Download App

Chapter 10: Surat Keputusan

Saat ini Yita sudah berada di depan Rektor kampus itu. Ada Mona juga yang ikut serta, sementara Dika memang benar-benar menunggunya di luar ruangan.

"Kampus kita memang sedang menjadi sorotan. Selain karena prestasi, juga sebab kasus yang menimpa ibumu." Pria berdasi di balik meja memulai untuk bicara. Ia mengatakan sesuatu yang memang sangat mengganggu pikiran gadis di depan.

"Kami di sini tahu, tidak seharusnya apa yang sudah dilakukan oleh ibumu berimbas kepadamu juga. Akan tetapi, reputasi kampus yang sedang naik daun, akan sangat tercemar karena keberadaan kamu di sini."

Yita hanya bisa pasrah. Ia sama sekali tidak mengangkat wajah untuk menanggapi apa yang sudah dikatakan oleh sang rektor.

"Bukan saya yang mengambil keputusan, ini adalah hasil dari perundingan dengan seluruh pejabat terkait atas persetujuan ketua yayasan."

Kepala Yita kian tertunduk. Ia tidak akan bisa membantah hal apa pun juga. Jika memang masa depannya harus berakhir saat ini juga. Tidak masalah. Hal itu akan lebih memudahkan untuk membebaskan sang bunda dari jerat hukum. Yita akan segera menyerahkan diri lalu mengeluarkan ibunya dari penjara.

"Kamu diskors sampai batas yang tidak bisa ditentukan."

Kali ini Yita mengangkat wajah. Dahinya mengernyit. Kenapa hanya di­skors? Kenapa tidak langsung diberhentikan saja?

"Kami mengambil kebijakan ini mengingat masa depanmu juga, Yita. Kamu termasuk mahasiswa berprestasi di dalam kelas. Dan rasanya akan sangat disayangkan jika harus dikeluarkan hanya karena sesuatu yang tidak kamu lakukan." Rektor kembali menjelaskan.

"Seharusnya kamu bersyukur, Yita. Rektor masih mau mempertanggungjawabkan kamu untuk tetap berada di kampus ini. Setidaknya hingga surat pemanggilan untuk masuk lagi, kamu bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi dirimu." Mona menambahkan.

"Ini surat skorsing untukmu. Kamu masih tercatat sebagai mahasiswa di sini, Yita. Jangan pernah berhenti mengejar cita-cita. Pendidikan yang utama. Kami, mewakili pihak kampus, turut berduka cita atas musibah yang sedang menimpa keluargamu."

Gadis itu tak banyak bicara. Ia hanya diam seribu bahasa dan mengangguk sesekali menjawab ucapan yang ditujukan kepadanya.

"Kamu boleh keluar dan beristirahat di rumah." Pria berdasi itu lalu mempersilakan Yita pergi. Namun, sebelumnya ia juga sempat memberikan amplop lain yang berisi beberapa lembar uang yang dapat digunakan oleh gadis itu untuk bertahan hidup.

Saat pintu ruangan itu terbuka, Yita disambut oleh Padika yang terlihat cemas memikirkan dirinya.

"Apa yang mereka katakan kepadamu di dalam sana?" cecarnya sembari melangkah mengiringi Yita yang berjalan menjauh dari ruangan tersebut.

"Mereka menyuruhku untuk istirahat kuliah sampai batas waktu yang tak dapat ditentukan, Ka." Gadis itu menyerahkan amplop yang berlogo kampus mereka. Sementara amplop satunya lagi tetap digenggaman.

Tak sabar, Dika segera membuka dan membacanya. Kemudian, ia pun menarik napas lega. "Syukurlah, kamu hanya di­­skor, Yit. Ini lebih baik daripada harus dikeluarkan dari sini."

Yita menggeleng, "Tapi aku lebih suka mereka mengeluarkanku, Ka. Buat apa aku tetap kuliah seperti ini. Sementara Bunda di dalam sana. Apa yang bisa kulakukan dengan tetap kuliah. Lebih baik, Ina saja yang terus sekolah." Gadis itu berkata lirih. Mereka sudah berada di sebelah sepeda motor Dika.

"Jangan bicara seperti itu, Yit. Aku yakin kamu bisa melewati ini semua."

"Enggak akan pernah bisa." Gadis itu menyusut hidung. Ia juga menyeka air mata dengan kedua telapak tangan, lalu mengangkat wajah menatap sang sahabat. "Kamu tahu akulah pembunuhnya." Ia berbisik sangat pelan, bahkan tercekat saat mengucapkannya.

"Aku tahu, tapi semua yang kamu lakukan karena terpaksa." Dika pun berujar pelan. Ia bahkan menguatkan gadis itu dengan menggenggam kedua lengannya, erat. "Kamu pasti bisa melewati semuanya. Aku akan berjanji selalu ada untukmu."

Tak ingin tertalu berharap, Yita hanya mengangguk saja. Ia benar-benar sudah putus asa dengan apa yang telah terjadi di dalam hidupnya kini. Keputusan mendiang sang ayah untuk tetap menguliahkannya sudah menjadi salah satu kejadian yang paling menyesalkan seumur hidup.

"Andai saja Ayah tidak memintaku untuk tetap kuliah dan meminjam uang kepada rentenir itu. Sudah pasti semua tidak akan pernah terjadi."

"Apa maksudmu, Yit?" Dika mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang sahabat.

Gadis itu tak langsung menjawab. Ia malah menatap Dika dengan lamat, seolah sedang menimbang-nimbang untuk bercerita atau tidak.

"Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu. Tetapi tidak di tempat ini."

"Kalau begitu, ayo pergi bersama. Aku akan siap mendengar semua yang ingin kamu katakan."

Lagi, Yita tak langsung menjawab. Ia malah menatap Dika kian dalam. "Terima kasih untuk selalu ada, Ka."

"Sudah, nanti saja terima kasihnya. Sekarang, kamu pakai helm ini. Kita akan segera pergi."

***

Mereka sudah sampai di tepian pantai. Di tempat ini tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pembicaraan mereka. Kencangnya angin dan kerasnya debur ombak sudah membuat pendengaran menjadi sulit untuk menangkap suara, jika tidak duduk saling berdekatan, seperti yang dilakukan oleh Yita dan Padika saat ini.

Pemuda itu memarkir kendaraan tak jauh dari tepian pantai, di sekitar tanah yang cukup padat. Sementara mereka duduk di bebatuan paling ujung. Lengan keduanya saling menempel, hal ini sudah cukup memperlihatkan betapa tak adanya jarak yang sedang mereka urai.

"Aku merasa ayahku meninggal tidak dalam keadaan wajar," ujar gadis itu kepada Dika. Suaranya sudah cukup jelas untuk sampai ke indera pendengaran sang sahabat.

"Maksudmu?" Dika tidak ingat jika Yita pernah mengatakan sesuatu yang mengarah pada hal ini, saat di pemakaman.

"Aku tidak tahu pasti, tetapi aku justru sangat yakin, jika kematian ayah ada hubungannya dengan rentenir itu."

Dahi Dika mengerut. Ia mencoba menelaah baik-baik apa yang sudah dikatakan oleh Yita barusan.

"Kenapa kamu mengatakan hal ini? Darimana kamu dapat menyimpulkannya?" tanya Dika penasaran.

"Aku tidak punya bukti. Tetapi perasaan ini yang mengatakan hal demikian, Ka."

"Tidak ada bekas kekerasan di jasad ayahmu." Dika kembali mengingatkan, sebab ia melihat tubuh Teja saat dimandikan.

"Membunuh tidak harus dilakukan dengan kekerasan. Ada banyak cara untuk menghabisi nyawa seseorang."

Benar juga. Setelah berpikir sejenak. Dika pun akhirnya mengiyakan. Saat ini menghilangkan nyawa seseorang dapat dilakukan dengan banyak cara, tanpa meninggalkan bekas kekerasan di tubuh korbannya.

"Apa rencanamu, Yit?"

"Aku akan menyelidikinya, Ka. Tidak tahu caranya bagaimana, yang jelas aku ingin mendapatkan bukti bahwa kematian ayahku benar-benar tidak wajar. Orang yang sudah membunuhnya, harus mendapatkan balasan atas perbuatannya."

Yita yakin akan apa yang sudah direncanakan. Meski akan menyulitkan bahkan bisa-bisa mengorbankan nyawanya sendiri. Tidak masalah, setidaknya ia sudah berusaha mencari keadilan untuk ayahnya.

***Next>>>


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C10
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login