Sebelum kondisinya benar - benar pulih Louis tidak diijinkan meninggalkan kediaman Tanzel. Sekalipun dia memaksa, dia tidak bisa melawan jika Tanzel sudah berkehendak. Siapa pun tidak ada yang bisa melawan perintahnya.
Huh, benar - benar arogansi. Pantas saja jika cucu nya juga sangat arogan. Kakek nya saja searogan ini. Kesal Louis.
Meskipun hatinya diselimuti dengan kekesalan mendalam namun, didepan Tanzel dia tetap saja bersikap hangat. "Terima kasih atas segala bentuk perhatian Anda, Tuan Tanzel. Tapi, saya harus segera kembali ke hotel untuk mempersiapkan keberangkatan saya ke Amerika."
"Keberangkatan kamu bisa kamu tunda, Louis. Yang terpenting sekarang ini adalah kesehatan kamu. Itulah point paling penting yang harus kamu perhatikan sekarang ini."
"Tapi, Tuan Tanzel. Saya sudah merasa lebih baik."
"TIDAK ADA BANTAHAN! TIDAK ADA PENOLAKAN!" Ucap Tanzel berpadukan dengan tatapan tajam penuh perintah yang tak terbantahkan.
Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Louis. Lelah menghadapi arogansi seorang Tanzel. Apapun yang coba dia jelaskan tidak bisa mengubah keputusan seorang Tanzel.
"Tapi, Tuan Tannzel. Saya harus kembali ke Amerika sesegera mungkin."
Tanzel tampak menghembus nafas berat yang dibuang perlahan. "Beri saya satu alasan kuat supaya saya yakin bahwa kamu ini sudah benar - benar sehat sehingga bisa melakukan perjalanan jauh."
Sorry, Tuan Tanzel. Tapi, saya tidak bisa menjelaskan bahwa keadaan orang tua saya sekarang ini ...
Di suguhi wajah Louis yang tampak berfikir, Tanzel pun langsung menghardiknya dengan pertanyaan. "Ada apa, Louis? Apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak ada, Tuan Tanzel."
"Ya sudah kalau gitu lanjutkan lagi istirahat mu. Bagaimana pun juga semua kekacauan ini berawal dari pembantu saya maka saya berkewajiban penuh untuk memastikan kesehatan kamu. Saya harap kamu tidak merasa terkekang dengan sikap saya ini."
"Tentu saja tidak, Tuan Tanzel. Justru suatu kehormatan bagi saya diperhatikan secara khusus oleh Anda. Saya ucapkan terima kasih."
Tanzel langsung menepuk pelan pundak Louis. "Tidak ada ucapan terima kasih untuk yang saya lakukan ini karena ini sudah menjadi kewajiban saya. Justru saya yang berterima kasih karena kamu sudah menjaga cucu kesayangan saya dengan sangat baik."
"Begitu juga dengan saya, Tuan Tanzel."
"Baiklah, kalau begitu lanjutkan lagi istirahat mu." Beriringan dengan langkah kaki meninggalkan kamar Louis.
Tidak mau jika kepulangannya ke Amerika sampai tertunda, Louis pun berinisiatif menemui Amira. Kini, harapannya hanya bertumpukan pada kebaikan hati seorang Amira Anindita Tanzel.
Namun, niat Louis pun harus terurungkan karena Amira sudah lebih dulu meninggalkan kediaman Tanzel. Saat ini pun Amira sudah dalam perjalanan menuju Tanzel Group.
Frustasi, itulah yang Louis rasakan sementara sang ibu kembali menghubungi dan memberitahu bahwa kondisi ayahnya semakin parah. Tidak mau terjadi sesuatu yang buruk Louis pun segera meminta pada sang ibu untuk membawa ayahnya ke rumah sakit.
"Yes, Louis. Your Daddy is currently in the doctor's care." (Sudah, Louis. Sekarang ini Daddy-mu sedang dalam penanganan dokter.)
"How did that accident happen, Mom?" (Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi, Mom?)
"At that time Dad was on his way to the Osbert Company, and your Daddy decided to drive his own car. Chances are your Daddy was driving the car at high speed after getting a call from the office." (Saat itu Dad sedang dalam perjalanan menuju Osbert Company, dan Daddy-mu memutuskan untuk mengendarai mobil sendiri. Kemungkinan Daddy-mu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi setelah mendapatkan telepon dari kantor.)
"Is the office having problems, Mom?" (Apa kantor mengalami masalah, Mom?)
"Mom, I don't know, Louis. Mom, never get involved in office matters because your Daddy told you not to. Hurry over here! Dad and Mom, need your presence here." (Mom, ga tahu, Louis. Mom, tidak pernah ikut campur dalam urusan kantor karena Daddy-mu melarang. Cepatlah ke sini! Dad dan Mom, membutuhkan kehadiran mu di sini.)
"Be patient, Mom. Louis, try to come quickly." (Bersabarlah, Mom. Louis, usahakan secepatnya datang.) Yang dijawab dengan deheman, bersamaan dengan itu sambungan telepon terputus.
Tanpa Louis tahu ada seseorang yang tanpa sengaja mendengar perbincangannya di telepon. Ya, orang tersebut adalah Tanzel. Langkah kakinya mendekat berpadukan dengan tepukan lembut pada pundak Louis membuat Louis terperenyak.
Dengan segera memutar tubuhnya untuk melihat siapa kah gerangan yang sudah lancang bersikap kurang ajar. Dan alangkah terkejutnya ketika bertatapan dengan Tanzel yang menatapnya dengan sorot mata berbeda.
"Sorry, Tuan Tanzel. Saya pikir-"
"Tidak masalah, Louis."
"Apa yang membawa Tuan Tanzel kembali mendatangi kamar saya?"
Tanzel tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Louis pun tidak tahu bahwa Tanzel sedang mengulas senyum. "Pintu kamar kamu terbuka dan kebetulan saya melintas."
Mendengar penuturan Tanzel, Louis pun terperenyak. Satu hal yang kini bersarang di dalam benaknya, apakah Tanzel mendengarkan perbincangannya dengan sang ibu?
Seolah tahu dengan tatapan Louis yang menyirat banyak sekali pertanyaan. Tanzel pun menjelaskan bahwa tanpa sengaja dia telah mendengarkan perbincangan Louis di telepon, bersamaan dengan itu menepuk pelan pundak Louis. "Apa hal ini yang membuat mu ingin segera kembali ke Amerika?" Tanpa mengurasi rasa hormat, Louis langsung mengangguk.
"Jadi, Daddy kamu masuk Rumah Sakit?"
"Betul, Tuan Tanzel."
"Saya sedih mendengarnya. Daddy kamu sakit atau ... "
Dengan berat hati akhirnya Louis menceritakan kejadian sebenarnya bahwa ayah nya baru saja mengalami kecelakaan dan kondisinya sangat parah. Seketika Tanzel tersentak dengan penjelasan Louis. Tidak mau hal buruk terjadi pada ayah Louis, dia pun langsung memberi perintah pada Mirza untuk mengantarkan Louis ke Bandara.
"Saya tidak perlu supir. Saya bisa pergi sendiri, Tuan Tanzel."
"Dengar, Louis. Sebagai calon suami dari cucu kesayangan saya, Amira. Maka, tidak ada bantahan atau pun penolakan!"
"Sungguh, ini sangat berlebihan, Tuan Tanzel."
Tanzel tersenyum sembari mengantarkan Louis hingga sampai di pintu keluar. Sebelum melepas kepergian Louis, dia pun meyakinkan pada calon menantunya itu untuk tidak terlalu larut ke dalam kesedihan.
"Terima kasih, Tuan Tanzel."
"Tidak ada kata terima kasih sesama anggota keluarga sendiri. Sampaikan salam hormat saya pada orang tua kamu dan keluarga besar di sana, dan ... " jeda sejenak. Tatapan Tanzel menajam berpadukan dengan rengkuhan pada pundak Louis. "Segeralah kembali dan jemput, Amira."
Seketika hati Louis melambung tinggi. Ada kebahagiaan dan juga kesedihan yang menyergapnya secara bersamaan. "Saya harus pergi sekarang, Tuan Tanzel. Saya permisi."
"Silahkan, Louis." Lalu, memeluk Louis dengan sangat erat layaknya pelukan seorang kakek pada cucu kesayangannya. Meskipun mobil yang membawa Louis pergi sudah melewati pagar utama namun, tatapan Tanzel masih saja meremang melepas kepergiannya. Entah kenapa Tanzel merasa bahwa Louis tidak akan pernah kembali.
🍁🍁🍁
Next chapter ...