Seseorang membuka kain tersebut dari kepala Rival, remaja laki-laki itu mencoba mengedipkan mata untuk memperjelas pandangannya yang buram karena titik cahaya di depannya, cahaya itu sangat silau membuat dirinya tidak bebas untuk menatap langsung.
Rival tidak bisa merasakan energi apapun di tempat ia pijak ini, kaki nya mencoba menerawang mungkin saja ia kenal dengan lantai yang ia pijak sekarang, tapi tetap saja ia tidak bisa merasakan apapun di lantai yang ia pijak.
"Di mana ini? SIAPA KALIAN!!" teriak Rival, mulai marah dengan orang yang memperlakukannya seperti ini. "Aku bersumpah akan membunuh kalian!!" Rival mengancam.
"Apa kau yakin?" tanya seorang pria.
Pandangan Rival mulai terlihat jelas. "Kau?" Iris mata merah Rival membesar, tidak percaya jika ia akan bertemu dengan pria yang ingin ia jauhi. "KURANG AJAR!!" Rival kembali mengamuk mencoba membebaskan diri dari ikatan.
"Diamlah! Sejak awal seharusnya kau ke tempat ini!" balas seseorang.
Sekarang Rival tahu kenapa kedua bersaudara itu selalu ikut campur dengan urusan pribadinya. Habil dan Qabil begitu naif saat didepannya.
"Maafkan aku Rival, tidak seharusnya kau seperti itu pada Tuan Eric." ucap Habil begitu tenang.
"Persetan dengan sekolah ini!!" Rival mulai emosi.
Qabil pemilik sifat emosian ingin sekali memukul mulut Rival, namun niatnya dihentikan oleh Tuan Eric.
"Tenanglah. Kita masih membutuhkannya." ucap Eric pelan.
Emosional Qabil pun meredah, ia menunduk merasa bersalah. "Maafkan saya Tuan."
"Lakukan saja tugas kalian." Melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan mereka.
Habil dan Qabil mencoba membungkuk saat Tuan Eric benar-benar pergi dari ruangan, mereka kembali saling menatap dan kemudian melihat Rival. Remaja laki-laki itu sedikit ngeri dengan tatapan mereka berdua.
"Apa! Kalian mau apakah gua! Kalian tau di sekolah ini hanya gua yang punya kekuatan khusus!!" Rival mencoba memperingati mereka.
"Ya, kami tau. Tidak perlu ngegas gitu." Habil mencoba melepas ikatan Rival.
Rival bertambah takut pada kedua saudara itu. "Sebenarnya apa yang kalian rencanakan?" tanya Rival kebingungan.
"Aku rasa sudah saatnya kalian memberitahu." ucap seorang wanita, perlahan masuk muncul dari balik tirai.
Rival begitu terkejut, ia menunjuk-nunjuk murid wanita itu. "Di... Di.... Dia?"
"Biasa aja! Kagak usah terkejut seperti itu!" Lyne mencoba duduk di kursi.
"Sebenarnya apa yang kalian rencanakan?" tanya Rival.
Habil mencoba membuka ikatan yang melengkapi tubuhnya pada kursi yang ia duduk.
"Sebuah persaingan." jawab Habil.
"Persaingan?" tanya Rival tidak begitu mengerti dengan apa yang Habil ucapkan.
"Percuma saja kau menjelaskan padanya. Mungkin saat ia dilempar ke Bumi ingatannya tentang asalnya sudah hilang dari pikirannya, lagipula aku juga kaget saat Tuan Eric memberitahu kalau dia berganti dengan tubuh seorang remaja, jadi ia ada alasan untuk membawamu ke sekolah mu." jelas Qabil.
"Rival memang bodoh." ucap Lyne.
"Apa maksudmu aku bodoh!" bantah Rival, tidak terima dengan apa yang diucapkan Lyne tentang dirinya.
"Jadi bagaimana selanjutnya?" tanya Lyne.
Habil melihat Qabil, mereka menunggu kesepakatan dari Rival apakah dia ikut dengan mereka atau tidak.
~*~
Ravindra terbangun dari pingsannya. Luka tusukkan dari tombak besi itu masih terasa panas di atas dadanya. Matanya yang tenang kembali menjadi amarah saat melihat sosok Eric, tentu saja Ravindra bergegas turun dari ranjangnya berusaha untuk mendekat, namun itu percuma karena dirinya sudah dikurangi di sebuah ruangan dengan dinding kaca. Ini membuatnya semakin lemah untuk melawan, sumber energinya hanya panas dari matahari.
"Awasi dia. Terus paksa sampai dia ada dipihak kita," ucap Eric. "Kalau masih melawan, beritahu tentang adik emasnya."
"Baik Tuan." Menunduk.
Dengan lirikan mata penuh membara terus memperhatikan Pria bernama Ravindra itu dengan penuh harapan ia akan menguasai dunia penuh kekuatan Dewa yang sudah ia impian sejak awal dirinya menginjakkan kaki di dunia ini. Senyuman penuh kemenangan dan berharap selangkah menuju negara yang akan ia ciptakan sendiri.
Namun kesenangannya tidaklah mudah untuk ia dapatkan begitu saja saat suara ricuh di luar ruangan penelitiannya. Dengan terpaksa ia dan beberapa pengawal keluar untuk mengecek apa yang terjadi di luar sana.
"Apa-apaan ini?!" tanya Eric begitu marah melihat sekumpulan murid yang berkumpul dengan dicegah oleh beberapa guru dan pekerja lain yang masih dipihaknya.
"Apa yang kau lakukan dengan teman kami! Kau mencoba menjadikannya alat!?" ucap salah satu murid perempuan.
"Apa maksud kalian? Apa kalian pernah merasa dikecewakan oleh sekolah ini?" tanya seorang wanita berkacamata melangkah maju, mencoba menyembunyikan Eric dari kemarahan mereka. Satu persatu murid melangkah mundur, masih ada murid yang bertahan pada barisan.
"Dan, bagaimana jika orang tua kalian tau jika kalian ternyata tidak berubah, apakah kalian tidak mau pulang?"
Beberapa murid melangkah mundur, wanita berkacamata itu tersenyum puas dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Jadi, dari mana kalian berasal?" tanyanya pada beberapa murid yang masih bertahan.
"Kami berasal dari Bumi yang kau paksa ke tempat mengerikan ini!" ucap salah satu murid dengan nada tinggi tidak terima dengan perlakuan pihak sekolah selama ini padanya.
"Begitu rupanya. Apa kalian ingin ke Bumi lagi?" tanya si wanita.
"Ya!" jawab murid.
"Baiklah, tapi kalian tidak lihat apa yang terjadi di sana. Semua manusia Bumi tidak akan menghargai kalian dan jika mereka tau kalian adalah manusia dengan kekuatan kalian akan dianggap master dan kalian akan diteliti seperti hewan." jelas si wanita, membuat teman dari murid yang menentang melangkah mundur dan tinggal dirinya seorang yang masih bertahan di depan.
"Anak pintar." Berbalik melihat Eric. "Aku pikir anda tidak perlu saya pada murid satu ini, bukan?" tanyanya pada Eric.
"Terima kasih Cindy."
"Kembali." Cindy melangkah pergi.
Suara sepatu heels-nya begitu nyaring seperti musik kematian bagi murid yang menentangnya barusan, ya, itu benar, murid perempuan itu terduduk lemas, membuat teman-temannya terkejut melihat itu.
"Kembalikan mereka ke kamar masing-masing." ucap Eric memerintahkan para penjaga. Eric melihat murid perempuan di depannya, ia berjongkok meraih dagu murid tersebut. "Apa kekuatanmu?" tanya Eric pelan, namun menakutkan bagi mereka yang bertatapan langsung dengannya.
"A... A .... Aku .... Tolong jangan bunuh akh Tua..." Murid itu menangis.
Eric hanya bisa melihatnya dengan tatapan dingin. "Aku bertanya." ucap Eric kembali.
"Entahlah, aku belum mengembangkannya." ucap murid itu.
Eric berdiri, memerintahkan beberapa orang berseragam putih begitu tertutup mencoba mengurus si murid, tentu saja itu membuatnya takut dan mencoba membebaskan diri.
"Kekuatannya sama seperti Habi. Tuan." ucap salah satu dari mereka.
"Melihat masa depan ya? Mungkin ia nanti berguna."
Mereka mengangguk.
BUK!
Memukul keras pada belakang leher murid perempuan tersebut, membuatnya seketika tidak sadarkan diri.
Green memandang sayu langit-langit yang ternyata kamar asramanya. Seorang murid perempuan menghampirinya dengan meletakkan sebuah nampan berisi obat dan makan siang untuk mendukung acara minum obat tersebut.
"Kau sudah bangun? Cepatlah makan siang mu lalu minum obatnya." jelasnya yang sibuk membereskan peralatan pada meja belajarnya.
"Lyne? Apa Pria itu baik-baik saja?" tanya Green pada Lyne yang sibuk membereskan meja belajarnya.
Lyne terdiam untuk beberapa saat, mencoba berpikir untuk berbohong karena ia harus merahasiakan Ravindra pada Green dan seluruh penghuni sekolah, walaupun kenyataannya Tuan Eric dan pengikutnya sudah menangkap Ravindra.
"Pria mana? Kau ditemukan di hutan saat pemburu menemukan mu, merekalah yang membawamu ke kembali." jelas Lyne.
"Apa? Tapi aku-"
"GREEN!!" teriak seorang wanita dari luar berlari masuk ke dalam memeluk erat Green. Tentu saja dengan refleks Green menangkap dan menerima pelukan hangat dari Wanita itu.
"Green? Apa kau baik-baik saja? Aku takut sekali saat kau menghilang begitu saja, aku dan Lyne berusaha mencari mu." jelasnya.
"Maafkan aku Lisa, itu tidak akan terjadi lagi, aku janji." ucap Green berjanji.
Suara kegaduhan di luar asrama mereka membuat ketiga wanita itu penasaran dan mencoba mengintip.
"Apa ada acara? Dari mana mereka?" tanya Green.
"Ada keributan kecil. Kau tidak perlu mengetahuinya." ucap Lyne. "Lebih baik pergi ke kelas jika kau sudah baikan." Lyne menarik kerah belakang Lisa agar wanita itu membiarkan Green sendiri.
"Jangan lupa minum obatnya, ya!" ucap Lisa.
Green tertawa kecil dan masuk ke kamar.
"Aku harap tidak terjadi apa-apa dan itu hanya mimpi."
~*~
Lisa terus memperhatikan Lyne te tu saja itu membuatnya semakin canggung karena diperhatikan seperti itu.
"Ada apa sih?" tanya Lyne kesal.
"Yang seharusnya nanya itu aku. Kenapa sekarang kau berubah lagi, tidak dingin seperti lalu?" tanya Lisa.
"Aku minta maaf, jadi lupakan itu." ucap Lyne tidak mau membalasnya lagi.
Saat mereka sampai di kelas, seluruh murid menatap Lyne dengan tatapan takut dan ngeri terhadapnya, itu membuat Lisa penasaran dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.
"Jadi dia yang membantu murid yang dipenjara itu, kan?"
"Wah, pantas saja dia kurang berkawan dengan yang lain."
Entah kenapa Lisa mendengar semua pembicaraan mereka, padahal jarak mereka cukup jauh dan suara pun sepertinya sudah cukup kecil.
"Jaga mulut kalian! Kalian tidak ada hak untuk membicarakan sahabatku!" ucap Lisa kesal dengan mereka yang membicarakan Lyne di belakang.
Lyne tersenyum berdiri dengan bersandar pada meja melihat Lisa mengamuk pada murid-murid wanita itu. Mata emas Lyne melirik ke arah pintu kelas, melihat kedatangan Aidan, remaja itu melihat Lisa dan bergabung karena dirinya penasaran dengan apa yang terjadi.
"Lisa ada apa?" tanya Aidan, mencoba menenangkan.
"Nih mereka! Membicarakan buruk tentang orang!" jawab Lisa kesal.
Aidan tertawa kecil. "Wanita memang seperti itu, kan?"
Lisa menoleh dengan memasang wajah kesal pada Aidan.
"Maaf, apa aku salah bicara?" tanya Aidan takut.
"Tidak semua wanita suka bergosib!" bantah Lisa.
"Ya Baiklah, tidak semua tapi kau pasti juga seperti mereka, kan?" tanya Aidan meledek Lisa.
"TIDAK!" teriak Lisa.
Seluruh murid yang di luar berlarian masuk ke tempat duduk masing-masing, begitu juga mereka yang ada di dalam pun menyadari itu. Lyne menarik tangan Lisa untuk kembali ke tempat duduk, begitu juga dengan Aidan, bersiap untuk keluar dari kelas tersebut.
"Aidan." panggil guru yang baru masuk ke dalam kelas.
Seluruh murid berbisik-bisik tentang guru wanita tersebut yang baru-baru ini memang sangat terkenal jahat pada murid-murid di Magic School, Mrs.Cindy, namanya begitu indah, tapi memiliki rahasia suram pada dirinya.
"Ya?" Aidan berbalik.
"Ambilkan layar proyektor di meja saja, sekarang." ucap Mrs.Cindy.
Lyne melihat Aidan, berharap Aidan tidak menuruti perintah wanita itu.
"Maaf. Tapi saya tidak tau meja ibu di mana, lagipulakelas saya bukan di sini." jawab Aidan keluar kelas.
"Baiklah. Bagaimana kalau Lyne?" tanya Mrs. Cindy memberikan senyuman, begitu juga matanya dibalik kecamatan.
"Tidak." jawab Lyne dingin dengan ekspresi seperti tokoh pria padahal dia wanita.
"Hahahaha.... Ya ampun, kenapa kalian seperti itu sama ibu? Selain mereka apa ada yang mau ambilkan?" tanya Mrs.Cindy.
Seseorang mengangkat tangan, Lyne terkejut menoleh melihat orang tersebut.
"Lisa! Apa yang kau lakukan?" tanya Lyne tidak menyangka Lisa akan menawarkan diri untuk membantu Mrs.Cindy.
"Oh .... Anak yang baik. Tolong ya, kau tau meja ibu, kan?"
Lisa berjalan keluar dari tempat duduknya.
"Aku akan menemaninya." ucap Lyne.
"Tidak boleh!" Mrs.Cindy menolak dengan tegas, menoleh melihat Lisa memberikan senyuman.
Tentu saja itu membuat Lisa bergidik ngeri, dengan langkah cepat ia pun meninggalkan kelas berjalan menuju kantor guru. Langkah Lisa terhenti saat melihat sosok Aidan yang berdiri dibalik dinding seperti menunggu seseorang, karena penasaran ia pun mendekati Aidan.
"Kau sedang apa?" tanya Lisa memunculkan kepala tepat di samping Aidan.
Remaja laki-laki itu berteriak kaget. "Bisa nggak ngagetin gitu!" ucap Aidan tidak terima.
"Abis Kau aneh. Apa kau bolos?" tanya Lisa.
"Sekali-kali tidak apa-apa, kan?" tanya Aidan.
"Dasar! Mentang-mentang udah mau senior, bertindak sesukanya."
"Kau mau ke kantor guru?" tanya Aidan.
"Iya. Mau temenin aku?"
"Ya."
"Wah, terima kasih." Lisa menggandeng tangan Aidan, itu membuat Aidan yang tenang menjadi panas luar biasa. Tentu saja Lisa begitu terkejut, hingga melepas kedua tangannya dari tangan Aidan.
"Maaf, kalau bisa jangan pegang aku, perasaanku sedang tidak enak hari ini." jelas Aidan berjalan mendahului.
Lisa pun menyusul. "Apakah ada masalah?" tanya Lisa penasaran dengan perasaan yang dijelaskan Aidan.
"Tidak ada." jawab Aidan.
"Lalu apa masalahnya?" tanya Lisa.
Langkah Aidan terhenti. "Kau."
Lisa menujuk dirinya. "Aku? Kenapa?" tanya Lisa masih tidak mengerti.
"Cepatlah, Mrs.Cindy akan murka jika kau lama di luar."
Lisa menyusul.
~*~
Sesampai di kantor guru, langkah Lisa terhenti.
"Ada apa?" tanya Aidan.
"Aku tidak berani. Kata murid lain, kantor guru sangat menakutkan. " jelas Lisa.
"Kalau begitu aku yang akan masuk."
"Memang kau tau meja Mrs.Cindy?"
"Tau."
"Lalu kenapa kau menolak tadi?"
"Aku bukan murid kelas itu."
"Oh ya lupa." Lisa memukul pelas kepalanya.
"Tunggu di sini, jangan kemana-mana."
"Oke."
Lisa melihat Aidan masuk ke dalam kantor guru, ia pun mencoba duduk di kursi yang disediakan di luar, mata dan batinnya masih menerka-nerka apa yang terjadi di dalam.
"Lisa." panggil seseorang.
Lisa menoleh, menundukkan kepala memberi salam pada orang tersebut, jika dilihat cara berpakaiannya, dia lebih senior dari Aidan. Itu terlihat dari lencana yang ia pakai pada kedua pundaknya.
"Sedang apa di sini?" tanya orang itu.
"Menunggu teman." ucap Lisa.
"Begitu ya." Berjalan masuk ke kantor guru.
"Siapa dia? Menakutkan sekali." Batin Lisa ketakutan.
"Lisa." panggil Aidan yang sepertinya sudah selesai dengan urusannya, padahal panggilan Aidan tidak begitu keras tapi remaja perempuan itu terkejut membuat Aidan ikut terkejut.
"Kau kenapa?" tanya Aidan.
"Tadi ada kakak senior dia sangat menyeramkan sekali." ucap Lisa.
Aidan menoleh ke belakang melihat kantor guru, ia pun kembali melihat Lisa. "Ayo, aku antar kau ke kelas." ucap Aidan.
You may also Like
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT