Download App

Chapter 4: Tak Sesuai Usia

Kutunjukkan hasil cetak foto kepada Lena.

"Cuma ini fotonya? Nggak ada yang lain?" Tanyanya sambil membolak balikkan foto berkali-kali.

"Iya itu semuanya. Memangnya ada foto lain,Len?" Aku pura-pura tidak tau.

"Oh nggak koq." Lena tersenyum canggung, namun masih mencari-cari foto-fotonya yang ku simpan di rumah.

"Uang patungannya gimana, Len?" Aku menagih janjinya.

"Oh, itu.. uangnya belum terkumpul semua, Ta." Ucapnya beralasan.

"Lha, terus gimana uangku yang sudah terpakai?" Tanyaku lagi.

"Fotonya aku pegang dulu ya, nanti kalau uangnya sudah terkumpul langsung aku kasih sama kamu." Alasannya lagi.

"Memang sekarang sudah terkumpul berapa?" Selidikku.

"Baru sedikit, Ta. Banyak yang belum bayar." Jawabnya gugup.

"Ya sedikit itu berapa? Kan ada jumlahnya. Siniin dulu yang sudah terkumpul, sisanya bir aku tagih sendiri. Ada catatan kan siapa-siap yang sudah bayar?" Pintaku tegas. Kali ini aku tidak ingin melembek lagi, aku mulai tegas kepadanya. Mendengar perkataanku tadi, Lena mulai terlihat panik.

"Iya dicatet kok, semuanya dicatet." Lena bertambah gugup.

"Ya mana uang dan catatannya?" Tagihku.

"Uangnya dipinjem mamaku, Ta." Jawabnya seperti tanpa dosa.

"Oh. Catatannya?" Hal yang sudah ku duga sebelumnya ternyata terbukti.

"Catatannya aku lupa taruh." Alasannya.

Ku rebut kembali lembaran foto yang ada di tangannya. Aku tersenyum simpul kepadanya.

"Kalau begitu, fotonya aku tahan, besok aku akan bertanya sendiri di kelas, siapa saja yang sudah dan belum bayar. Aku pun berjalan meninggalkan Lena di depan rumahnya.

Lena berlari mengejarku, dia berdiri tept di hadapnku menghalangi langkahku. Mukanya memerah, entah menahan malu atau menahan marah. Dia mulai mengoceh tentang kesetiakawanan, tentang belas kasihan, tentang pengertian, yang tidak ku gubris sama sekali. Aku sudah mengira hal itu akan terjadi, teman sekelasku sudah patungan semuanya, dan Lena yang memegang uangnya, dia memanfaatkan aku untuk membeli dan mencetak foto itu tanpa harus memberikan uangnya kepadaku. Dan akhirnya goto ulang tahun guruku itu tak seorangpun yang pernah melihatnya kecuali aku dan Lena.

Tiba saatnya ujian akhir untuk anak kelas VI, emosi Lena kumat setiap kali ujian datang. Entah mengapa, setiap kali ujian datang, dia selalu saja kesal kepadaku. Namun kali ini sungguh aku bertekat tidak ingin melunak, akan ku jawab apapun ocehannya.

Pagi hari, aku sudah berada di bangku tempat dudukku yang sudah ditentukan, kami terbagi dalam 3 kelas yang berbeda, satu murid satu bangku. Aku dan Lena terpisah kelas. Jam pertama ujian ku lewati tanpa halangan, seperti biasa, setiap kali ujian, fokus ku hanya pada ujian tersebut, hal lain tak ku izinkan mengganggu konsentrasiku. Ketika aku bersiap keluar untuk sekedar mengistirahatkan otak dan membeli beberapa jajanan untuk mengisi perut, tiba-tiba Lena masuk ke kelasku sambil marah-marah.

"Apa mau kamu hah?! Awas ya kalau ganggu-ganggu aku!" Teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku mematung, mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Ku tatap matanya yang menatapku dengan nyalang.

"Kamu gila? Seharusnya aku yang bilang awas jangan ganggu aku." Aku menanggapinya dengan santai. Murid lain spontan melihatku, mungkin mereka berfikir mengapa aku seberani itu menjawab Lena yang sedang marah.

Mendengar tanggapanku seperti itu, Lena makin tersulut emosi. "Aku nggak ganggu kamu, kampang!"

Oow, waaaw! Kata-kata kasar yang hanya berani ku tulis di secarik kertas, Lena berani mengatakannya dengan lantang.

Ku sunggingkan senyum di sudut bibirku, aku berjalan mendekatinya, hanya ku lirik dia selintas lalu, lalu aku berjalan menuju gerbang sekolah untuk meneruskan kegiatanku yang tertunda oleh ulahnya.

Ku fikir dia akan mengejarku, namun ternyata tidak.

Saat akj kembali ke kelas. Rian, teman sebangku ku selama proses belajar mengajar di kelas VI berlangsung tiba-tiba mendekatiku.

"Ta, kok kamu berani banget ngeladenin Lena pas lagi marah tadi?" Tanyanya takut-takut kepadaku. Rian adalah laki-laki. Wali kelas memang sengaja mengatur duduk perempuan dan laki-laki satu bangku.

"Lho memang kenapa, Ian? Apa aku salah?" Tanyaku heran.

"Kamu nggak takut sama Lena?" Tanya Rian lagi.

"Kenapa harus takut? Aku kan nggak salah, tiba-tiba dia marah, ya aku pantes dong buat bela diri." Tukasku.

"Semua murid takut sama Lena, Ta. Masa kamu nggak?" Ucap Rian pelan.

"Satu sekolah takut sama Lena? Memang Lena siapa, Ian? Pereman?" Tanyaku makin penasaran.

"Yaaa, gitulah." Jawab Rian ambigu. Dan tiba-tiba bel sekolah berbunyi, tanda ujian kedua dilanjutkan. Obrolan kami pun terpaksa dihentikan, Rian kembali ke tempat duduknya, dan kami menjalani ujian dengan tenang.

Hari-hari ujian berikutnya tidak ada lagi gangguan dari seorang Lena, dan aku berhasil menyelesaikan ujianku dengan penuh konsentrasi. Setelah ujian selesai, murid-murid kelas VI diliburkan. Aku ikut bibikku dan sepupuku Dira untuk liburan ke kota Bandar Lampung, jadi selama libur, tidak ada alasanku untuk bertemu Lena.

Aku pulang liburan satu hari sebelum pembagian raport. Besoknya, saat yang paling mendebarkan setelah ujian selesai akhirnya tiba, tidak perlu di harapkan untuk posisi 1, 2 dan 3, karena sudah bisa dipastikan didapatkan oleh orang yang sama setiap kali pembagian raport. Tibalah wali kelasku mengumumkan 10 besar kelas, dan ketika namaku disebutkan di urutan ke-4. Tiba-tiba saja Lena berdiri dari duduknya.

"Kok bisa bu?!" Seolah dia tidak percaya dengan hasil yang disebutkan wali kelas.

Whaaat?! Memang difikirnya selama ini aku bodoh kah??

"Memang nilai ujiannya besar-besar." Jawab bu Nelly.

Paling tidak, meski Ibu Nelly membenciku, dia tidak mempersulit nilai raportku.

Mendengar penjelasan dari Ibu Nelly, Lena diam dan duduk kembali, namun sepertinya dia masih menggerutu, entah apa yang digerutuhinya, aku hanya melihatnya tajam dari tempat dudukku.

Jujur saja, sampai ketika aku mengetik cerita ini, aku masih saja tidak habis fikir, bagaimana seorang anak SD memiliki sifat dan sikap seperti Lena dan Hasan? Sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan usia. Aku sempt berfikir, apa aku yang masih terlalu lugu, atau mereka yang terlalu cepat dewasa? Pdahal waktu itu kehidupn anak SD belum sama sekali terkontaminasi oleh smartphone. Tayangan televisi pun sebagian besar adalah kartun, belum ada yang namanya sinetron azab, istri yang tersiksa, dan lain sebagainya yang bisa di contoh keculasannya oleh anak-anak.

Aku baru merasakan keanehan itu saat pindah sekolah, di sekolahku yang lama, teman-temanku berlaku selayaknya anak SD, yang masih asik bermain bersama, jika berkelahi juga hanya karena hal sepeleh, dan tidak sampai memfitnah teman sekelas di hadapan guru.

Saat hari kelulusan, aku pernah mengucap sumpah, sebelum mereka sujud meminta maaf di kakiku, tidak akan naik derajad hidupnya melebihi aku. Bayangkan saja seberapa sakitnya aku, seorang anak SD mampu mengucap sumpah kejam seperti itu.

Saat aku sudah bekerja, tiba-tiba saja Lena menelfonku, dia meminta nomer telfonku dari tante yang dihubunginya melalui sosial media. Kami banyak mengobrol, namun sakit yang ku rasa atas perlakuannya masih ku ingat sampai sekarang. Dia menelfonku seperti tidak ada hal yang menyakitkan yang pernah dilakukannya kepadaku, dia mengatakan merindukan aku, merindukan kenangan SD dulu, sedangkan aku ingin sekali melupakan semuanya.

Aku dan Lena berteman di salah satu sosial media yang ada. Suatu waktu, aku pernah mengetik sebuah cerita singkat tentang pembullyannya kepadaku, hanya point-point hal yang pernah dia lakukan kepadaku. Ap kalian tau apa responnya? Dia malah tanpa merasa berdosa meninggalkan komentar di ceritaku tersebut. Sesuatu sekali bukan?

Sebenarnya yang ku tulis ini baru sebagian kecil kisah yang ku alami saat Sekolah Dasar dulu, dan kucukupkan sampai di sini saja. Pembullyan yang ku alami saat itu masih belum bisa membuatku depresi, itu hanya seujung kuku dari permasalahan-permasalahan yang kualami selanjutnya.

Apakah kalian penasaran bagaimana kehidupan seorang Lena dan Hasan sekarang? Jujur saja, aku tidak ingin mengatakannya, maaf. Namun bisa ku katakan, sumpah seorang anak SD yang bernama Widanta Ester pada saat itu didengar Allah SWT dan kini Allah mengabulkannya. Dan itu membuktikan, do'a orang yang teraniaya itu langsung didengar oleh Allah SWT.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login