Download App
73.68% Naga Sejuta Cinta / Chapter 14: Rahasia di Balik Tabir

Chapter 14: Rahasia di Balik Tabir

Lorong-lorong gelap gua terasa semakin menyesakkan. Setiap langkah yang Reyna dan Lian ambil menggema seperti detak jantung yang tegang. Cahaya lembut dari naga perak di belakang mereka menjadi satu-satunya penuntun di tengah bayangan pekat.

Reyna melirik ke arah Lian, yang berjalan dengan pedang terhunus. "Apa kau pikir suara itu akan kembali?" tanyanya dengan nada berbisik.

Lian mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari depan. "Bayangan yang muncul tadi bukan hanya ancaman fisik. Mereka mencoba menguji kita, memanfaatkan ketakutan terdalam kita."

"Aku tidak tahu apa yang lebih menakutkan," gumam Reyna. "Makhluk-makhluk itu atau bayangan dari pikiranku sendiri."

Naga perak mendengarkan tanpa berkata apa-apa. Sorot matanya memantulkan kehangatan sekaligus ketegasan. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan pilar-pilar raksasa yang mengelilingi sebuah altar di tengahnya.

Altar itu dihiasi dengan ukiran naga yang melingkar, sisiknya tampak begitu nyata hingga seolah-olah naga itu hidup. Di atas altar, terdapat bola kristal berwarna biru muda yang memancarkan cahaya lembut.

"Ini pasti salah satu relik kuno," ujar Lian sambil mendekat. "Menurut legenda, benda-benda seperti ini menyimpan kekuatan untuk membuka tabir kebenaran."

Reyna melangkah maju dengan hati-hati, tangannya gemetar saat meraih bola kristal itu. Namun, begitu dia menyentuhnya, cahaya terang meledak dari bola itu, memaksa mereka semua mundur.

Suara lembut, namun penuh kewibawaan, terdengar di ruangan itu.

"Hanya yang berhati murni yang dapat mengungkap rahasia sejati."

Seketika, bayangan-bayangan mulai muncul di sekitar ruangan, membentuk sosok-sosok yang familiar bagi Reyna. Dia melihat keluarganya, desanya yang damai, tetapi juga kehancuran yang menimpa mereka. Air mata mengalir di pipinya saat ingatan itu kembali menyakitinya.

"Reyna!" Lian memanggil, mencoba membangunkannya dari lamunannya. "Itu hanya ilusi. Jangan biarkan dirimu terjebak!"

Namun, suara baru tiba-tiba terdengar. Kali ini, lebih tajam dan dingin. "Ilusi? Ini adalah kebenaran yang kau hindari, Reyna. Kehancuran desamu terjadi karena takdirmu yang tidak kau terima."

Reyna terdiam, tubuhnya gemetar. "Apa maksudmu?"

Naga perak melangkah maju, matanya menatap bola kristal dengan penuh kehati-hatian. "Jangan dengarkan suara itu, Reyna. Dia mencoba memanipulasi hatimu."

Tetapi suara dingin itu tertawa. "Oh, naga tua, kau tahu kebenaran sama seperti aku. Gadis ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan dia tidak punya pilihan selain menerimanya."

Ruangan mulai bergetar, dan dari dalam bayangan altar, muncul sosok hitam yang mirip Umbra, tetapi lebih besar dan lebih menakutkan.

"Ini bukan waktumu untuk mengetahui segalanya," kata makhluk itu sambil melangkah maju. "Namun, aku di sini untuk memastikan kau tidak melupakan siapa dirimu sebenarnya."

Makhluk itu menyerang tanpa peringatan, membuat Reyna, Lian, dan naga perak harus bertindak cepat untuk bertahan. Namun, serangan itu tidak hanya bersifat fisik; serangan itu menyentuh pikiran mereka, memaksa mereka menghadapi rahasia terdalam dan ketakutan yang paling tersembunyi.

Di tengah kekacauan itu, bola kristal mulai bersinar lebih terang, seolah-olah mengumpulkan kekuatan. Reyna menyadari sesuatu. "Ini bukan hanya tentang melawan bayangan ini," pikirnya. "Ini tentang menghadapi diriku sendiri."

Dengan keberanian yang baru ditemukan, dia melangkah maju, mengabaikan teriakan Lian yang memintanya berhenti. Dia meraih bola kristal itu lagi, meskipun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat.

"Jika ini adalah takdirku," bisik Reyna, "maka aku akan menghadapinya, apa pun itu."

Cahaya dari bola kristal meledak sekali lagi, kali ini lebih kuat, memaksa bayangan besar itu mundur ke dalam kegelapan. Namun, sebelum menghilang, bayangan itu berbisik, "Kami akan bertemu lagi, Reyna. Dan saat itu, kau akan mengerti segalanya."

Ruangan itu perlahan-lahan kembali tenang. Lian dan naga perak mendekati Reyna, yang jatuh berlutut di depan altar.

"Kau berhasil," kata naga perak, suaranya penuh kebanggaan. "Tapi ini baru permulaan."

Lian membantu Reyna berdiri, menatap bola kristal yang sekarang bersinar lebih lembut. "Apa yang kau lihat tadi?" tanyanya.

Reyna menggeleng, air mata masih mengalir di wajahnya. "Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa lari lagi. Aku harus tahu siapa aku sebenarnya."

Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar, seolah-olah sesuatu atau seseorang mendekat. Reyna, Lian, dan naga perak saling pandang, bersiap untuk menghadapi apa pun yang menunggu mereka.

Lorong panjang yang diterangi cahaya redup dari bola kristal di tangan Reyna semakin membawa mereka ke dalam misteri gua kuno itu. Udara terasa berat, penuh dengan energi asing yang membuat bulu kuduk berdiri. Lian memegang pedangnya erat-erat, siap menghadapi apa pun yang akan muncul dari kegelapan.

"Menurutmu, apa makhluk tadi?" tanya Reyna, suaranya serak.

"Bukan hanya bayangan," jawab naga perak yang berjalan di belakang mereka. Suaranya yang dalam memantul di dinding gua. "Dia adalah serpihan dari kegelapan yang lebih besar, bagian dari rahasia yang selama ini disembunyikan dunia ini."

Reyna menatap bola kristal di tangannya, cahaya birunya memantulkan wajahnya yang lelah namun penuh tekad. "Kalau begitu, apa yang sebenarnya disembunyikan? Mengapa aku harus menghadapinya?"

Naga perak menatap Reyna dengan pandangan lembut namun penuh kewaspadaan. "Ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, Reyna. Kau harus melihatnya sendiri. Tapi ingat, kebenaran sering kali membawa rasa sakit."

Saat mereka melangkah lebih jauh, lorong itu terbuka ke sebuah ruangan besar, dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang menceritakan kisah naga, manusia, dan konflik yang tampaknya sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah patung naga hitam yang berdiri megah, sisiknya memancarkan kilau gelap yang misterius. Matanya, yang terbuat dari permata merah darah, tampak seperti menatap langsung ke dalam jiwa mereka.

"Aku merasa kita sedang diawasi," bisik Lian, tangannya tetap di gagang pedangnya.

Reyna mendekati patung itu, matanya tertuju pada prasasti yang terukir di alasnya. Tulisannya dalam bahasa kuno, tetapi entah bagaimana Reyna bisa memahami maknanya.

"Hanya mereka yang siap menghadapi dirinya sendiri yang layak mengungkap tabir kebenaran."

"Kau membaca itu?" tanya Lian, mendekat untuk melihat.

Reyna mengangguk. "Ya. Ini seperti pesan… atau peringatan."

Tiba-tiba, ruangan itu mulai bergetar. Patung naga hitam itu memancarkan cahaya merah yang membutakan. Dari bayangannya, muncul sosok lain—naga hitam raksasa, identik dengan patung itu, tetapi hidup dan penuh kemarahan.

"Siapa yang berani memasuki tempatku tanpa izin?" raung naga itu, suaranya mengguncang dinding gua.

Lian segera berdiri di depan Reyna, pedangnya terangkat. "Kami tidak datang untuk mencari masalah. Kami hanya mencari kebenaran."

"Kebenaran?" Naga itu tertawa sinis. "Kebenaran adalah kutukan bagi mereka yang tidak siap. Berani kau mengujiku, manusia?"

Reyna melangkah maju, mengabaikan rasa takut yang mencengkeram dadanya. "Kami tidak punya pilihan. Kami butuh jawaban. Jika kau penjaga rahasia ini, maka tunjukkan jalannya."

Naga itu menatap Reyna lama, sebelum mengibaskan sayapnya yang besar. "Keberanianmu mengesankan, gadis manusia. Namun, keberanian saja tidak cukup. Kau harus membuktikan bahwa hatimu cukup kuat untuk menanggung beban kebenaran."

Ruangan itu berubah. Lantai di bawah mereka runtuh, membawa Reyna, Lian, dan naga perak ke sebuah ruang lain yang lebih gelap. Di tengahnya, terdapat cermin besar, berdiri seperti portal yang memancarkan aura dingin.

"Masuki cermin itu," kata naga hitam, muncul di sisi lain ruangan. "Di sana kau akan menghadapi bayangan dirimu sendiri. Jika kau bisa bertahan, maka rahasia ini akan menjadi milikmu."

Reyna memandang cermin itu dengan cemas, sementara Lian menggenggam bahunya. "Reyna, kau tidak harus melakukannya sendiri."

"Tapi ini takdirku," jawab Reyna, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku harus menghadapi ini, Lian. Untuk semua yang telah terjadi… untuk semua yang akan terjadi."

Reyna melangkah mendekati cermin itu. Bayangannya terlihat berbeda—matanya dipenuhi keraguan, ketakutan, dan luka. Tetapi dia tahu bahwa hanya dengan melewati ini, dia bisa menemukan jawabannya.

Dia mengulurkan tangan, menyentuh permukaan cermin yang dingin. Dalam sekejap, dia terserap ke dalamnya, menghilang dari pandangan Lian dan naga perak.

Di dalam cermin, Reyna berdiri di dunia yang aneh—gelap, tetapi penuh dengan pantulan dirinya sendiri. Bayangan-bayangan itu berbicara, mengulang setiap ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah yang pernah dia rasakan.

"Kau tidak cukup kuat."

"Kau akan gagal."

"Semua yang kau cintai akan hilang karena dirimu."

Reyna menutup telinganya, mencoba menyingkirkan suara-suara itu. Tapi semakin dia melawan, semakin keras mereka berteriak.

Sementara itu, di luar, Lian dan naga perak berdiri di depan cermin, menunggu dengan cemas. "Berapa lama dia akan di dalam sana?" tanya Lian, matanya tidak lepas dari cermin itu.

"Waktunya tidak pasti," jawab naga perak. "Itu tergantung pada seberapa kuat tekadnya."

Tiba-tiba, cermin itu bergetar, dan bayangan Reyna muncul kembali, tetapi kali ini berbeda. Matanya memancarkan cahaya biru yang sama dengan bola kristal, dan ada ketenangan baru dalam sikapnya.

"Aku tahu sekarang," kata Reyna, suaranya lembut tetapi penuh dengan kepastian. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."

Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, naga hitam muncul kembali, matanya menyala dengan intensitas yang menakutkan. "Bagus, gadis manusia. Tapi perjalananmu belum selesai. Ini baru awal dari rahasia yang lebih besar."

Hembusan angin dingin dari lorong bawah tanah menyapu wajah Reyna saat ia melangkah lebih jauh ke dalam gua. Cahaya biru dari bola kristal di tangannya menciptakan bayangan-bayangan bergerak di dinding, seolah-olah naga-naga kuno sedang mengamati setiap langkah mereka.

Di belakangnya, Lian menjaga jarak, matanya tak pernah lepas dari setiap sudut gua, sementara Naga Perak berjalan dengan tenang, tatapannya penuh waspada. Suasana semakin tegang saat mereka mencapai sebuah ruangan besar yang tampak seperti aula kerajaan kuno.

Di tengah aula, sebuah altar hitam berdiri kokoh. Di atasnya terdapat sebuah prasasti dengan ukiran rumit yang memancarkan cahaya samar, seolah berbisik rahasia kepada siapa saja yang berani mendekat.

"Tempat ini... terasa berbeda," gumam Lian sambil mengamati ruangan itu.

"Bukan hanya terasa," jawab Naga Perak. "Ini adalah pusat dari kekuatan besar. Namun, kekuatan itu hanya bisa disentuh oleh mereka yang siap menghadapi kebenaran mereka sendiri."

Reyna menatap prasasti itu dengan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kecemasan. "Apa yang tertulis di sini?" tanyanya, mengulurkan tangan untuk menyentuh ukiran-ukiran tersebut.

Saat jarinya menyentuh prasasti, sebuah getaran lembut merambat ke tubuhnya. Suara yang dalam dan bergema terdengar di pikirannya:

"Rahasia ini hanya milik mereka yang hatinya murni. Siapkan dirimu untuk menghadapi bayangan masa lalumu, atau mundurlah sekarang."

Reyna mundur selangkah, napasnya memburu. Lian segera menghampirinya, meletakkan tangan di bahunya. "Apa yang terjadi?"

"Aku... aku mendengar suara," jawab Reyna, matanya melebar. "Seperti peringatan. Sesuatu tentang bayangan masa lalu."

Naga Perak mengangguk pelan. "Itu adalah ujian. Setiap orang yang masuk ke tempat ini harus menghadapi diri mereka sendiri. Ini adalah bagian dari perjalanan untuk menemukan kebenaran."

Reyna menggigit bibirnya, matanya menatap prasasti itu dengan tekad yang tumbuh. "Aku harus melakukannya."

"Reyna, tunggu," sergah Lian. "Kita bahkan tidak tahu apa yang akan kau hadapi di sini. Ini mungkin perangkap."

"Tidak ada jalan kembali, Lian," jawab Reyna tegas. "Jika ini adalah cara untuk menemukan jawaban, maka aku harus melangkah."

Tanpa menunggu persetujuan, Reyna meletakkan kedua tangannya di atas prasasti. Cahaya biru menyala terang, menyelimuti tubuhnya, lalu menghilangkannya dalam sekejap.

"Reyna!" seru Lian, mencoba meraih tangannya, tetapi sudah terlambat.

Reyna menemukan dirinya berada di dunia lain—sebuah tempat kosong dengan langit gelap yang dipenuhi bintang-bintang redup. Di depan matanya, sosok-sosok samar mulai muncul, membentuk bayangan orang-orang yang dikenalnya: keluarganya, teman-temannya, dan... dirinya sendiri.

Sosok Reyna yang lain melangkah maju, wajahnya mencerminkan rasa sakit dan keraguan yang mendalam. "Kau pikir kau cukup kuat untuk menghadapi ini?" tanya bayangan itu, suaranya dingin.

"Aku harus," jawab Reyna, meski dadanya terasa sesak.

Bayangan itu tersenyum sinis. "Kau membawa begitu banyak beban, begitu banyak rasa bersalah. Bagaimana kau bisa melangkah maju ketika kau bahkan tidak bisa memaafkan dirimu sendiri?"

Seketika, kilasan masa lalu muncul di sekelilingnya. Kegagalan yang pernah ia alami, kehilangan yang menghantuinya, dan janji-janji yang tidak bisa ia tepati. Air mata menggenang di mata Reyna, tetapi ia tidak memalingkan wajahnya.

"Aku tidak sempurna," katanya dengan suara gemetar. "Aku membuat kesalahan, aku kehilangan orang-orang yang kucintai. Tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan terus berjalan, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit ini."

Bayangan itu menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kau mungkin lebih kuat dari yang kukira."

Saat bayangan itu menghilang, cahaya biru kembali menyelimuti Reyna, mengembalikannya ke aula.

Lian dan Naga Perak berdiri di sana, menatapnya dengan lega. "Kau berhasil," kata Naga Perak dengan nada penuh penghormatan.

Reyna mengangguk, meski tubuhnya terasa lelah. "Apa yang ada di prasasti itu... adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar. Tapi aku belum tahu apa."

Naga Perak menatapnya tajam. "Perjalanan ini baru dimulai, Reyna. Rahasia di balik tabir itu akan membawa kita ke kebenaran yang lebih besar—dan juga bahaya yang lebih gelap."


CREATORS' THOUGHTS
Oyex_Sabiansyah Oyex_Sabiansyah

Terima kasih telah mengikuti perjalanan Reyna hingga bab ini! Setiap langkahnya membawa kita lebih dekat pada kebenaran di balik legenda Naga Sejuta Cinta. Semoga kisah ini dapat menginspirasi, memikat, dan memberikan makna mendalam tentang keberanian dan cinta sejati. Tetap ikuti kisahnya di bab selanjutnya!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login