Ketiga murid perempuan menundukkan kepala agar tidak melihat langsung mata wanita berkacamata di depan dengan dagu bertumpu pada kedua tangan memandang mereka dengan tajam.
Ia adalah Kepala Sekolah di sekolah sihir, Rosalyn, soal kekuatan yang ia miliki itu masih menjadi rahasia, kalau saja ia tidak memakai kacamata tebal mungkin ia akan terlihat cantik, sebenarnya itu hanya pemikiran kebanyakan orang saat melihat orang yang memakai kacamata, kenyataannya mereka tidak tahu apa-apa. Kepala sekolah Rosalyn memiliki mata hitam, warna kebanyakan manusia di Bumi dengan rambut lurus menutup leher dan jujur itu tidak cocok untuknya.
"Apa yang kau lakukan Lisa?" tanya Kepala Sekolah Rosalyn pada murid perempuan berambut panjang ikal, itu membuatnya terkejut dengan refleks mengangkat kepalanya melihat Kepala Sekolah Rosalyn.
"Mhhh ... Itu anu, aku pikir Lyne akan mengeluarkan kekuatannya, jika sampai itu terjadi, kamar akan terbakar untuk yang ke ... satu ... dua ... tiga ..." Lisa mulai menghitung berapa kali kamar asrama mereka terbakar karena kemarahan Lyne.
Kepala sekolah Rosalyn memukul jidatnya yang sedikit jenong dengan pelan. "Hentikan! Kembali ke kamarmu." Perintahnya.
"Baiklah." Lisa berjalan menuju pintu. "Aku akan menunggu kalian di luar!" ucap Lisa tanpa basa-basi. Kepala sekolah Rosalyn yang mendengar itu tidak habis pikir dengan sifat Lisa yang begitu ceroboh, Lyne dan Green hanya bisa tersenyum tipis merespon ucapan Lisa.
BLAM!
Suara bantingan pintu kayu terdengar saat Lisa menutupnya. Sesuai dengan janjinya, ia berdiri menunggu teman sekamarnya di luar dengan tangan di belakang dan bersandar pada dinding sejengkal jauhnya itu membuat tubuhnya sedikit miring. Karena penasaran, ia kembali ke posisi semula, mencoba dengan kekuatannya untuk melihat apa yang terjadi di ruangan Kepala Sekolah Rosalyn.
Tanpa Lisa sadari, seorang Pria tersenyum melihat tingkahnya. "Jika Kepala Sekolah Rosalyn tau, kau akan dapat hukuman lagi." ucapnya.
Lisa terkejut. Dengan cepat mengedipkan mata, menoleh, melihat pria itu, saat tahu siapa dia. Lisa hanya bisa memberikan senyuman lebar, begitu juga dengan Pria tersebut.
"Hai kak Habil." Sapa Lisa.
"Hai." balas Habil memberikan senyuman manis pada Lisa. Tentu saja itu membuat Lisa salah tingkah dan Habil menyadari itu. Lisa kembali ingat dengan remaja laki-laki di ruang informasi murid, niat ingin bertanya harus sirna saat pintu ruangan Kepala Sekolah Rosalyn terbuka.
"Aku sedang menunggu mereka." ucap Lisa menunjuk Lyne dan Green yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
Green yang menyadari kehadiran Habil dengan cepat menyembunyikan wajahnya dan berlari meninggalkan mereka.
"Kenapa dia?" tanya Lyne kebingungan.
"Nggak tau." jawab Lisa menggelengkan kepala.
"Sudah sana kembali ke kamar!" pinta Kepala sekolah Rosalyn. "Habil? Apa kau ada keperluan?" tanya Kepala Sekolah Rosalyn, saat menyadari kehadiran Habil.
Lyne menarik tangan Lisa untuk meninggalkan tempat tersebut.
Habil tersenyum melihat kepergian kedua murid perempuan itu.
"Ya, saya ingin memberikan jadwal pelajaran baru yang anda minta." Memberikan sebuah map pada Kepala Sekolah Rosalyn, wanita dewasa itu menerima map tersebut.
"Wah, terima kasih. Mau mampir untuk minum teh dulu?" tawar Kepala Sekolah Rosalyn membuka pintu ruangannya lebar-lebar.
Habil menggeleng. "Tidak, lain kali saja, saya masih harus menyelesaikan pekerjaan lain." Tolak Habil secara halus.
"Oh ya, saya dengar kalian mendapat murid didik baru di Bumi, bagaimana rupanya?" tanya Kepala Sekolah Rosalyn penasaran.
Habil mencoba mengingat kembali sosok remaja laki-laki itu. "Yang saya ingat hanya matanya yang merah keemasan, intinya dia laki-laki." Habil tertawa kecil. Kepala Sekolah Rosalyn pun ikut tertawa, entah apa alasannya ia ikut tertawa.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam." Habil membungkukkan badannya dan berjalan pergi meninggalkan Kepala Sekolah Rosalyn.
~*~
Green mencoba memangkas bunga liar yang tumbuh di sekeliling lantai kamar asrama, karena lantai kamar terbuat dari batu murni itu membuat tumbuhan tersebut berkembang pesat.
"Ya Tuhan ku yang maha agung. Apa yang terjadi?" tanya Lisa terkejut saat mendapati lantai kamar asrama dipenuhi rerumputan. Awalnya Lisa begitu terkejut, tapi ia dengan senang melepas sendalnya dan melompat-lompat di atas rerumputan tersebut.
"Lyne, cobalah ini sangat nyaman." Suruh Lisa menikmati setiap pijakan kakinya.
Lyne hanya diam melihat tingkah laku Lisa, lalu ia pun melihat Green.
"Apa yang terjadi?" tanya Lyne.
"Itu, gara-gara perasaan." jawab Green malu-malu.
"Perasaan suka pada kak Habil?!" Tebak Lisa asal bicara. Membuat Green kembali malu, itu membuat rumput bunga kembali tumbuh.
"Green hentikan itu!!" teriak Lyne tidak suka dengan padang rumput yang dibuat Green. Tapi tidak untuk Lisa, remaja itu malah terlihat senang.
~*~
Untuk kesekian kalinya Lyne menguap menahan kantuk dengan mata terus melihat Lisa yang masih bersemangat bermain-main dengan taman bunga yang tumbuh di dalam kamar asrama mereka, dan yang menyebabkan ini semua hanya bisa menunduk malu karena kesalahannya, petugas kesehatan sekolah sihir bahkan mencoba menenangkan Green untuk tidak terlalu membesar-besarkan perasaan nya itu.
"Sekarang tarik napas, lalu hembuskan, rileks-kan diri mu."
Green menurut.
"Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Petugas kesehatan.
Green mengangguk pelan. Perlahan padang rumput di kamar mereka pun berangsur menghilang, Lisa cemberut kecewa.
"Sepertinya kau harus lebih rajin belajar mengendalikan emosional mu itu." ucap Petugas kesehatan, memberikan selembar kertas pada Green.
"Terima kasih, aku akan berusaha." balas Green menerima kertas tersebut dan berjalan menuju kamar. Green mencoba menutup pintu kamar dengan perlahan, melihat Lyne yang sudah tertidur lelap sedangkan Lisa, sepertinya ia masih ingin bermain di atas rerumputan.
"Padahal aku suka rumput bunga itu." ucap Lisa kecewa, memoyongkan bibirnya.
"Besok kita ke taman bagaimana?" Tawar Green.
"Tidak tertarik!" balas Lisa menutup tubuhnya dengan selimut.
Green terdiam, memandangi telapak tangannya, sedikit ada selaput halus seperti seekor laba-laba. Green bukanlah manusia, ia adalah makhluk Elf, itu sebabnya ia memiliki telinga yang berbeda dari Lisa dan Lyne ras manusia murni. Green masih berpikir, bagaimana bisa ia terjebak di dalam sekolah sihir ini. Tapi sepertinya ia tidak perlu khawatir karena elf di sekolah ini bukan hanya dirinya. Malam ini Green tidak bisa tidur, ia mencoba berjalan menuju jendela untuk membuka tirai yang menghalangi angin yang ingin masuk kamar, angin dengan lembut membelai wajah Green yang putih bersih, ia mencoba memejamkan mata samar-samar mendengar suara musik alam pada malam hari. Suara binatang malam yang lebih jelas terdengar di telinga Green.
"Green ini sudah malam, tidurlah." ucap Lyne saat tahu temannya belum terbaring di tempat tidur.
Green membuka matanya. "Baiklah." Saat ia ingin beranjak, tanpa sengaja ia melihat seseorang di atas atap gedung sekolah.
"Siapa dia?" tanya Green.
["Jangan menatap ku seperti itu!"]
Green terkejut, ia mencoba melihat sekeliling kamar, namun tidak ada siapapun selain mereka. Entah kenapa ia baru saja mendengar suara laki-laki di telinganya.
["Kenapa? Terkejut?"] tanya suara laki-laki terdengar kembali di telinga Green. Green mulai menyadari dari mana asal suaranya, ternyata orang yang ada di atap itu penyebabnya. Green melihat kembali, ia masih duduk di sana, tidak terlihat jelas wajahnya seperti apa.
"Si-Siapa kau?!" tanya Green di dalam hati.
"Si-Siapa kau?!" tanya Green di dalam hati.
["Bisakah kau beritahu tempat apa ini?"] tanya laki-laki itu.
"Magic School, kami bersekolah di sini." jawab Green.
["Sekolah apa yang memaksa orang untuk masuk ke sini!"]
"Aku tidak tau apa maksudmu."
["Lupakan saja."]
"Maukah kau memberitahuku siapa namamu?" tanya Green masih penasaran dengan sosok laki-laki itu yang mulai berdiri seperti ingin pergi dari tempat tersebut. "Tunggu aku mohon."
["Untuk apa? Lagipula kita pasti akan sering bertemu."]
"Astaga! Green, kau tidak tidur!?" tanya Lisa saat terbangun dari tidurnya.
Karena suara Lisa yang keras Lyne pun terbangun.
"Sudah kuduga, kau tidak tidur?" tanya Lyne.
Green tetap ada di sana berusaha untuk tidak beranjak, karena masih penasaran dengan laki-laki yang ada di atas atap. Iris mata Green melebar saat tahu apa yang terjadi, saat cahaya matahari mulai muncul dari persembunyiannya, berangsur laki-laki itu menghilang menjadi abu dimulai dari bagian kepalanya, itu membuat Green kecewa, melangkah mundur, terduduk di kursi belajar milik Lyne.
"Green? Sebenarnya ada apa sih?" tanya Lisa penasaran.
"Semalam laki-laki itu berbicara batin denganku dan aku menunggu pagi untuk melihat wajahnya, tapi, tapi itu semua sia-sia!" ucap Green.
Lyne menatap Lisa, namun remaja perempuan berambut ikal itu hanya mengangkat kedua pundaknya tanda tidak tahu apa-apa. Lyne pun berjalan mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi tidak begitu mempedulikan ocehan Green yang tidak jelas di telinganya. Namun tidak untuk Lisa, ia begitu penasaran dengan apa yang Green bicarakan, remaja perempuan berambut ikal itu mendekati Green.
"Kau ini kenapa?" tanya Lisa.
"Semalam laki-laki misterius bicara batin denganku. Di-Dia duduk di atas atap sekolah kita." Tunjuk Green.
"Wah, jauh sekali. Aku baru tau ada orang yang punya kekuatan batin sejauh itu? Atau jangan-jangan?" Lisa mulai ingat dengan remaja laki-laki semalam yang dibawa Qabil dan Habil. "Apa jangan-jangan itu dia?" tanya Lisa melipat kedua tangannya dan mulai mengingat.
"Kenapa? Apa kau tau laki-laki itu?" tanya Green penasaran.
"Kalian belum siap?! Nanti Mr.Marvyn akan menghukum kalian, jika telat masuk ke kelasnya." ucap Lyne mencoba menyisir rambutnya.
"Astaga! Aku baru ingat, biar aku dulu yang mandi." Lisa pun bergegas masuk ke kamar mandi.
Green kembali melihat keluar jendela kembali.
~*~
PRANG!
Untuk kesekian kalinya remaja laki-laki menjatuhkan piring murid lain yang sedang sarapan di Lamiageist nama kantin sekolah sihir. Si pemilik sarapan tidak terima dengan apa yang ia lakukan, mencoba mendekati dan mencengkeram kerah kemeja si remaja laki-laki, sepertinya itu tidak membuatnya takut. Matanya yang merah terang menatap tajam murid laki-laki tersebut.
"Apa kau keberatan?" tanyanya.
Keributan ini membuat seluruh murid sekolah sihir terpancing untuk menonton mereka bersorak-sorai mendukung jagoan mereka masing-masing, tentu saja itu membuat petugas penjaga Lamiageist panik mencoba menelpon bagian keamanan untuk memisahkan mereka yang menimbulkan masalah ini.
"Apa kau anak baru di sini? Kau tidak tau siapa aku!"
"Tidak tuh? Memang siapa kau?" tanya si bermata merah menambah memperburuk keadaan.
Murid laki-laki itu bertambah emosi dengan kasar ia pun menarik penutup mulut yang dipakai remaja laki-laki bermata merah itu hingga terlepas dari wajahnya.
"Aidan!" Dengan cepat Habil menutup remaja laki-laki bermata merah itu dengan kain hitam.
Murid laki-laki bernama Aidan hanya terdiam dengan alis mata kanannya sedikit turun tidak mengerti kenapa kakak senior Habil menyembunyikan wajah murid baru itu. Seluruh murid sekolah sihir berdecak kecewa.
"Lanjutkan sarapan kalian dan segera pergi ke kelas masing-masing!!" teriak Qabil mencoba menertibkan semua murid agar tidak menimbulkan suara gaduh. Qabil mencoba mendorong tubuh Aidan yang kurus untuk kembali ke kursinya, namun remaja itu begitu keras kepala dengan cepat berbalik untuk berhadapan dengan Qabil.
"Siapa dia? Kenapa kalian menyembunyikannya dari kami?" tanya Aidan.
"Itu bukan urusanmu. Jadilah murid baik jangan buat masalah." ucap Qabil berjalan meninggalkan Aidan.
Dari kejauhan Green dan kedua perempuan berinisial L melihat semua kegaduhan itu, namun mereka tidak seperti murid lain yang harus lihat siapa yang membuat kegaduhan.
"Sepertinya murid baru mencari masalah dengan kembaran mu." ucap Lisa pada Lyne.
"Siapa kembaran ku?" tanya Lyne tidak mengerti.
"Aidan." Bisik Lisa dengan menunjuk Aidan yang berjalan menuju pintu keluar.
"Kekuatan sama bukan berarti dia kembaran ku!" ucap Lyne menepis pemikiran Lisa yang menitipkan dirinya dengan Aidan.
Aidan Baskara arti namanya sudah menjelaskan siapa dirinya dan dari mana ia berasal, ya, api. Semua bilang Aidan terlahir dari api suci yang tersimpan di ruangan rahasia sekolah sihir, tapi itu hanya kabar angin belaka buktinya Aidan masih memiliki keluarga yang setiap libur semester menjemput dirinya untuk pulang.
"Aku jadi penasaran dengan murid baru itu, kenapa kak Habil menutupnya dengan kain? Bahkan saat ia datang tidak di sambut oleh yang lain." tanya Lisa.
"Apa jangan-jangan yang malam itu adalah dia?" tanya Green masih membahas tentang laki-laki misterius yang ada di atap sekolah.
"Sarapannya selesai, sekarang kembali ke kelas pembelajaran!!" teriak penjaga, mereka menyebutnya Fiacro(penjaga dalam bahasa latin) jika salah satu dari mereka tidak ada yang tahu jalan atau butuh bantuan para Fiacro akan membantu mereka yang tersesat. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi, karena sebagian penghuni sekolah sihir sudah mengetahui seluruh area.
~*~
Habil mencoba membuka kain penutup dari kepala seorang remaja laki-laki. Habil bisa melihat mata merah dari remaja laki-laki itu, terdiam menunduk. Habil tahu kenapa remaja itu tidak ingin menatap dirinya, remaja laki-laki yang ia bawa seharusnya tidak dilahirkan di Bumi manusia, entah apa yang direncanakan Tuhan pada mereka.
"Apa kau terluka?" tanya Habil memastikan ia baik-baik saja.
"Apa kau punya kacamata atau apa untuk menyembunyikan mata merah ku ini." ucap remaja itu.
Habil mencoba mencari kacamata di dalam laci meja kerjanya, menemukan kacamata bulat entah milik siapa, bahkan ia tidak ingat, saat tangannya ingin meraih kacamata tersebut remaja laki-laki bermata merah itu sudah mengambilnya lebih dulu dan memakainya. Habil bisa lihat perubahan dari iris mata remaja itu yang berwarna merah menjadi hitam, warna kebanyakan manusia di Bumi.
"Sepertinya ini agak culun untukku." Komentarnya.
"Kalau begitu lepaskan saja, aku akan mencari kacamata yang lain." Habil mencoba meraih kacamata tersebut, namun dengan cepat remaja itu melangkah mundur menghindari Habil.
"Tidak apa-apa, aku akan pakai ini."
Entah kenapa Habil merasa remaja laki-laki itu mengetahui sejarah dari kacamata itu, bahkan dirinya pemilik kacamata sudah lupa apa saja kenangan dari kacamata itu.
"Aku tau, tapi kenangan ini tidak harus diperlihatkan olehmu." ucap remaja laki-laki itu.
"Apa yang kau tau?" tanya Habil.
Remaja laki-laki menatap Habil dengan serius, lalu menatap langit-langit. "Kematian seorang wanita." ucapnya.
Mata coklat Habil terbuka lebar, terkejut saat mendengar kata wanita, ia menjadi penasaran berusaha untuk meraih kacamata tersebut untuk melihat sejarahnya. Dengan cepat Remaja tersebut melangkah mudur menghindari Habil.
"Aku mohon sekali saja, biarkan aku melihatnya." ucap Habil memohon.
Remaja laki-laki itu pun melepas kacamata tersebut, memberikan pada Habil. "Silakan jika kau memang bisa menerima kenyataan." ucapnya.
Habil menatap kacamata tersebut.
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT