Download App
35.48% Rumah Iblis / Chapter 11: Balas Jasa

Chapter 11: Balas Jasa

Beliau seperti terdiam sejenak seperti berfikir, "Udah kamu lanjutkan ke hotel, soal biaya biar saya yang tanggung."

Aku yang semula lemas, menjadi bersemangat, " Makasih ya pak." Dengan cepat aku meraih tangannya dan menciuminya. Beliau seperti malaikat penolong bagiku.

Setelah aku sukses di luar negeri aku tidak melupakan jasa Pak Rangga. Aku sering menelfonnya ketika di kapal dan sering berkunjung ke rumah kalau liburan. Hubungan kami semakin akrab seperti layaknya Bapak dan Anak. Namun, aku tidak menyadari banyak pasang mata yang tidak suka melihat kedekatan kami. Setiap kali aku selesai berkunjung ke rumah Pak Rangga, orang-orang didesa memandangiku sinis sembari berujar, "Iku lho anake Rangga." (itu lho anaknya Rangga)

Aku tidak ambil pusing dengan omongan mereka karena pada saat itu aku tidak menyadari jika orang sekampung memusuhi Pak Rangga, yang berarti mereka juga memusuhi orang-orang yang dekat dengannya. Ya, Mungkin karena aku lama ditanah rantau, ditambah dengan aku yang kurang peka dengan lingkungan, sehingga aku tidak mengetahui jika Pak Rangga seumpama Musuh bebuyutan sekampung. Sikap beliau yang sangat baik denganku seolah menutupi fakta itu.

"Terus siapa yang merawat Pak Rangga! Dia 'kan sendirian dirumah!" seruku emosional sembari menggebrak meja di Gazebo itu. Para pengunjung Cafe itu serempak menoleh ke arahku.

"Tenang dulu Mas," tuturnya sembari melayang pandang ke semua pengunjung cafe, seolah meminta pengertian akan sikapku yang lepas kontrol tadi. Aku menhembuskan nafas, mencoba untuk mengontrol diri. Misteri tentang Pak Rangga menyita rasa penasaranku, sehingga aku butuh penjelasan secepatnya dari Tama.

"Ini pesanannya Mas," tiba-tiba pelayan datang untuk mengantarkan minuman dan menaruhnya di meja.

"Kenapa bikin minumannya lama banget sih Mas?" ucapku sewot. Pelayan itu datang di momen yang tidak tepat. Ditambah lagi, pesanannya lambat. Sudah tiga puluh menit kita menunggu.

"Maaf Mas, Cafe sedang rame pagi. Jadi kita membuat pesanan sesuai dengan nomer antrian."

Aku berdiri dan mempelototi wajah pelayanan itu yang tampak menunduk ketakutan. Tama ikut berdiri sembari mengayunkan kedua telapak tangannya, mencoba untuk menenangkanku.

"Nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya," tutur Tama lembut kepada pelayan itu. pelayanan itu pun berlalu.

Tama memandangiku sembari mendengus, "kalau Mas marah-marah seperti ini, aku tidak akan melanjutkan ceritanya."

Mendengar perkataan Tama, aku pun duduk dan diam seperti anak kecil yang menurut dengan orang tuanya.

"Enggak ada yang merawat Pak Rangga," kata Tama melanjutkan cerita. "Sudah seminggu beliau tidak tampak, sampai tercium aroma busuk yang menyengat ketika seorang warga melintas depan rumahnya. Merasa ada yang ganjil, dia pun memanggil warga kampung untuk mengecek rumah Pak Rangga.

"Terus?" sahutku dengan bibir bergetar seolah membayangkan nasib buruk orang yang berjasa dalam hidupnya itu

"Jasad beliau ditemukan tergeletak di ranjang. Badannya hitam kehijauan dan menggelembung, sepertinya sudah meninggal lama. dan yang paling mengerikan adalah matanya yang melotot dan mulutnya yang robek sampai pangkal rahang."

Aku yang tak kuat mendengar penjelasan hanya tertunduk sembari menutup kedua wajahku. Kesedihan dan  Penyesalan bergantian menghujami diriku. Sedih karena kehilangan orang sebaik beliau, setidaknya bagiku. Menyesal karena diakhir hayatnya, aku tidak bersamanya, untuk sekedar membalas budi. Aku ingat ketika bekerja di kapal, setiap saat beliau sering menelfonku, tapi sering pula aku tidak menghiraukannya karena kesibukanku. Pesan terakhir yang terlihat sederhana namun mengena sekali, "Rafa, Kapan kamu pulang?"

Ada permintaan beliau yang belum aku wujudkan. Karena aku bekerja di Amerika, beliau ingin aku membawakan pakaian cowboy lengkap dengan atribut yang asli dari negaranya. Permintaan yang aneh kedengarannya, seperti candaan saja sehingga aku sering menunda untuk membelinya. Ya, aku menundanya sampai beliau dijemput ajalnya.

"Kenapa beliau bisa meninggal setragis itu Ham?" ujarku sambil tetap menutup kedua mataku.

"Aku tidak tahu pasti kak, yang jelas saat rumahnya dibuka, semuanya berantakan seperti habis kerampokan. Tapi sepertinya orang-orang enggan untuk melaporkan kejadian itu ke kantor polisi. "Menyusahkan sekali" begitu kata mereka. Akhirnya jasad beliau di kebumikan dengan layak di Pemakaman Desa."

"Kalau begitu antar aku ke sana Ham."

"Sekarang Mas? 'kan ini masih pagi nanti kalau ada yang memergoki kita...."

"kita kesana setelah Magrib, Mas ingin sekali ziarah ke makamnya Ham."

"Apa Mas? Magrib?"

***

Setelah berdoa di pusara Pak Rangga, Aku terdiam cukup lama sembari mengenang masa-masa ketika beliau masih hidup. Meski hanya berteman dengan sinar flash dari ponsel, mengingat situasi di pemakaman itu gelap, karena sudah magrib. Hanya tersisa langit yang biru gelap. Pemakaman itu terletak di tepi persawahan yang jauh dari pemukiman warga. Pohon beringin besar yang menaungi pemakaman itu terlihat mencekam. jika kita menoleh keatas sudah banyak mahluk mengerikan yang menyaksikan aku dan Tama disana.

Tama sedari tadi memegangi baju belakangku dengan gelisah. Ide untuk ke makam selepas magrib itu sebenarnya tidak dia setujui, tapi karena aku terus memaksa, akhirnya Tama menurut walau ketakutan.

"Mas pulang Yuk," ajak Tama.

"Iya Ham, sebentar." Sahutku sembari menabur bunga di pemakaman itu. setelah selesai aku beranjak berjalan diikuti Tama yang memejamkan mata sambil sedikit berlari seolah tidak sabar untuk keluar dari pemakaman. Aku, kenapa aku tidak merasa takut? Entahlah setelah kejadian aku pingsan di kebun bambu itu, ada yang berbeda dari diriku. Yang tidak aku ketahui apa penyebabnya.

Namun, Pikiranku saat itu hanya terfokus dengan satu hal, Siapa orang yang tega mengakhiri hidup seseorang dengan cara setragis itu.

"Syukurlah Ham, lega rasanya sudah mendoakan beliau. Semoga almarhum Pak Rangga berada di tempat terbaik di sisi Tuhan, Aamiin."

"Aamiin," sahut Tama yang ikut mengamini, "Ya sudah Mas, yuk kita pulang."

Ketika aku akan membonceng Tama. Terdengar suara ringtone ponsel milik Tama, dia mengernyit dahi sembari memandangku. Aku mengangguk pelan. Tama pun segera menggeser tombol hijau ke atas.

"Hallo Bu, Ada apa?"

"Kamu di mana Nak! Kamu lagi sama Rafa Enggak?" kejar Ibu dengan nada bicara panik

"Eng..gak Bu, emangnya kenapa?" jawab Tama berbohong.

"Suami Retno, Mas Sholeh ditemukan pingsan didekat tanggul. Untung ada warga yang menolongnya lalu mengantarkan di rumah kosong itu. Tapi setelah sampai di sana, mereka tidak menemukan Rafa . Sekarang mereka sedang mencari Rafa, sepertinya mereka marah sekali Nak. Tolong temukan kakakmu, sebelum dihakimi warga." 

Tama tercekat begitupun aku, "Iya, Buk. Saya akan cari Mas Rafa secepatnya."

Panggilan berakhir. Aku dan Tama diliputi rasa cemas yang teramat sangat. Masalah besar mendadak datang, sehingga menjadi kelabakan dibuatnya. Namun, tercetus ide dari Tama.

"Mas, kita harus pergi dari sini sebelum warga menemukan kita, Aku punya tempat rahasia yang aman" Ujarnya sembari bersiap mengendarai motornya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login