Jakarta
Karina POV
Aku membaca undangan yang baru saja diberikan Juan kepadaku.
"Nanti aku jemput kamu dari paviliun ke hotelnya."
"Tidak usah dijemput." Ya, aku tidak mungkin menolak. "Kamu pasti sibuk terima tamu juga, kan? Aku akan pergi dengan bridesmaid yang lain."
"Kalau aku yang jemput kalian, kamu kan jadi tidak perlu jadi sopir mereka."
"Aku bisa ke sana dengan sopir."
"Jadi.... Juna nanti juga akan datang?"
Aku mengangkat kepala dari undangan yang sedang kubaca. Aku tidak menduga Juan akan memilih topik itu untuk mengalihkan percakapan.
"Iya," jawabku sambil meletakkan undangan yang kupegang ke atas meja.
"Kalau hubungan kalian hanya sekedar teman, terus kenapa dia sering datang ke Lombok hanya untuk menemuimu?"
"Aku lebih suka tidak membicarakan dia." Aku memilih tidak menjawab hal yang aku tidak tahu. "Yang pasti, aku hanya menganggapnya sebagai seorang teman."
"Itu terlalu banyak untuk ukuran teman, Rin."
"Kamu mau minum apa?" Aku sengaja mengalihkan percakapan.
"Teh panas saja." Syukurlah, akhirnya Juan mengerti keenggananku membahas tentang Juna.
***
Untold Story (Serena-Jhonny)
Author POV
Berbulan-bulan lamanya sebelum ini, hasratnya untuk secepat mungkin bercerai dari Jhonny begitu besar bahkan begitu menggebu-gebu dan kemudian menghirup sepuas-puasnya kebebasan yang didambakannya untuk menikmati kesendiriannya sebagai seorang wanita yang otonom dan memiliki hidupnya sendiri. Tetapi sekarang tatkala hasil musyawarah keluarga menyatakan persetujuan mereka terhadap keinginannya maupun keinginan Jhonny untuk sesegera mungkin bercerai, tiba-tiba saja hati Serena merasa tak enak. Bahkan ada semacam rasa kehilangan yang mulai timbul-tenggelam di dalam hatinya. Meskipun perasaan semacam itu dipaksakan agar menyingkir jauhjauh dari lubuk batinnya dan bahkan ia juga tak mau mengakuinya, namun selalu dan selalu saja perasaan itu datang mengganggunya. Hanya karena kekerasan hati dan tekadnya sajalah yang memberi kekuatan ekstra padanya untuk meyakini bahwa keputusannya bercerai dari Jhonny itu adalah suatu keputusan yang tepat.
Kini sambil berjalan menuju kamarnya, Serena bertanya-tanya sendiri dalam lubuk batinnya yang masih saja terasa tak enak itu. Bagaimanakah kira-kira perasaan Jhony sekarang sesudah perceraian berada di ambang pintu? Senangkah hatinya? Legakah perasaannya, ataukah ada rasa tak enak sebagaimana dirasakannya saat ini? Serena tak bisa menduganya.
Sebab begitu musyawarah keluarga tadi bubar, Jhonny langsung menghilang dengan mobilnya, entah ke mana. Sedangkan Serena sendiri pun lalu pamit pulang kepada kedua orangtuanya sendiri maupun kepada orangtua Jhonny. la tak ingin melihat wajah-wajah yang murung di belakangnya.
Sebenarnya untuk sampai kepada keputusan keluarga yang dengan terpaksa menyetujui perceraian antara Serena dengan Jhonny itu, tidaklah mudah. Prosesnya panjang sebab kedua belah pihak keluarga sama-sama berusaha mati-matian mencegah agar jangan sampai perceraian yang diinginkan oleh anak-anak mereka itu terjadi. Terutama dari pihak orangtua Serena yang berlatar belakang dunia pendidikan itu. Ketika beberapa bulan sebelum ini Serena datang kepada mereka dan mengeluhkan persoalannya dengan Jhonny, dan mengemukakan keinginannya bercerai dari suaminya itu pada pertama kalinya, kedua orangtuanya sangat terkejut.
"Serena, kalau alasan kalian untuk bercerai itu hanya karena merasa tidak cocok satu sama lainnya dan tidak dapat lagi seiring da sejalan, kenapa masalah itu baru dipersoalkan sekarang, sesudah kalian menikah? Kenapa tidak dulu-dulu?" tanya tantenya yang tak bisa mengerti kemauan keponakannya itu.
"Ya, Uncle juga merasa heran," sambung omnya. "Sebab selama ini Uncle lihat kalian bisa berjalan seiring-setujuan dan cukup memiliki kemauan untuk saling menenggang rasa. Apakah alasan itu bukan hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja?"
"Bukan, Uncle!" Serena menjawab mantap. "Apa yang tampak di permukaan seolah kami berdua begitu rukun dan mampu bergendengan tangan mengarungi jalur kehidupan ini bersama-sama, adalah karena demi anak. Alasan lain, Jhonny belum menempati kedudukan dan posisi penting sebagaimana yang sekarang dipegangnya di tempat pekerjaannya."
"Apa kaitannya dengan soal pekerjaan Jhonny itu, Serena?" tanya omnya tak mengerti.
"Kaitannya, dulu sebelum dia menduduki jabatan penting, kami masih belum banyak menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kami," sahut Serena. "Sehingga tentu saja kami belum melihat adanya sekian banyaknya ketidakcocokan di antara kami berdua!"
"Ketidakcocokan kalian itu apa saja sih, Ren?" tanya tantenya menyela.
"Coba kau jelaskan supaya Ucnle dan Aunty mempunyai sedikit gambaran mengenai kehidupan pernikahan kalian itu. Sebab kami berdua sungguh tidak pernah melihatnya. Kami bahkan mengira semuanya baik-baik saja."
"Wah, banyak sekali Aunty!" sahut Serena cepat. "Kalau ditulis pasti panjang sekali daftarnya."
"Ya, tetapi banyaknya itu seberapa?" sekarang omnya lagi yang bersuara. Kedengarannya begitu sabar. Tetapi orang tahu, dari suaranya yang bernada tegas, jelas sekali tertangkap bahwa ia ingin mendengar suatu jawaban yang masuk akal dan jujur. "Sebab Ren, kalau memang daftarnya panjang, tentunya kau bisa menyebutnya dengan jelas dan menceritakan kepada kami berdua sehingga kami bisa melihat persoalan yang kalian hadapi itu secara lebih baik!"
Wajah Serena tampak kesal dan meronai kemurungannya semula. la enggan berpanjang-panjang kata di hadapan kedua wali orangtuanya. Pasti akan ada sekian banyaknya bantahan dan sekian banyaknya pula saran atau nasihat.
tantenya melihat perubahan air muka Serena. Dengan cepat ia menyela bicara suaminya.
"Ren," katanya sigap, "kami tahu kau itu sudah dewasa dan sudah berumah tangga. Kamu mempunyai persoalanmu sendiri dan urusan rumah tanggamu adalah urusanmu sendiri pula. Tetapi karena kamu tadi mengeluh dan meminta pendapat kami, tentu saja sebagai orangtua kami berdua ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tanggamu lebih dulu sebelum kami memberi pendapat."
"Auntymu benar," sambung omnya lagi. "Sebagai orangtua, kami wajib memberi pengarahan yang baik. Tetapi untuk itu, kami juga memerlukan segala informasi lebih dulu agar bisa melihat persoalanmu secara objektif. Bagaimana pun juga, kami jelas mempunyai lebih banyak pengalaman dibanding dengan dirimu!"
Serena mengeluh dalam hatinya. la sadar, tak mungkin menghindar dari kedua wali orangtuanya yang selalu bersikap adil dan bijaksana dalam menghadapi persoalan apa pun itu. Karenanya sesudah melirik sebentar ke arah omnya, ia mulai menata pikirannya dan mencoba menjawab apa-apa yang ingin diketahui oleh kedua orangtuanya itu.
"Yah, pertama Uncle, Jhonny tak membolehkanku bekerja di luar rumah. Sebab katanya, tempat seorang istri adalah di dalam rumah tangga menjadi seorang pendamping suami yang baik dan seorang ibu yang baik," katanya kemudian. "Memang apa yang dikatakan oleh Jhonny itu baik. Tetapi tugas seorang istri sebagai sesama makhluk yang kebetulan berjenis wanita, kan bukan hanya itu saja. Seorang ibu rumah tangga juga seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. la juga harus bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi sesama manusia. Apalagi aku kan seorang sarjana. Buat apa aku dulu sekolah dengan susah-payah kalau ijasahnya cuma disediakan buat makanan rayap bukan? Lagi pula keinginanku untuk bekerja itu kan munculnya sekarang sesudah anak-anak cukup besar dan tidak terlalu memerlukan pengawasan khusus sebagaimana ketika mereka dulu masih kecil."
"Hmm, begitu...." Om Serena menjawab tanpa memandang ke arah mata anak perempuannya itu. "Lalu apa alasanmu yang kedua, Serena?"
Wajah lelaki paruh baya itu tidak menampilkan perasaannya. Bahkan kata-kata Serena mengenai masa depan pribadinya itu pun tak diperhatikannya. Tampaknya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin sedang mengatur kata-kata apa yang akan dilontarkannya kepada Serena nanti.
"Yang kedua, ternyata kami berdua mempunyai perbedaan-perbedaan prinsip yang justru paling pokok. Aku... "
"Nanti dulu," Omnya memotong bicara Serena. "Sebelum kamu lanjutkan bicaramu itu, coba jelaskan lebih dulu kepada Uncle, apa saja perbedaan-perbedaan prinsip sebagaimana yang kamu katakan itu."
"Yah, misalnya dalam hal memandang pernikahan. Dari caranya bicara dan dari sikapnya, kelihatan sekali bahwa Jhonny itu menganggap pernikahan sebagai ikatan yang penuh dengan aturan-aturan tak tertulis. Padahal menurutku, pernikahan adalah suatu wadah untuk diisi dengan hal-hal yang dapat membahagiakan semua pihak. Siapa pun yang ada di dalamnya, baik itu istri, suami, atau anak-anak mereka, berhak untuk memiliki dirinya sendiri dan mengembangkan potensinya, bakat-bakatnya, dan seterusnya tanpa kehilangan kemandiriannya sebagai seorang pribadi yang otonom."
"Serena, apakah penilaianmu terhadapnya itu berdasarkan pemikiran yang objektif?" sahut omnya dalam nada teguran. "Dan bukannya bersifat subjektif karena kamu sedang jengkel kepadanya?"
"Penilaian ini objektif, Uncle. Jhonny memang egoistis dan tidak bisa memahami kebutuhan orang lain. Bukan hanya dia sendiri yang membutuhkan pengembangan diri dalam merealisasikan potensi- potensinya. Buat apa aku dulu susah-susah sekolah tinggi kalau hanya untuk tinggal di rumah menjadi seorang istri yang harus selalu siap melayani segala kebutuhan suaminya!" sahut Serena dengan suara di hidung.
"Serena, itu penilaianmu sudah tak objektif lagi," sahut tantenya menyela. "Kamu jangan melihat Jhonny dari satu sisi saja. Mawas dirilah lebih dulu sebelum kamu menilainya. Ingat juga kebaikan-kebaikan dan pengorbanan yang pernah diberikannya kepadamu. Ibu saja masih belum bisa melupakan betapa tekun dan sabarnya dia dulu dalam hal mendorong studimu yang nyaris tersendat-sendat justru ketika hampir mencapai batas akhir. Cukup banyak andil yang diberikannya kepadamu dalam hal keberhasilanmu menjadi sarjana itu, Serena!"
Mendengar kata-kata ibunya, Serena terdiam.
To Be Continued