya. Amelia tersenyum lebar, mengetahui keinginannya bersama Arya terkabulkan. Meski begitu Arya tak pernah merasa risih dan menganggap Amelia sebagai beban.
Namun disaat mereka menaiki kelas 3 SD, Amelia mendapat kabar kurang menyenangkan dari ibunya, jika ibunya mendapatkan tugas dari kantor untuk bekerja di Denmark, dan mengharuskan keluarga mereka pindah rumah.
Amelia merasa terpuruk mendengar kabar itu. Meski belakangan ini tak terlalu sering bersembunyi di belakang Arya, tetapi Amelia masih ingin bersamanya lebih lama lagi. Tugas tetaplah tugas, hal itu harus dituruti oleh Amelia mau tak mau.
Orang tua Arya telah mengetahui hal itu dan memberitahu kabar tersebut pada Arya. Setelah kabar tersebut sampai di telinga Arya, ia buru-buru mengunjungi rumah Amelia yang mana rumah mereka hanya bersebelahan.
Arya memanggil Amelia dengan teriakan cukup keras.
"Amel! Keluarlah! Aku ingin bicara denganmu!"
Sekeras apapun Arya memanggil namanya, Amelia tetap tak kunjung menampakkan wajahnya. Merasa tak enak menghiraukan sahabat anaknya, ibunya Amelia dengan baik hati menjawab teriakan dari Arya. Saat itu juga Arya berhenti teriak.
"Tante, dimana Amel? Aku ingin menemuinya." Arya berkata dengan wajah gelisah.
"Amelia sedang di kamarnya, Nak. Sepertinya ia tak akan keluar dari kamar untuk beberapa saat," ibunya menjawab dengan nada pelan. Ia merasa bersalah menceritakan hal itu pada anaknya dan kerabatnya.
"Kalau begitu, bolehkah saya membujuk Amel agar ia mau keluar dari kamarnya?" Arya masih bersikeras ingin menemui temannya. Ibunya hanya menunduk dan menghela nafas, masih memikirkan perasaan anaknya jika harus bertemu dengan temannya disaat anaknya sedang bersedih.
"Tante nggak melarang hal itu, Nak. Tapi tante sendiri masih belum tahu apakah Amel mau menemui teman atau tidak."
Arya tak memikirkan hal itu. Terlebih lagi mereka telah berteman sejak berumur 4 tahun. Dalam kondisi apapun, Amelia pasti selalu mengandalkan Arya disaat mereka sedang bersamaan. Disaat seperti inilah seharusnya Arya harus menghibur dan membantunya. Dengan kesiapan hati, Arya ingin sekali menemuinya.
"Gak apa, tan. Hanya mengizinkan saya menemui Amel itu sudah cukup. Sisanya saya bisa mengurusnya sendiri." Arya berkata dengan tekadnya yang dapat dilihat dari raut mukanya.
"Baiklah. Kamu boleh menemuinya," ibunya Amelia hanya bisa pasrah dan tak ingin membuat masalah lebih jauh. "Tapi tante ingatkan. Jika Amel sedang tak ingin menemuimu, tante ingin kamu tak memaksanya. Itu akan lebih gawat jika ia benar-benar meninggalkan keluarganya."
Meninggalkan keluarganya? Mendengar kalimat itu, Arya pikir, ia harus berhati-hati agar tak menyakiti hati Amelia dan keluarganya. Atas izin ibunya Amelia, Arya memasuki rumah dan berjalan cepat menuju kamar Amelia yang berada di lantai 2.
Sesampai di depan pintu kamarnya, Arya mendengar isak dari tangisan Amelia. Arya mengetuk pintu di depannya sebanyak 3 kali. Namun tak ada jawaban dari Amelia.
"Amel. Ini aku Arya. Aku ingin bicara denganmu." Arya terus mengetuk pintunya, berharap Amelia menjawab keinginannya. Tangisannya mendadak berhenti. Arya mendengar langkah kaki sedang menuju ke arahnya dari dalam kamar.
Setelah suara itu menghilang, pintu kamar terbuka cukup kecil. Arya hanya bisa melihat Amelia setengah badannya saja. Rambutnya berantakan, air mata di pipinya mengalir deras. Arya tahu betul perasaan Amelia saat ini.
"Pulanglah, Arya. Aku lagi gak pengen bicara denganmu."
Seumur hidupnya, baru kali ini Arya mendengar Amelia berkata seperti itu padanya. Ia merasa syok tetapi disisi lain ia berpikir bukan saatnya untuk mempermasalahkan hal itu.
"Mel, kamu bisa keluar dari kamar sebentar? Aku ingin bicara denganmu. Gak lama kok."
"Kamu gak denger ya, aku lagi gak pengen ketemu kamu. Aku lagi gak niat ketemu siapapun bahkan mereka sekalipun!" bentak Amelia, semakin kesal
Arya langsung tahu, mereka yang dimaksud ialah kedua orang tuanya. Ibunya saat ini sedang berada di ruang keluarga, lantai 1. Ayahnya masih bekerja dan selalu pulang di atas jam 9 malam.
"Tapi kenapa? Aku cuma bicara sebentar. Beneran, ini gak lama." Arya masih ngotot agar bisa berbicara 4 mata pada Amelia.
"Kalau aku bilang gak ya gak. Jangan maksa deh! Mending kamu pulang aja sebelum aku memukul tepat di wajahmu."
Untuk kedua kalinya Arya mendengar kalimat yang sama sekali tak pernah dilontarkan dari mulut Amelia. Sebisa mungkin Arya tak terbawa emosi dan tetap memaksa dengan hati dan pikiran yang tenang.
"Please 5 menit aja, atau gak 3 menit. Pokoknya sebentar, beneran. Kalo lebih dari itu, kamu boleh kembali ke kamar."
Arya masih teguh ingin berbicara dengannya. Tapi tetap saja, Amelia sedang tak menginginkan hal itu. Ia menggelengkan kepalanya dan kembali masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.
Jika sudah begini Arya tak bisa memaksa, sesuai keinginan ibunya Amelia. Dengan wajah murung, ia menuruni tangga dan kembali bertemu dengan ibunya Amelia, sedang mengusap air mata.
Setelah menuruni beberapa anak tangga, Arya menghampiri ibunya Amelia sedang duduk di depan televisi menyala seraya menangis tersedu. Melihat hal itu, dengan inisiatif sendiri, Arya mendekati ibunya Amelia dan duduk di sebelahnya. Saat itu juga, ibunya Amelia sadar jika Arya mendekatinya, sebab hawa keberadaannya cukup jelas dan menyela tangisan dari sang ibu.
Meski begitu, Arya tak tahu harus berbuat apa untuk memulai pembicaraan atau menenangkan seseorang yang menangis di sampingnya. Diumurnya yang terbilang masih muda, sejauh ini Arya selalu mengalami hal-hal menyenangkan dibanding menyedihkan. Menyadari hal itu, ia kecewa untuk apa ia mendekati ibunya Amelia tanpa melakukan apapun.
"Amel anak yang baik. Jadi kamu jangan marah padanya, Nak Arya." Ibunya Amelia mengatakan hal itu disaat ia sedang menahan tangisan. Arya terpekik, disaat ia sedang kebingungan harus mengatakan apa.
"Iya tan. Arya tau kok kalo Amelia anak yang baik. Hanya saja mungkin dia belum bisa menerima keputusan ibunya." Arya mencoba merespon pernyataan ibunya Amelia.
"Syukurlah kalo begitu. Mungkin kamu salah satu temannya yang sangat memahaminya. Atau bahkan satu-satunya. Jadi tante harap kamu bisa menerima dia dalam situasi apapun. Tante selalu percaya padamu." Meski terdengar sederhana, perkataan itu membuat hati Arya sedikit tersentuh.
Perlahan air matanya keluar, mengalir di atas pipinya. Arya tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas perkatannya. Ia hanya bisa menangis sedu sambil menyeka air mata yang ia tutupi dengan tangan kanannya. Arya sendiri merasa dirinya benar-benar tak berguna. Niat awalnya sangat berbeda dengan hasil akhirnya.
Di satu sisi, ibunya Amelia telah tak terlihat air mata, baik di pipi maupun di mata. Namun matanya masih lebam. Senyum kecilnya terlihat samar-samar, berusaha mengelus Arya yang sedang menangis setelah dirinya.
"Tante dan keluarga akan pindah ke Denmark 3 hari lagi. Mungkin ini terdengar sangat mendadak, tapi jika kamu ingin bermain dengan Amel, kamu bisa bermain dengannya sampai kamu merasa puas, meski dia merasa terganggu dengan keberadaanmu. Jika memang belum puas, kamu boleh menginap di sini sampai kami pindah. Menurut tante itu lebih, karena tante sendiri tak tahu kapan kembali lagi ke Indonesia."
"Tiga hari lagi… Jujur aja, 3 hari waktunya yang sebentar. Tapi Arya semaksimal mungkin memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk bermain bersama Amel." Arya sekejap berhenti menangis, memaksakan diri untuk berbicara meski terbata-bata.
Disisi lain, Amelia masih berada di kamarnya sedang berbaring di balik selimut seraya memegang album foto. Album itu berisikan banyak sekali foto, dari kenangannya bersama orang tuanya, temannya, saudaranya, bahkan bersama Arya. Ia terus membolak-balikkan album itu dan mengenang sedikit cerita dari foto itu.
Dari sekian banyak foto, Amelia hanya melihat foto disaat ia sedang bersama dengan Arya. Meski mereka baru berusia 8 tahun, kenangan mereka berdua bisa terbilang cukup banyak. Maka dari itu Amelia tak ingin kenangan bersama teman dekatnya terlupakan, dan mengambil gambar setiap mereka sedang melakukan hal-hal menyenangkan.
"Arya..." Tiba-tiba air matanya kembali merembah. Seprai kasur dan bantalnya basah, menyerap semua air matanya. Hanya mengingat Arya yang selalu menemani dan membantunya, ia merasa sedih telah mengabaikan bahkan akan memukul wajahnya. Bagaimanapun juga, diumurnya yang masih belum dewasa, keegoisan pasti selalu menyertainya.
Ia ingin sekali menemui Arya saat ini. Namun setelah mengatakan sesuatu yang bahkan bisa melukai hati temannya, ia merasa malu dan takut meski hanya melihat wajahnya saja. Amelia mengira setelah Arya mendapat ancaman darinya, akan menjauhi dan memusuhinya seperti anak kecil pada umumnya. Itu merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada pertemanan anak-anak.
Teman yang selalu ada untuknya, selalu membebani temannya, selalu bersembunyi di belakang temannya. Merupakan sosok Arya di pandangan Amelia yang selama ini menjadi temannya. Sejauh ini, hanya itu yang bisa dilakukan dan berikan dari Amelia. Dilihat darimana pun, pertemanan mereka seakan-akan hanya memanfaatkan keuntungan temannya saja.
Selama di sekolah pun, kemana pun perginya, Amelia selalu mengajak Arya, bahkan disaat Arya sedang bermain bersama temannya. Dari perlakuan itu, teman-teman mereka selalu mengira jika mereka telah berpacaran diumur yang masih sangat muda. Bahkan semestinya hal itu belum pantas bagi mereka berdua.
Saat di sekolah, bangku mereka bersebelahan, dan itu terjadi sejak mereka kelas 1 sampai sekarang. Mereka seakan-akan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Padahal teman mereka selalu bergantian pasangan duduk tiap minggunya. Sedekat itu pertemanan mereka, yang sering dianggap orang lain sebagai 'pasangan anak-anak'.
"Sepertinya kamu telah mendingan. Mau tante suguhkan minuman atau makanan" ibunya Amelia menawarkan Arya seakan-akan dia juga anaknya.
"Gak usah, tan. Niat Arya kesini hanya untuk menemui Amelia. Gak ada maksud lain. Mungkin Arya akan kembali besok. Ini juga udah hampir malam. Orang tua Arya pasti sedang menunggu kepulangan anaknya," entah belajar darimana, Arya bisa menolak tawaran orang lain dengan sangat baik, tanpa melukai ibunya.
"Oh.. gitu ya. Jangan segan main ke rumah. Tante pasti memuliakanmu. Hati-hati sampai rumah," perkataan ibunya seakan-akan beranggapan rumah mereka berjauhan. Setelah memastikan dirinya telah membaik, ia berjalan ke pintu depan dan berpamitan.
"Mungkin besok Arya akan menghampiri Amel sebelum berangkat sekolah. Sudah lama kami tak berangkat sekolah bareng."
"Tak apa. Jaga anak tante ya saat di perjalanan," ibunya Amelia mengijinkan Arya tanpa berpikir panjang.
"Baik tan. Sampai jumpa. Sampaikan salamku ke kak Adrian." Kemudian Arya meninggalkan rumah berlantai 2 itu dan kembali ke rumahnya.
Keesokan paginya, Arya telah siap untuk menghampiri Amelia. Bersalaman dengan orang tua dan kakaknya, mendapat uang saku sejumlah 5000 rupiah, Arya membuka pintu rumah dengan semangat yang menjiwai dan berjalan menuju rumah teman di sebelahnya. Ia menekan bel rumah itu, menunggu beberapa detik, keluarlah ayahnya Amelia, sedang keluar dari garasi mobil.
"Oh. Arya, mau berangkat bareng Amel ya? Sayangnya Amel udah sampai di sekolah sejak tadi."
"Eh?" Arya terpaku diam, mulutnya menganga.
"Kenapa Amel tiba-tiba berangkat duluan, om? Apa semalam tante gak bilang apapun sama om dan Amel?" Arya sedikit terkejut mengetahui rencananya untuk berangkat bersama Amelia mendadak gagal, tak sesuai ekspektasinya. Ayahnya Amel pun hanya bisa menggaruk kepala, tak tahu harus menjawab apa.
"Ya… Tante ada ngomong kok sama kami berdua, kalo kamu mau berangkat sekolah bareng Amel. Tapi…." Ayahnya dengan cepat menghentikan ucapannya.
"Tapi apa om? Arya ingin tahu alasannya."
"Singkatnya… Amel lagi gak ingin ketemu sama kamu dulu. Itu yang dia bilang semalaman. Bahkan tadi pagi sekali, dia membangunkan om yang masih tertidur agar bisa mengantarnya ke sekolah sebelum kamu menghampirinya." Ayahnya Amelia terpaksa menjawabnya, agar Arya tak terlalu cepat emosi hanya menunggu jawaban.
"Kenapa om gak mencegahnya? Om tahu sendiri kan, kalo kami sebenarnya sedang ada sedikit masalah. Arya sebenarnya ingin menyelesaikan masalah ini selama perjalanan."
"Om tau, tapi mau gimana lagi. Dia terus memaksa agar bisa menghindarimu untuk sementara dan tak ada satupun yang tahu alasannya dari keluarga kami. "
"Selain itu, kenapa kamu merencanakan harus menyelesaikan masalah ini selama perjalanan ke sekolah? Itu terlalu berbahaya jika kalian tak bisa menahan emosi dan berkelahi di jalanan." Ayahnya melanjutkan.
"Mau gimana lagi. Semalam Amel tak mau bicara denganku. Bahkan dia mengancam akan memukul wajahku jika memaksanya. Kalo menyelesaikan masalah ini di sekolah, itu pasti merepotkan kami. Teman-teman di kelas pasti akan terus mengganggu kami dan hasilnya pasti tak akan sesuai rencanaku."
Ayahnya Amelia terkagum mendengar alasannya. "Untuk anak seusiamu yang masih baru menaiki kelas 3 SD, sudah bisa merencanakan sebaik mungkin untuk berbaikan dengan orang lain."
"Aku anggap itu pujian, om. Tapi bukan saatnya untuk itu. Aku harus berangkat sekolah atau nanti aku bisa terlambat." Arya merasa obrolan dengan ayahnya Amelia benar-benar tak membuahkan hasil apapun. Lebih merasa nyaman jika mengobrol dengan ibunya, pikirnya.
Halo guys. Athlete vs Academician adalah novel kedua-ku setelah 'Petualangan Mavcazan'. Genre Novel ini Romance. Aku harap kalian memberi kritik dan saran, ya. Aku tahu masih banyak kekurangan dalam novel ini. Aku juga berusaha membuat novel romance ini agar tetap menghibur dan mengisi waktu luang kalian.
Thanks.
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT