Download App
4.36% Bambang's Revenge / Chapter 10: Gadis Malang

Chapter 10: Gadis Malang

"Bams, berhenti!" pekik Bagus yang langsung membuat langkahku terhenti. Aku pun langsung menoleh ke arah Bagus yang sedang terdiam sambil memejamkan matanya. 

Kami baru saja selesai latihan Pencak silat, dan sedang dalam perjalanan untuk kembali ke padepokan. 

"Lo denger nggak?" tanya Bagus berbisik. 

Dengar? Mendengar apa?

"Ada suara cewek nangis, Bams!" bisik Bagus lagi. 

Aku pun menajamkan telingaku dan ikut memejamkan mata. Benar saja, samar-samar terdengar sebuah suara tangis seorang perempuan. 

"Gimana? Samperin nggak?" tanyaku pelan. 

"Samperin aja gimana?"

"Wait, gimana kalau dia bukan orang? Gimana kalau dia itu setan?" aku bertanya dengan sangat hati-hati. Kudengar, di daerah Jawa masih sering dijumpai hantu dan semacamnya. Dan dari apa yang kudengar, hantu bisa mendengar isi hati manusia, jadi... bagaimana jika dia bisa mendengar pikiran kami?

Tunggu, apakah hantu juga bisa membunuh manusia?

Bugh!

Aku langsung terjungkal saat Bagus menepuk pundakku dengan sangat keras. 

"Sakit, brengsek!" makiku kesal. 

"Habisnya,lo itu mafia paling konyol yang pernah ada! Sejak kapan mafia bisa takut sama hantu?!" Bagus menatapku dengan tatapan tajam. 

Ah! Benar juga! 

"Gue yakin itu orang, ayo kita samperin!"

Belum sempat aku menyahut, Bagus sudah menarikku paksa untuk mengikutinya. Kami pun melalui jalan setapak dan menuju ke sebuah gudang yang terlihat sangat tua. Well, sangat mengejutkan ada sebuah tempat seperti ini di sini. 

Aku dan Bagus melihat ke sekitar dan memastikan semua aman sebelum mengintip ke dalam dari sela pintu. 

Benar kata Bagus. Tidak ada yang namanya hantu. Yang ada hanya seorang gadis lusuh yang terikat di sebuah kursi dengan derai air mata yang tak henti-hentinya menetes. 

Tanpa mengatakan apa pun, Bagus menarikku mundur, ia memberiku aba-aba untuk mendobrak pintu tersebut. 

Kami mundur lebih jauh dan berlari sekuat mungkin untuk menerjang pintu tersebut. Namun, siapa sangka kalau pintu tersebut ternyata tidak terkunci. Sungguh, adegan konyol tadi sangat jauh dari kata keren. Bukankah seorang mafia harus terlihat keren? Sial!

Gadis itu terlihat sangat ketakutan saat melihat kami. 

"Hey, tenang! Kami orang baik," ucap Bagus dengan hati-hati. 

Tunggu, apa kami orang baik? Apa ada mafia yang baik?

Gadis itu tidak mempercayai kami, dia menggelengkan kepalanya cepat dan menangis lebih keras. 

"Tenang! Gue nggak akan nyakitin lo!" Bagus masih berusaha untuk membujuk gadis itu. 

Tidak, saat perempuan sudah bersikap seperti itu, berbicara dengan lembut tidak ada gunanya, dia tidak akan percaya. 

Aku menghampiri gadis itu dan membentaknya. 

"Diam!" bentakku, yang membuat Bagus juga terkejut. Pria itu langsung menatapku tajam. 

Tapi, terbukti bahwa caraku lebih efektive bukan? Gadis itu langsung terdiam dan menunduk. 

"Kita nggak punya masalah apa pun sama lo, jadi nggak mungkin kita akan berbuat jahat sama lo! Justru kita ke sini untuk membantu lo!" seruku kesal. 

Gadis itu pun mendongakkan kepalanya dan menatapku lurus-lurus. Gadis itu terlihat sangat menyedihkan dan lusuh. 

"Jangan keras-keras kalau ngomong sama perempuan, Bambang!" Bagus terlihat kesal ke arahku. 

Aku pun menghela napas berat. 

Bagus mendekat ke arah gadis itu dan mencoba membuka semua ikatan pada gadis itu. Tak lupa ia juga membuka plester yang menutup mulut gadis itu. 

"Lo kenapa bisa diiket di sini?" tanya Bagus pelan. 

Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus mengalir. Apakah semua perempuan itu cengeng? Well, aku tidak pernah melihat ibuku menangis sebelumnya. Setidaknya sebelum kejadian hari itu. 

"Kalo lo nggak cerita, kita nggak akan bisa bantu lo!" aku mencoba bersikap lembut pada gadis itu. 

"Orang jahat," lirih gadis itu.

"Orang jahat? Siapa?"

"Ibu tiriku." lirih gadis itu lagi. 

Ibu tiri yang jahat? Baiklah. Tapi, memangnya apa yang ibu tirinya itu lakukan hingga ia berakhir tragis seperti ini?

"Cerita yang bener dong lo!" seruku tidak sabaran. 

Gadis itu mencoba menghapus sisa air mata yang ada di bawah matanya. 

"Ibu tiriku menculikku, dan membuangku di sini. Lalu segerombol preman menemukanku dan mengikatku di sini. Mereka selalu datang untuk melecehkanku, setelah itu kembali mengikatku agar aku nggak bisa kabur." cerita gadis itu dengan susah payah. 

Ahhh, kisah sedih lainnya. Sungguh, aku alergi dengan kisah sedih seperti itu. 

"Oke, tenang, untuk sekarang, lo aman! Kita akan bawa lo ke tempat yang jauh lebih aman setelah memberi pelajaran kepada para preman itu!" ucap Bagus tanpa keraguan sedikit pun. 

Kita apa?

Aku langsung menoleh ke arah Bagus untuk mempertanyakan apa yang sedang pria itu pikirkan. 

"Kita dua pria kuat tentu nggak boleh ninggalin seorang gadis yang lemah tak berdaya di tempat seperti ini bersama para preman yang bejad. Bukan begitu, Bos?" Bagus menatap ke arahku sambil menampikkan senyuman penuh arti. 

Sungguh, itu sangat menyebalkan, dan tentunya akan sangat merepotkan. 

"Terserah!" sahutku kesal. Meski begitu, Bagus malah tersenyum lebih lebar. 

"Mereka sangat kasar dan kejam, kalian yakin enggak mau kabur aja?" tanya gadis itu takut. 

Bagus menyeringai mendengar ucapan gadis itu, sementara aku hanya menghela napas panjang. 

"Well, jangan meremehkan kami hanya karena kami terlihat masih muda!" sahut Bagus lalu mengedipkan sebelah matanya. 

"Kalau begitu, kalian harus bersiap karena biasanya jam-jam segini mereka datang," ucap gadis itu dengan sangat lemah. 

"Gini aja, lo pura-pura terikat dulu di kursi kayak tadi, setelah mereka datang, kita akan habisi mereka!" 

"Wah!" pekikku terkejut dengan ucapan Bagus. Dia bahkan tidak berdiskusi dulu denganku. Ingin aku menyela ucapan sok dari pria itu, tapi kuurungkan saat terdengar suara langkah yang kuperkirakan berasal dari jalan setapak yang sebelumnya kami lalui. 

Bagus membantu gadis itu untuk berpura-pura masih terikat di kursi, setelah itu kami bersembunyi di balik tumpukan kayu yang ada di sudut ruangan. 

"Halo cantik, kita bawa makanan, pasti laper ya? Kasihan! Lo harus sehat, biar bisa layani kita dengan maksimal!" seru salah seorang dari preman itu. 

Aku pun mengintip dari sela-sela kayu untuk melihat keadaan di sana. Ada tiga orang di sana. Dan semuanya terlihat cukup tua. 

Pak Tua yang brengsek. Ah, dia membuatku kesal. 

"Keluar sekarang aja gimana? Di sini gatel!" bisikku pada Bagus. 

Bagus melirik ke arahku lalu menghela napas berat. 

"Dasar manja!" Bagus terlihat kesal. 

Terserah!

Aku pun menendang tumpukan kayu tersebut agar kemunculan kami terlihat cukup dramatis. Di film-film action yang sering kutonton, kemunculan pahlawan selalu terlihat dramatis. 

"Bego!" gerutu Bagus. 

"Siapa kalian?!" sentak salah seorang dari mereka.

"Kami? Pendekar Tampan!" sahutku dengan penuh percaya diri. 

Well, seorang pahlawan harus memiliki julukan bukan? Karena kami masih menggunakan seragam Pencak Silat, maka cukup masuk akal jika dipanggil dengan sebutan Pendekar, bukan? dan soal ketampanan? Tentu tidak perlu diragukan lagi!

"Mafia narsis!" Bagus kembali menggerutu. 

"Dengar, bocah sialan! Bermain di tempat lain, ini tempat kami!" salah seorang dari mereka mendekat ke arah kami. 

"No, kami nggak akan pergi sebelum bermain-main dengan kalian!" gertak Bagus. 

Wah, nice! Seorang Mafia memang harus pandai menggertak! Good job!

"Ah, kalian mau jadi pahlawan? Oke, kita main-main sebentar!" seru salah seorang dari mereka mulai menyerang. 


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C10
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login