Download App
91.11% Am I Normal? / Chapter 41: Hadiah Terbaik (2)

Chapter 41: Hadiah Terbaik (2)

Setelah beberapa saat, Haru pun perlahan melonggarkan pelukannya dan diikuti Daiki yang juga melakukannya dengan perlahan, sampai tangan mereka berdua sudah berada di samping tubuh masing-masing.

Mereka berdua masih belum mengucapkan sepatah kata sehingga membuat keheningan di antara kedua sejoli ini. Suara dari kendaraan kota, alunan musik dari kejauhan, dan bahkan suara dari hewan-hewan kecil di sekitaran mereka pun dapat terdengar begitu jelas pada keheningan saat ini.

Mereka berdua hanya terdiam dan tidak bergerak sedikit pun. Jika tidak terlihat kedipan mata di antara mereka, tepatnya mereka sudah seperti patung beku di tempat itu.

Dan tiba-tiba...

"Hei! Anak muda! Selamat Natal!"

Seruan dari seseorang membuat mereka berdua tersentak, lalu segera mengarahkan pandangan ke arah seorang yang berseru itu secara bersamaan.

Saat ini, mereka melihat seorang pria yang sedang mengeluarkan sebagian tubuhnya pada jendela mobil yang melaju pelan sembari tertawa aneh. Pria itu berkostum berwarna merah dengan bulu putih, dan mengenakan jenggot palsu berwarna putih yang panjang menyentuh dada, juga menutupi sebagian wajahnya.

Haru tersenyum melihat tingkah konyol dari pria itu, lalu juga berseru sembari melambai-lambaikan tangan begitu bersemangat: "Hei! Paman Santa! Jangan mabuk-mabukan!"

Kemudian, Haru menurunkan tangannya seiring dengan menghilangnya pria tadi bersama dengan mobil yang dikendarainya dari kejauhan.

"Paman?" Tanya Daiki.

Haru menolehkan wajahnya ke arah Daiki di hadapannya, dengan tersenyum lebar. "Ya. Kenapa? Bukankah tadi dia menyebut kita sebagai 'anak muda'? Bukankah itu berarti dia sudah tua?"

[ … ] "Tapi, apa masalahnya? Kenapa kau harus menanyakan hal tidak penting seperti itu? Hahaha". Lanjutnya seraya tertawa terbahak-bahak.

Daiki belum menunjukkan ekspresi. Haru sampai tidak dapat menebak perasaan Daiki saat ini.

Kesal? Terkejut? Ataukah senang?

Dan membuat Haru menghela napas panjang.

[ … ] "Daiki?" Panggil Haru setelahnya.

Daiki hanya terdiam, tetapi dari sorot matanya menunjukkan pertanyaan 'ada apa?'.

"Bukankah kita berjanji akan bertemu jam 8? Tapi, kenapa kau memutuskan untuk datang lebih awal?" Lanjut Haru.

Daiki mengalihkan pandangannya, lalu menjawab dengan mengecilkan suara: "Aku... aku merasa gugup. Aku tidak tau, bagaimana aku harus mengungkapkan perasaanku saat kau menanyakan perasaanku".

Mendengar ujaran itu, membuat segaris senyum terlukis indah pada raut wajah Haru yang juga semakin cerah. Haru kemudian menyentuh dagu Daiki dan membuat matanya kembali mengarah ke wajah Haru.

Itulah yang Haru harapkan. Ia ingin pandangan Daiki terus teralihkan kepadanya.

"Tapi, kau sudah melakukannya. Cukup baik. Bahkan, kau membuatku tidak dapat berkata apa-apa". Balas Haru. Pandangannya begitu dalam pada kedua mata Daiki yang sesekali berkedip lembut.

[ … ]

Beberapa detik kemudian, Daiki berseru: Ah! Aku hampir lupa!" Ia meraba-raba saku dari jaket hitamnya, lalu menarik keluar tangannya dan memperlihatkan benda kecil berwarna hitam dengan pengait perak di telapak tangannya. "Ah, ini... untukmu..."

Haru mengamati benda itu. Sebuah gelang dengan lebar sekitar satu sentimeter. Berwarna hitam dengan pengait besi berwarna perak. Dan.. "Hah!" Haru tersentak kaget, lalu dengan lemas menepuk keningnya dengan telapak tangan. "Aku lupa membeli hadiah untukmu..."

Haru mendesah kecewa kepada diri sendiri. Juga, pandangannya terus tertuju pada sebuah gelang di telapak tangan Daiki.

Daiki yang melihat Haru sedang menyesalkan diri pun perlahan menarik tangan kanannya, lalu mengenakan gelang tersebut di pergelangan tangannya. Sesudahnya, ia mengusap gelang itu dengan ibu jari, lalu berkata: "Gelangnya pas di tanganmu".

Haru yang sedari tadi terpaku memperhatikan Daiki ketika mengenakan gelang itu di pergelangan tangannya pun, segera menggenggam tangan Daiki, dan dengan mata berbinar penuh harapan, ia berkata dengan memelas: "Daiki? Ayo kita pergi untuk mencari satu untukmu..."

Daiki menghela napas. "Tidak perlu".

"Dasar keras kepala". Haru berniat untuk menarik Daiki agar ia ikut bersamanya, tetapi kaki Daiki dengan kokoh tetap berdiri di tempatnya.

"Haru..." Daiki memperlihatkan satu gelang yang mirip dengan milik Haru yang dijepit oleh kedua ujung jarinya. "Kenakan ditanganku..."

Perlahan, Haru mengambil gelang tersebut. Perasaannya tercampur aduk dan membuatnya tidak dapat berkata-kata untuk beberapa saat, dengan mata yang terus mengamati benda tersebut sebelum mengenakannya di pergelangan tangan kanan Daiki seraya tersenyum. "Kau membeli dua gelang ini... untukmu dan untukku... bukankah itu berarti, sekarang kita sudah menjadi pasangan kekasih?"

Dengan wajah memerah, Daiki mengangguk pelan.

Melihat tanggapan itu, Haru pun dibuat semakin bersemangat dengan kedua matanya yang berbinar-binar. "Bukankah itu berarti... mulai sekarang aku bisa menciummu kapan saja?!"

Daiki terkejut! Dan segera memalingkan wajah!

Kali ini, tidak hanya wajahnya saja yang memerah dan kian merona, tetapi telinganya yang putih juga mulai menunjukkan warna yang sama.

Sedang Haru yang menyaksikan pemandangan indah itu, belum mengalihkan matanya sama sekali. Bahkan membuat semangat dan juga perasaan bahagia menjadi semakin menggebu-gebu di dadanya saat ini. Seperti ingin berteriak; meloncat-loncat ke sana kemari; dan juga, perasaan menggila sudah hampir lepas kendali.

Namun, karena melihat Daiki yang tetap tenang tanpa ekspresi, membuat Haru juga ingin bersikap sama seperti Daiki. Ia ingin terlihat elegan seperti itu walaupun tidak cocok untuk sikapnya yang gemar melucu di setiap situasi.

"Hei, Daiki? Bagaimana jika kita pergi berjalan-jalan? Pemandangan di kota benar-benar indah". Ajak Haru.

"Aku juga akan mentraktirmu... kau sudah membeli gelang untukku dan giliranku untuk membeli sesuatu untukmu". Lanjutnya.

"Tidak perlu" Balas Daiki dengan nada suaranya yang datar.

Haru pun tersenyum, lalu merangkul tubuh Daiki dan mulai melangkah meninggalkan tempat ini. "Ayolah... kau tidak usah malu-malu seperti itu. Sekarang kita adalah pasangan kekasih".

Walaupun Daiki mengatakan 'tidak perlu', sepertinya hanya sekedar kata-kata saja.

Mereka berdua berjalan di tengah keramaian kota. Menyusuri jalan dengan lampu warna-warni dan melewati banyak pasangan muda-mudi. Namun, kali ini, Haru tidak perlu lagi berkecil hati dan merasa iri karena ia tidaklah lagi sendiri. Daiki sudah bersamanya saat ini. Pikir Haru. Sesekali, matanya melirik ke arah Daiki yang berada di sampingnya, yang juga sedang memaraskan senyuman tipis di wajahnya.

Daiki terlihat begitu manis.

Setelah beberapa saat menyusuri jalan yang padat dengan orang-orang yang juga menikmati malam penuh suka cita, mereka berdua pun berhenti ketika melihat pohon Natal yang cukup megah dan menjulang tinggi. Dengan lampu-lampu kuningnya dan juga beberapa dekorasi berwarna emasnya, membuat pohon Natal ini terlihat lebih memukau dari yang lainnya.

Banyak dari orang-orang mengambil gambar di pohon Natal tersebut. Dan Haru juga sedang memikirkan untuk melakukan hal yang sama, dengan memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Ah!" Haru berseru. "Daiki, tunggu di sini".

Daiki mengangguk untuk mengiyakan.

Haru pun menghampiri dua orang wanita yang juga sedang menikmati suasana di tempat ini. "Permisi? Mm... bisakah kau mengambil gambarku dan juga temanku di pohon Natal itu?... Jika kau tidak keberatan". Haru menyodorkan ponselnya sembari memaraskan senyum terbaiknya untuk meluluhkan wanita itu.

"Oh, iya. Tentu" Kata salah satu wanita itu dengan tersenyum malu-malu sembari mengambil ponsel di tangan Haru.

Haru pun terlihat senang, lalu segera menuju ke tempat Daiki diikuti dua wanita tadi.

Setelah bersama Daiki, Haru pun segera merangkul tubuh Daiki dan berbisik: "Bersiaplah untuk pengambilan gambar".

Daiki mengernyit menatap Haru, tetapi Haru segera melirik dua orang wanita di hadapan mereka yang sudah siap mengambil gambar, sebagai isyarat agar Daiki juga bersiap-siap.

Wanita itupun menghitung hingga hitungan ketiga, lalu mengklik bulatan kecil pada layar ponsel tersebut.

"Cekrek!"

Mereka mengambil gambar sebanyak tiga kali.

"Wah!" Haru kagum ketika melihat hasil dari gambar yang diambil wanita itu. "Terima kasih. Apa... hmm apa kalian ingin aku mengambil gambar kalian di sana juga?"

"Ah, tidak perlu..." Wanita itu terkekeh kecil. "Tapi, hmm, apa aku boleh meminta nomormu?"

Haru membeku sejenak, lalu melirik ke arah Daiki yang sedang menatap Haru dan juga kedua wanita itu. "Mm, maaf. Aku tidak bisa".

"Ah, aku mengerti. Aku minta maaf. Aku tidak tau jika kau sudah punya kekasih. Maafkan aku". Wanita itu membungkuk meminta maaf. "Kalau begitu, kami akan pergi ke sana dulu".

Sedang Haru, hanya tersenyum menanggapinya. Mungkin terkesan sombong karena tidak mengatakan apa-apa. Tetapi, Haru dengan sikapnya yang acuh tak acuh merasa baik-baik saja dengan bersikap seperti itu.

Kedua wanita itupun pergi setelah memberi ponsel Haru kembali.

Beberapa saat setelah kedua wanita itu pergi, Daiki mendekat. "Tidakkah kau melihat kekecewaan di wajah wanita itu?"

Haru menoleh ke arah Daiki. "Itu yang seharusnya kulakukan, bukan?"

[ … ]

"Daiki?" Panggil Haru beberapa detik kemudian. "Besok malam, aku akan ke rumah ibuku".

Daiki pun segera menoleh ke arah Haru. "Lalu?"

Haru menatapnya sesaat, lalu berkata: "Aku ingin kau ikut bersamaku".

Seketika Daiki terkejut dengan mengerutkan kening, tetapi tanpa tanggapan apapun.

"Aku mohon... " Lanjut Haru dengan mengangkat kedua keningnya—begitu berharap jika Daiki mengiyakan keinginannya.

Melihat raut wajah memelas Haru dengan matanya yang berkaca-kaca, Daiki pun mendesah berat karena tiap kali Haru menunjukkan wajah seperti itu, selalu saja membuat Daiki tidak dapat mengatakan kata 'tidak'. Dan, Haru yang melihat Daiki sudah berserah diri pun semakin dibuat bergembera!

Daiki telah memberi 'hadia terbaik' untuk Haru malam ini.

Haru tidak menginginkan apa-apa lagi...

.....

Mereka berdua menghabiskan malam ini dengan banyak tertawa. Tidak heran bagi Haru, tapi bagi Daiki sendiri, banyak tertawa membuatnya seperti tidak menjadi diri sendiri. Ataukah... karena sudah membebaskan perasaan yang terpendam cukup lama, membuatnya merasa lega dan lebih luwes untuk tertawa?

Entah. Haru tidak ingin memikirkan hal itu lebih lama lagi.

*****


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C41
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login