Download App
50% Ngawi's Odyssey : The Legendary Spartan / Chapter 2: Chapter 2 : Penyerangan Desa

Chapter 2: Chapter 2 : Penyerangan Desa

Malam itu, desa kecil di tepian hutan berada dalam suasana tenang. Penduduk desa, termasuk para keluarga Spartan, bersiap untuk tidur setelah seharian bekerja keras. Fuad Spartan, yang kini berusia 10 tahun, sedang bermain di halaman rumah bersama kedua adiknya, Ironi dan Rusdijoe.

"Ironi, cepat lempar bolanya ke sini!" teriak Fuad sambil berlari mengejar bola kayu yang mereka buat sendiri.

Ironi, gadis kecil berusia 8 tahun, tertawa riang sambil melempar bola itu ke arah Fuad. Rusdijoe, anak lelaki yang lebih muda, bertepuk tangan penuh semangat.

Namun, keceriaan mereka terhenti ketika terdengar bunyi dentuman keras di kejauhan. Asap hitam mulai membubung tinggi di udara, diikuti oleh suara teriakan dan benturan senjata.

"Ayah! Ibu! Apa yang terjadi?" tanya Fuad panik saat Rusdianto dan Sari bergegas keluar rumah.

"Fuad, bawa Ironi dan Rusdijoe ke tempat aman sekarang juga!" perintah Rusdianto dengan wajah tegang.

Sari memeluk anak-anaknya dengan cepat. "Ikuti apa yang Ayahmu katakan. Jangan lihat ke belakang, Fuad."

Fuad mengangguk, menggenggam tangan kedua adiknya erat-erat. "Ayo kita pergi! Kita harus cepat!"

Mereka mulai berlari ke arah hutan, sementara di belakang mereka, para Spartan dewasa, termasuk Rusdianto, sudah bersiap menghadapi para penyerang. Dentingan pedang dan teriakan perang memenuhi udara malam yang sebelumnya tenang.

Di tengah pelarian, Ironi mulai menangis ketakutan. "Fuad, aku takut. Apa yang terjadi?"

Fuad berusaha tetap tenang meskipun hatinya sendiri dipenuhi rasa takut. "Jangan khawatir, Ironi. Kita akan aman di hutan. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada kalian."

Tiba-tiba, sekelompok prajurit penyerang muncul di jalan setapak di depan mereka. Fuad mengangkat pedangnya, siap melindungi adik-adiknya.

"Kau pikir bisa lari dari kami, bocah?" teriak salah satu prajurit sambil maju menyerang.

Fuad dengan cekatan menghindari serangan dan menebaskan pedangnya, melukai prajurit itu. Ironi dan Rusdijoe bersembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan kakak mereka bertarung.

Pertarungan itu sengit, tetapi Fuad bertarung dengan penuh semangat dan keberanian. Setiap gerakannya penuh determinasi, mengingat ajaran-ajaran yang dia dapatkan dari Rusdianto.

"Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh adik-adikku!" teriak Fuad sambil menangkis serangan dan melancarkan balasan yang mematikan.

Sementara itu, di desa, pertempuran semakin kacau. Rusdianto bertarung mati-matian, melindungi rumah dan penduduk desa. Ia berhadapan dengan seorang komandan musuh yang kuat.

"Rusdianto, kami tahu siapa kalian sebenarnya. Hari ini, kalian semua akan dihancurkan!" kata komandan itu dengan senyum licik.

Rusdianto menggeram marah. "Kau tidak akan menyentuh keluargaku!" Ia menyerang dengan kekuatan penuh, bertarung dengan seluruh kemampuannya.

Di tempat lain, Sari bersama beberapa wanita desa membantu anak-anak dan orang tua untuk melarikan diri ke tempat aman. Sari menatap ke arah hutan, berharap Fuad dan adik-adiknya selamat.

Fuad akhirnya berhasil mengalahkan prajurit-prajurit itu, tetapi ia tahu bahwa mereka harus terus bergerak. "Ayo, kita harus ke tempat aman di dalam hutan. Ikuti aku!"

Mereka berlari lebih dalam ke hutan, menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik pepohonan. Fuad memimpin mereka masuk ke dalam gua dan segera mencari kayu untuk membuat api.

"Ironi, Rusdijoe, kalian duduk di sini. Aku akan menjaga kita tetap aman," kata Fuad sambil menyalakan api kecil untuk memberikan sedikit kehangatan dan cahaya.

Ironi masih menangis, tetapi Rusdijoe mencoba bersikap berani. "Fuad, apa kita akan baik-baik saja?"

Fuad mengangguk dengan yakin. "Kita akan baik-baik saja. Aku janji akan menjaga kalian."

Sementara mereka berlindung di gua, pertempuran di desa terus berkecamuk. Para prajurit Spartan bertarung dengan gagah berani, tetapi jumlah musuh yang banyak membuat mereka kewalahan. Rusdianto, dengan luka-luka di tubuhnya, tetap berdiri tegak, memimpin para Spartan yang tersisa.

"Jangan biarkan mereka menghancurkan kita! Bertahanlah!" teriak Rusdianto sambil menebaskan pedangnya, menumbangkan musuh satu per satu.

Namun, ketika malam semakin larut, menjadi jelas bahwa desa itu tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Para penyerang semakin mendekat, dan banyak rumah sudah terbakar.

Di tengah kebingungan dan kehancuran, Sari menemukan Rusdianto yang terluka parah. Ia berlari ke arahnya, air mata membasahi wajahnya.

"Rusdianto! Kita harus pergi sekarang! Mereka terlalu banyak!" tangis Sari.

Rusdianto tersenyum lemah, mengusap wajah istrinya. "Kau harus membawa orang-orang ke tempat aman. Aku akan menahan mereka di sini."

"Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu!" Sari memeluk suaminya dengan erat.

Rusdianto menatap mata istrinya dengan penuh cinta. "Kau harus kuat, demi anak-anak kita. Aku akan selalu bersamamu, di hatimu."

Dengan berat hati, Sari akhirnya mengangguk dan mulai memimpin para wanita dan anak-anak yang tersisa menuju hutan, meninggalkan Rusdianto yang berdiri sendirian menghadapi musuh.

Di dalam gua, Fuad terus berjaga-jaga, memastikan tidak ada bahaya yang mendekat. Ia tahu bahwa mereka harus bertahan sampai pagi tiba, atau sampai para penyerang meninggalkan desa.

"Fuad, aku lapar..." kata Rusdijoe dengan suara kecil.

Fuad tersenyum menenangkan. "Aku akan mencari sesuatu untuk dimakan. Kalian tetap di sini, jangan keluar sampai aku kembali."

Fuad keluar dari gua dengan hati-hati, mencari buah-buahan atau apa pun yang bisa dimakan di sekitar hutan. Saat ia kembali, ia melihat bayangan besar mendekat ke arah gua.

Dengan cepat, Fuad mengeluarkan pedangnya, bersiap menghadapi ancaman. Namun, bayangan itu ternyata adalah Sari yang datang dengan sekelompok kecil penduduk desa.

"Ibu!" teriak Fuad, berlari memeluk Sari.

Sari menahan tangisnya dan memeluk Fuad dengan erat. "Kalian selamat... terima kasih, Fuad."

Ironi dan Rusdijoe keluar dari gua, berlari memeluk ibu mereka. Malam itu, mereka berkumpul di dalam gua, mencoba menghangatkan diri dan saling memberikan dukungan.

"Fuad, kita harus tetap kuat. Ayahmu berkorban untuk kita. Kita harus terus hidup dan melanjutkan perjuangan," kata Sari dengan suara tegas.

Fuad mengangguk. "Aku akan melindungi keluarga kita, Ibu. Kita akan bertahan."

Malam itu, di tengah hutan, mereka beristirahat dengan hati yang penuh kesedihan dan tekad. Perjalanan panjang dan penuh bahaya masih menanti mereka. Fuad tahu bahwa masa depannya akan dipenuhi dengan pertarungan dan tantangan, tetapi ia berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan pernah menyerah.

Di bawah bintang-bintang yang bersinar di langit malam, Fuad memandang ke arah hutan yang gelap, bertekad untuk menjadi lebih kuat dan melindungi orang-orang yang dicintainya. Petualangan epik Fuad Spartan baru saja dimulai, dan ia siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Rusdianto berdiri di tengah desa yang hancur, darah dan keringat membasahi tubuhnya. Pedangnya mengayun dengan kekuatan dan ketepatan, menebas musuh yang mendekat. Ia tahu bahwa ini mungkin pertarungan terakhirnya, tetapi tekadnya untuk melindungi keluarganya memberikan kekuatan tambahan.

Di tengah kekacauan itu, Rusdianto melihat seorang pria dengan topeng berornamen maju melalui kerumunan prajurit. Pria ini memancarkan aura yang berbeda, kepemimpinan dan kebencian terlihat jelas dalam setiap gerakannya. Rusdianto merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini.

"Siapa kau?" teriak Rusdianto sambil menangkis serangan prajurit lain.

Pria bertopeng itu hanya tertawa kecil dan maju dengan cepat, menyerang Rusdianto dengan pedangnya. Pertarungan mereka sengit, setiap tebasan dan parry penuh dengan kekuatan dan kemarahan.

Rusdianto berhasil menangkis serangan dan dengan satu gerakan cepat, ia memukul topeng pria itu dengan gagang pedangnya. Topeng itu pecah dan terlempar, memperlihatkan wajah yang tidak asing bagi Rusdianto.

"Rusdiana...?" Rusdianto terkejut melihat wajah saudara kembarnya yang selama ini dianggap hilang.

Rusdiana menyeringai. "Lama tak jumpa, saudaraku."

"Kenapa kau melakukan ini? Mengapa menyerang desaku?" tanya Rusdianto dengan suara bergetar, pedangnya tetap terangkat.

Rusdiana tertawa sinis. "Kau selalu bodoh, Rusdianto. Kau memilih untuk mengkhianati Ngawi Empire dan hidup di antara para pemberontak. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kekaisaran."

Rusdianto menggelengkan kepala. "Aku tidak mengkhianati Ngawi Empire. Aku memilih untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah dari tirani dan ketidakadilan. Kekaisaran yang dulu kita banggakan telah berubah menjadi mesin penindasan."

Rusdiana menggeram marah. "Kau selalu berpikir kau lebih baik dariku. Kau dan Narji dengan ide-ide mulia kalian. Lihat apa yang terjadi pada Narji, dia mati sia-sia."

Rusdianto melangkah maju, serangannya menjadi lebih intens. "Narji adalah pahlawan, dan aku akan melanjutkan perjuangannya. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang kami coba lindungi."

Pertarungan mereka semakin sengit. Setiap tebasan pedang diiringi dengan suara dentingan logam dan percikan api. Meskipun Rusdianto terluka, tekadnya untuk melindungi keluarganya memberinya kekuatan tambahan.

"Rusdiana, kau tidak harus melakukan ini. Kita bisa menghentikan kekerasan ini bersama-sama. Kembalilah ke sisi yang benar," kata Rusdianto sambil menangkis serangan saudara kembarnya.

Rusdiana tertawa dingin. "Sisi yang benar? Kau berbicara tentang kebenaran sambil bersembunyi di desa terpencil dan meninggalkan kekaisaran. Kau adalah pengkhianat, dan pengkhianat tidak pantas hidup."

Rusdianto memanfaatkan celah dalam pertahanan Rusdiana dan berhasil melukai lengan saudara kembarnya. "Aku tidak bersembunyi. Aku melindungi mereka yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Itu adalah kebenaran yang kau abaikan demi ambisi pribadimu."

Rusdiana mengerang kesakitan tetapi tetap berdiri. "Ambisi pribadiku adalah mengembalikan kejayaan kekaisaran, dan kau akan menjadi korban pertama dalam perjuanganku."

Pertarungan berlanjut dengan intensitas yang lebih tinggi. Kedua saudara itu bertarung dengan keterampilan yang setara, tetapi Rusdianto tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Musuh semakin banyak, dan luka-lukanya semakin menguras tenaganya.

"Rusdianto, kau tidak akan pernah menang. Aku adalah bayanganmu, dan bayangan tidak bisa dihilangkan," kata Rusdiana dengan senyum licik.

Rusdianto, dengan napas tersengal, menatap saudaranya dengan penuh determinasi. "Aku akan selalu berjuang untuk kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan bayanganku sendiri."

Dengan kekuatan terakhirnya, Rusdianto melancarkan serangan terakhir yang penuh dengan keberanian dan cinta untuk keluarganya. Pedangnya menembus pertahanan Rusdiana, melukai saudaranya dengan fatal.

Rusdiana terhuyung-huyung, darah mengalir dari luka di dadanya. Ia menatap Rusdianto dengan tatapan penuh kebencian yang perlahan-lahan meredup. "Kau... mungkin menang kali ini... tapi perang ini belum selesai..."

Dengan kata-kata terakhir itu, Rusdiana terjatuh ke tanah, nafasnya terhenti. Rusdianto berdiri dengan tubuh yang gemetar, darah mengalir dari luka-lukanya. Ia menatap saudaranya dengan campuran kesedihan dan kepuasan pahit.

Dengan kekuatan yang tersisa, Rusdianto berjalan menuju hutan, mencari tempat untuk bersembunyi dan memulihkan diri. Ia tahu bahwa pertempuran ini hanyalah permulaan, dan bahwa ia harus tetap hidup untuk melanjutkan perjuangan.

Di dalam hutan, Rusdianto menemukan sebuah tempat untuk beristirahat. Ia duduk, tubuhnya yang penuh luka bersandar pada batang pohon. Di kejauhan, ia mendengar suara-suara para Spartan yang tersisa, mencari tempat aman bersama keluarga mereka.

"Fuad, Sari, Ironi, Rusdijoe... kalian harus bertahan..." gumamnya dengan lemah. Ia menutup matanya, membiarkan kegelapan menyelimuti dirinya, berharap untuk bangkit lagi esok hari dan melanjutkan perjuangannya untuk keadilan dan kebebasan.

Di bawah bintang-bintang malam yang bersinar di atas hutan, Rusdianto berjanji dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah menyerah. Perjalanan panjang dan berbahaya ini baru saja dimulai, dan ia akan terus berjuang demi keluarganya dan masa depan yang lebih baik.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login