Jantung Marion seolah nyaris mencelus kala mendengar perkataan bosnya. Pria itu mulai berani menggodanya, ataukah itu merupakan pertanyaan umum yang akan ia tanyakan pada siapa pun?
Mungkin saja William kini tengah didera rasa tak tenang, sehingga ingin memastikan apakah Marion memiliki ketertarikan terhadapnya, atau itu hanya formalitas antara asisten kepada atasannya? Yang pasti, saat ini William sungguh ingin tahu pendapat gadis yang hingga kini tak bisa ia baca isi kepalanya. Entah apa faktor yang menyebabkan dirinya layaknya orang bodoh, tetapi begitulah adanya.
Seolah ada kubah cahaya yang melingkupi Marion hingga tak mampu ditembus olehnya.
Ini sungguh hal yang luar biasa dan belum pernah terjadi selama kehidupannya. Itu sebabnya ia bisa memutuskan akan diapakan wanita-wanita sebelumnya, sementara terhadap Marion—si gadis pembangkang itu—William justru kelimpungan, seperti seorang amatir.
"P-pertanyaan macam apa itu? Itu sangat tidak sopan, Pak," sahut Marion, terbata. "Aku hanya mempertanyakan bagaimana pendapat wanita lain, dan tak percaya jika pria sepertimu sama sekali tidak memiliki kekasih."
"Jangan salah paham dulu, Marion. Aku justru bertanya mengenai pendapatmu, sebagai seorang wanita. Apa yang kau katakan barusan, apakah itu yang akan muncul jika posisi kita bukan sebagai asisten dan bos?" desak William, tak ingin membiarkan Marion bebas begitu saja setelah apa yang ia ucapkan, yang tentu saja mengusik ketenangan pria itu.
Marion berusaha menahan sesuatu yang mulai menggeliat di rongga dadanya, menimbulkan perasaan tak nyaman, tetapi berbeda dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang kadang timbul kadang hilang, dan di lain kesempatan justru membuatnya semakin tak tenang.
Sudah berapa lama dirinya dan William saling mengenal? Dua hari, mungkin. Dan efek yang dirasakan Marion terhadap William—dan sebaliknya—sungguh luar biasa.
Apa sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya?
"Bisakah jika Anda menjawab saja apa yang kutanyakan? Atau jika Anda masih meneruskan pertanyaan anda itu, aku lebih memilih kembali ke ruanganku saja. Pembicaraan ini selesai!"
Marion bangkit dari tempatnya, yang tentu saja membuat William seperti kebakaran jenggot. Pria itu segera bergerak menuju ke tempat di mana gadis itu berdiri, menahan langkahnya dan memohon agar ia kembali duduk.
Pembicaraan tak boleh berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. William tak ingin timbul rasa tak nyaman di hatinya karena ditolak oleh seorang wanita. Bukankah seharusnya ia yang menolak? Seperti yang selalu ia lakukan sebelum-sebelumnya.
Marion sungguh berhasil membuat dunia seorang William Reynz jungkir balik tak karuan.
"Okay, okay ... maafkan aku. Kembalilah duduk. KIta tak mungkin mengakhiri pembicaraan dengan ada kemarahan seperti ini, bukan? Baik, aku akan jawab pertanyaanmu, dan tak akan balas bertanya. Tidak, kecuali kau bersedia."
Okay ... begitu lebih baik. Memang seharusnya William mengalah seperti itu.
Bukankah selalu ada aturan dalam setiap hubungan, apa pun itu? Terlebih hubungan tak jelas seperti yang terjadi antara dirinya dan Marion. Wanita adalah satu-satunya yang selalu benar. Dan jika wanita melakukan kesalahan, maka kembali pada aturan sebelumnya.
Tunggu! Siapa bosnya di sini? Mengapa jadi William yang begitu tunduk dan patuh, sementara gadis itu dengan tenangnya menikmati bermain polisi-polisian dengannya?
Marion nyaris tergelak sendiri karena merasa berhasil mempermainkan pria di hadapannya. Pantas saja kalau William bersikap angin-anginan terhadapnya, karena ia pun tak sungkan bersikap seenaknya terhadap atasannya itu.
Sepertinya dunia sudah mulai tua ... mulai hilang akal, hingga semua yang terjadi saling bertukar dan terbalik.
"Aku akan jawab sekarang, jika kau masih menginginkannya," ucap William kemudian menatap iris sewarna kacang pistachio itu dalam-dalam. Berusaha memastikan bahwa gadis itu memang masih ingin mendengar sedikit cerita tentangnya. Marion kemudian mengangguk perlahan, dibarengi dengan umpatan dalam hati William.
'Dammit! Gadis ini tahu bagaimana cara mempermainkan perasaan pria! Jika terus seperti ini, aku bisa-bisa tenggelam dalam permainannya.'
William berdehem sejenak. "Aku memutuskan untuk sendiri selama ini karena memang tak ingin atau ... kau tahu. Aku tipe pria pemilih. Tak banyak wanita yang kuperbolehkan untuk tahu sisi lain diriku."
Baiklah ... itu saja cukup menjelaskan bahwa William mungkin sedang merayu Marion. Atau bisa jadi pria itu lagi-lagi salah merangkai kalimat.
"Begitu, ya? Andaikan ada seorang wanita yang kau merasa cocok dengannya, apakah kau akan membatasi diri juga? Atau apakah kau akan memberi ruang pada wanita itu untuk mengenalmu lebih dalam?" tanya Marion lagi. Pertanyaan ini jelas bukan untuk memuaskan tanya mengenai dirinya, karena Marion tidak terlalu peduli dengan anggapan William tentangnya.
Ini jelas tentang wanita lain, dan tentang William.
"Kau bertanya untuk dirimu sendiri, Marion?" tembak William, yang sontak membuat gadis itu gelagapan.
Ia sudah katakan—meski hanya dalam hati—kalau pertanyaan itu bukan untuk dirinya, bukan? Masih saja pria itu mengira sesuka hati.
"Anda tahu, tak mungkin aku bertanya untuk diriku sendiri. Aku asisten Anda, kan? Rasanya tak pantas jika aku mencari kesempatan mendekati bosku," elak Marion.
"Marion, kau sejak tadi berubah-ubah, terkadang memanggil Anda, terkadang kau. Bagaimana kalau kita buat ini menjadi santai saja?"
"Kau bilang tadi—"
"Sudahlah ... apakah akan kita lanjutkan perdebatan ini, atau kita menuju pada jawabanku?" tegas William, seolah tak ingin memberi kesempatan Marion untuk membantah lagi. Terlebih untuk melarikan diri dari ruangban yang mulai terasa memanas itu.
Entah apa yang membuat atmosfer di ruangan itu terasa berbeda.
"Kurasa ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan. Bagaimana kalau aku kembali saja ke ruanganku? Aku harus bekerja, bukan? Anda pun juga harus bekerja. Kita bukan pengangguran."
"Baiklah, terserah kau saja. Namun, kau bisa bekerja di sini bersamaku, jika kau mau." William ingin mencegah langkah gadis itu, tetapi tidak dengan cara terang-terangan.
Marion menatap skeptis ke arah William. "Apakah ini berhubungan dengan salah satu pasal di kontrak yang aneh itu? Jika ya, aku tidak mau."
"Astaga, Marion! Seriously? Itu lagi?" keluh William, putus asa. "Baiklah ... begini, aku akan membuatnya singkat, padat, dan jelas. Aku sudah mengatakan kalau pekerjaanmu adalah mendampingiku mulai kantor hingga di rumah. Apakah kau sudah memiliki tempat tinggal?" tanya William, yang semakin menimbulkan tanya di benak Marion akan tujuan pria ini memperkerjakannya.
"Ya, tentu saja, Pak. Anda, kan, sudah tahu. Mengapa bertanya lagi? Lagi pula, memangnya kenapa?" tanya Marion, sedikit ketus.
"Jadi ... sebenarnya aku telah mempersiapkan—"
Tok tok tok!
Belum juga William menyelesaikan kalimatnya yang dengan susah payah ia rangkai, seseorang mengetuk pintunya dengan cukup keras. Membuat pria itu lantas menghentikan ucapan yang sudah menggantung sejak tadi. Sekaligus menyelesaikan atau mungkin lebih tepatnya menunda perbincangan serius antara dirinya dan Marion.
Marion hendak beranjak kembali ke ruangannya, tetapi William memberi isyarat agar gadis itu tidak pergi ke mana pun.
"Tak apa, Marion. Tempatmu adalah di sini, jadi kau tidak perlu sungkan untuk tetap tinggal selama aku tidak memintamu pergi." William kemudian bangkit dan bersiap menyambut siapa pun yang datang menemuinya di jam makan siang dan mengganggu momen antara dirinya dan Marion.
Matanya membelalak kala langkah kaki menderap masuk dan menampilkan sosok tegap yang sangat dikenali oleh William.
"Hey, Will!"
"DRAKE!"
Keduanya lantas saling berpelukan layaknya dua sahabat yang melepas rindu setelah lama tak bersua. Marion hanya mematung di tempat, sempat ternganga, memerhatikan keakraban kedua pria rupawan itu.