"Tante Ren!"
Panggilan itu Mauren dapat saat dirinya baru saja keluar dari sebuah kantor penerbitan tempat dia bekerja sebagai editor lepas di sana. Mauren yang pelit sekali dengan sebuah senyuman, dengan mudahnya tersenyum saat melihat Lesi tengah berlari kecil ke arahnya.
"Tante Ren!" teriak gadis itu lagi sembari menubruk tubuh Mauren yang hanya berdiri kaku di tempatnya.
Mauren bukan tipe orang yang mudah—atau lebih tepatnya enggan berbasa-basi dengan orang baru apalagi anak kecil seperti Lesi ini. Namun, entah daya magis apa yang dimiliki gadis kecil ini sehingga bisa dengan begitu mudahnya mengambil hati Mauren, meski si pemiliknya masih enggan menunjukkannya secara terang-terangan.
"Kamu sedang apa?" tanya Mauren sembari melongok ke belakang Lesi, di mana ayah atau bos Kenanga tengah berjalan mendekat.
"Papi mau ajak Lesi makan siang. Tante Ren ikut, yuk!" Gadis kecil itu menarik lengan Mauren tanpa menunggu persetujuan yang diajak.
"Lesi, Tante nggak bisa!" Mauren menahan langkahnya, tentu saja dia tidak mau makan siang bersama dengan ayah dan anak ini. Mereka akan terlihat seperti keluarga kecil, dan tentu saja itu bukan hal yang menyenangkan sama sekali.
Lesi menoleh sembari memberengutkan wajah. "Kok nggak bisa? Lesi, kan, pengin traktir Tante Ren. Boleh, kan, Pi?" Gadis kecil itu menoleh ke arah papanya yang tampak bingung.
"Lesi, maaf sekali, Tante benar-benar nggak bisa," ujar Mauren. Bukan hanya karena ayah Lesi yang tampak tidak berminat makan siang dengannya, tetapi juga karena dirinya yang tidak mau.
"Tante ada urusan setelah ini." Mauren sebenarnya bisa langsung pergi setelah mengatakan itu. Dan biasanya juga seperti itulah sikap yang ditunjukkan untuk orang-orang baru dihidupnya, tetapi kali ini entah mengapa dia tidak mau membuat gadis ini kecewa terhadapnya.
"Sayang, Tante Rennya lagi nggak bisa. Nanti lain kali aja kita ajak lagi."
Mauren bersyukur saat ayah dari anak ini ikut membujuk putrinya. Mauren pun mengangguk untuk mendukung kalimat itu. Meski entah nanti itu akan terwujud apa tidak.
"Janji, ya, Tante Ren. Nanti kapan-kapan makan bareng Lesi!"
Mauren lagi-lagi terpaksa mengangguk, dan segera pamit pergi sebelum anak kecil ini kembali membuatnya bingung.
*
"Sayang, hari ini, kan, kita mau makan sama Tante Ara, nggak enak kalau ngajak Tante Ren juga." Langit mencoba memberi pengertian pada putrinya yang tampak kecewa karena Mauren menolak ajakannya.
Lesi mendongak untuk menatap wajah ayahnya, mencoba memikirkan kalimat itu. "Memang begitu, Pi?"
Langit mengangguk dengan senyuman teduhnya. "Nanti lain kali, kamu ajak Tante Ren langsung, tanpa Papi. Karena bisa jadi Tante Ren juga nggak nyaman kalau makan sama Papi."
Gadis kecil itu pun mengangguk, senyum ceria pun kembali muncul. "Oke kalau begitu."
Langit pun segera mengajak Lesi untuk menemui calon istri serta calon ibu untuk anaknya ini. Dan wanita itu ternyata sudah berdiri di depan kantornya.
"Udah lama nunggu, ya?" sapa gadis dengan wajah cantik itu sembari mengusap kepala Alesia saat gadis kecil itu mencium punggung tangannya.
"Enggak kok, baru. Langsung jalan aja?" Langit segera menggiring dua gadis berbeda generasi itu saat satu anggukan diterimanya sebagai jawaban.
"Kalian masuk saja dulu, aku angkat telpon," ujar Langit sembari merogoh sakunya untuk mengambil ponsel.
"Ya Kenanga?" Ternyata itu telepon dari sekretarisnya.
"Pak, kontrak kerja sama dengan Hotel Anjani kok belum ditandatangani, ya? Sebentar lagi Mbak Titanya datang ini."
Langit mengernyitkan keningnya. "Bukannya itu untuk besok?"
"Pak, sekarang tanggal 15."
Langit memejamkan matanya saat kesalahan kali ini berasal darinya. "Kenanga kamu bisa antar berkasnya ke saya?" ujar laki-laki itu sembari masuk ke dalam mobilnya.
"Bapak share alamatnya saja."
*
"Kamu mau yang ini, Sayang?" Maura tampak telaten mengurus makan siang untuk Lesi. Hal yang tentu saja membuat Langit senang karena tidak salah memilih calon istri.
Lesi sendiri juga terlihat sangat senang saat diperhatikan seperti itu oleh Maura. Keduanya sudah terlihat seperti ibu dan anak saat ini. Bukankah saat ini mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sempurna?
"Mau Tante, aku juga mau yang itu." Lesi menunjuk lauk lain yang diinginkannya, dan Maura juga terlihat tulus saat melayani anaknya yang begitu banyak permintaan.
"Mas Langit mau ini juga?" Maura mengganti fokusnya pada Langit yang dia tahu sejak tadi terus memperhatikannya.
"Aku bisa sendiri, kamu juga makan." Langit mengambilkan udang goreng tepung yang menjadi makanan favorit gadis di depannya ini.
"Iya." Maura tampak tersenyum senang mendapat perhatian seperti itu.
"Aku merasa bersyukur karena Tuhan pertemuin aku sama kamu," ujar Langit sembari menatap wajah Alesia yang sedang lahap menyantap makan siangnya. "Kamu keliatan tulus sayang sama Lesi, makasih, ya."
Maura tersenyum, kalimat seperti ini sebenarnya sudah pernah Langit ucapkan untuknya. Namun, mendengarnya lagi tentu saja membuatnya sangat terharu.
"Aku memang suka anak kecil dari dulu," ujar wanita dengan rambut lurus sepunggung itu. Ada tatapan haru yang selalu muncul di matanya setiap kali melihat Alesia. Seperti ada satu rasa yang mengikatnya pada gadis ini, entah rasa apa itu, tetapi rasa sayangnya ini memang begitu tulus.
"Apalagi sama anak semanis Lesi, dan sebentar lagi dia bakalan jadi bagian hidup aku." Maura menatap wajah Langit dengan senyum cantiknya. "Aku ingin buktiin, kalau nggak selamanya ibu tiri itu kejam, ada juga ibu tiri yang bisa menyayangi anak tirinya dengan begitu tulus."
"Itu kenapa aku bilang aku bersyukur untuk pertemuan kita." Langit mencium punggung tangan Maura. Rasa sayang yang dimilikinya untuk gadis muda ini semakin terasa kuat setiap harinya.
"Ya udah kita makan." Langit mengajak Maura untuk melanjutkan acara makan siang ini karena mereka berdua harus kembali bekerja setelah ini.
Maura pun mulai menikmati hidangan yang dipesan oleh Langit. Laki-laki ini benar-benar tahu apa saja yang disukainya, termasuk makanan favorit apa saja yang biasa dia pesan saat mereka memasuki restoran.
"Ya? Kamu masuk ke resto saja, saya sedang makan siang," ujar Langit pada ponsel yang kini ditempelkannya di telinga.
"Siapa, Mas?" tanya Maura penasaran.
"Sekretaris aku, dia mau nganterin berkas yang lupa aku tandatangani." Penjelasan Langit bersamaan dengan munculnya Kenanga di pintu restoran. Laki-laki itu melambai pada gadis yang tampak berlari ke arahnya itu.
Maura yang penasaran menoleh, kebetulan pintu masuk restoran ada di belakangnya. Dan mata wanita itu melebar saat sosok sekretaris yang dimaksud adalah salah satu orang yang selama ini dicarinya.
"Ini, Pak." Kenanga tampak mengatur napasnya sembari menyorongkan berkas penting yang dibawanya pada Langit.
"Kamu—"
"Kak Anga?" Kalimat Langit terpotong oleh sapaan yang Maura beri. Dan hal membingungkan terjadi saat itu. Kenanga yang terlihat terkejut, dan Maura yang kini menunjukkan mata berkaca-kaca. Ada apa dengan dua gadis ini?
Hai, makasih udah mampir ke cerita ini. Aku bakalan mulai update berkala, ya. Karena jadwalnya nggak tentu, kalian boleh ikutin media sosial aku buat tahu kapan aja aku update. IG - dunia.aya
Setiap update bakalan aku info ke sana. Makasih :)