Setelah memberikan bakso kepada kami Putri duduk bersama, Aku tidak tahu apakah dia sengaja bekerja di sini untuk menambah uang jajannya.
Sungguh malang nasibnya, untuk menghidupi hidupnya ia harus bekerja. Kami berbicara begitu banyak sehingga Aku lupa memperkenalkan Sofia.
"Putri, perkenalkan ini Sofia!"
"Hai, nama Aku Putri," sapanya sambil tersenyum.
"Lo sangat cantik, bahkan kalau lo hanya mengenakan kemeja seperti ini."
"Terima kasih, tapi lo lebih cantik."
"Itu cewek ya, kalau ketemu orang duluan cantik banget," ujar Bagus yang memotong pembicaraan Sofia dan Putri.
Putri dan Sofia menatap Bagus dengan tajam.
Bagus yang mendapat tatapan tajam memilih melanjutkan makan bakso yang dipesannya, lebih tepatnya mie ayam bakso Sofia.
Aku tidak tahu bahwa mie ayam dan bakso hanya milik Sofia dan Bagus dengan mudah meraih milik Sofia.
Awalnya Sofia sangat marah karena dia yang memesan lebih dulu tetapi setelah Aku katakan bahwa bakso biasa tidak kalah enak, dia mengalah.
Sofia dan Putri dekat seperti teman lama yang baru bertemu. Sungguh pemandangan yang indah, ketika kedua gadis yang Aku bantu akhirnya bisa berteman.
Mereka bernasib sama, hanya Putri yang lebih beruntung dari Sofia. Putri masih memiliki rumah dan dia bekerja untuk menghidupi hidupnya sedangkan Sofia, dia tidak punya rumah dan aku tidak mengizinkannya bekerja.
Bakso yang kami makan sudah habis.
"Ahhh... Rasa bakso ini," kata Sofia yang membuat Putri tertawa dengan tingkah lucunya.
"Sudah kubilang, kalau bakso di sini tidak ada yang bisa menandinginya."
"Ya, sampai-sampai Bagus tambah dua mangkok lagi. Apa anak ini belum kenyang sejak makan," kataku pada mereka berdua.
Orang yang Aku bicarakan tidak peduli, dia terus memakan bakso yang dia pesan.
Entah apa yang kedua gadis itu bicarakan, mereka sama-sama asyik dengan dunianya masing-masing dan aku hanya bisa mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut mereka.
Waktu berlalu dengan cepat, sudah jam setengah sembilan malam. Aku mengajak Bagus dan Sofia pulang, tak lupa Aku juga menawarkan diri untuk mengantar Putri pulang.
"Ayo pulang, toko ini akan tutup," ajakku pada mereka.
"Putri bagaimana kalau kita semua membawamu?" Kataku menawarkan kepada Putri.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Lagipula, kita menuju ke arah yang berbeda."
Aku bergegas mengajak Bagus dan Sofia pulang, sebenarnya kami tidak langsung pulang karena Sofia masih ingin menikmati jalan-jalan di malam hari. Jadi Aku mengajaknya berkeliling kota.
Sedangkan Bagus, dia pergi ke suatu tempat, sebelumnya ketika dia meninggalkan toko dia langsung pergi lebih dulu. Dan Putri masih menutup toko ketika kami pergi.
Sofia dan Aku berhenti di sebuah taman kota, di sini banyak anak muda berkumpul. Walaupun malam ini bukan malam minggu tapi taman ini cukup ramai.
Ada pedagang kaki lima yang berjualan di taman, mulai dari penjual bakso, sate dan berbagai makanan lainnya.
"Bambang, ada permen di sana," kata Sofia sambil menunjuk penjual permen itu.
Sebelum mendekati penjual gulali, Aku mencari tempat untuk memarkir motor Aku terlebih dahulu. Tidak mungkin Aku membawa sepeda motor Aku untuk berkeliling taman.
"Tunggu, ayo cari tempat parkir," kataku.
Setelah menemukan tempat parkir Aku langsung memarkirkan motor Aku. Sofia sedang menungguku, yang tidak jauh dari tempat parkir.
Aku sengaja memintanya untuk menunggu Aku, Aku tidak ingin dia bergabung dengan tempat parkir.
"Ayo," kataku, meraih tangan Sofia.
Kami pergi ke penjual permen kapas seperti yang diinginkan Sofia. Tidak hanya satu, dia membeli beberapa permen dalam berbagai bentuk, Sofia seperti anak kecil.
"Cukup?" Aku bertanya siapa yang sudah mendapatkan beberapa permen yang dia inginkan.
"Bisa membelinya!" Arahkan ke dealer gelang.
"Mau apa? Ini cuma gelang," kataku.
Sofia cemberut setelah aku menolak permintaannya "oke, kita akan melakukannya nanti. Sekarang ayo cari tempat duduk, lo mau makan permen gak?!"
"Oke."
Kami berkeliling mencari tempat duduk yang kosong, tidak bisa dipungkiri taman ini semakin ramai di malam hari, seperti pasar malam, hanya saja disini tidak ada permainan seperti di pasar malam.
"Bambang ada kursi kosong," katanya meninggalkanku.
Aku hanya mengikuti langkah Sofia menuju bangku.
"Aku mau," dia menawarkanku.
"Tidak, lo hanya menghabiskan."
"Bambang, dari mana lo tahu Putri?"
"Sama seperti lo, aku mengenalnya karena dia dipukuli oleh preman."
"Apakah dia terluka? Lalu mengapa dia dikeroyok oleh preman?"
"Bukankah lo bertemu dengannya lebih awal? Mengapa lo tidak bertanya padanya lebih awal?"
Lama-lama aku malu dengan pertanyaan Sofia yang sama sekali tidak aku ketahui.
Tak berapa lama ponselku berdering, ternyata Bagus meneleponku,
"Lo ada di mana?"
"Aku di taman cahaya bersama Sofia."
"Tunggu aku disana."
Sebelum aku sempat menjawab telepon sudah dimatikan oleh Bagus, memang sahabatku sangat berbeda.
"Bambang, apa lo tidak takut misalnya Putri diganggu preman lagi?" Sofia bertanya menyela pikiranku tentang Bagus.
"Selama dia tidak dipukuli, aku yakin dia bisa mengatasinya, tetapi kalau dia diserang, aku tidak tahu."
"Apakah dia pandai berkelahi? Kalau aku melihatnya lagi, aku ingin belajar seni bela diri sehingga aku bisa melindungi diriku sendiri."
"Terserah lo, kalau mau belajar silat lo bisa belajar denganku atau tidak dengan Bagus."
"Tidak suka, kalian terlalu kasar saat berkelahi."
Hai! Sejak kapan seorang pria berkelahi dengan lembut, mengapa anak ini?
Lama-lama aku pusing dengan sikapnya yang aneh, terkadang dia banyak bertanya, atau dia tidak memiliki rasa ingin tahu yang berlebihan.
Tiba-tiba Bagus datang kepada kami, Aku tidak tahu bagaimana dia dengan mudah menemukan kami.
"Enak banget kalian berdua, kayak sepasang kekasih," goda Bagus.
"Siapa? Aku dan Bambang? Oh tidak."
Siapa juga yang ingin berkencan dengannya? Sungguh, hanya tinggal satu atap dengannya saja, aku sering pusing. Apalagi jika aku harus berkencan dengan gadis itu. Aku mungkin mati dengan mudah menghadapinya.
"Well, sepertinya gue denger nada lain yang tersembunyi dari ucapan lo. Bukan lo yang suka sama Sofia kan?" sindirku.
Bagus mengernyitkan kedua alisnya, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Bisa mati muda gue, Bams!" seru Bagus dengan santainya, membuat Sofia merasa kesal, dan langsung meninju lengan Bagus sekuat tenaga.
"Gue merasa digelitikin. Pake tenaga dikit dong kalo mukul!" seru Bagus dengan tatapan tajam.
"Itu tadi udah kenceng, Bagus!"
"Apaan kenceng? Gue berasa lagi di pijitin! Pelan banget itu! Makanya makan agak banyak, olahraga dong, biar punya tenaga buat hajar orang!" cibir Bagus.
Sofia benar-benar kesal, kali ini ia menggunakan kakinya untuk menendang milik Bagus yang berharga.
"Brengsek!" umpat Bagus kesal.
Sofia langsung tertawa puas dan segera berlari meninggalkan Bagus, sebelum pria itu menangkapnya dan membalasnya.
"Nggak mungkin seorang Bagus kesakitan karena ditendang cewek, acting ya lo?" gurauku.
Aku tahu itu sangat menyakitkan.