Sarah terus melihat Rembulan yang duduk di balkon. Rembulan menatap lurus, entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin dia rindu pada Raditya. Tadi Sarah sayup-sayup mendengar Rembulan mengucap kata rindu. Ah, dia kira suara bisikannya tidak terbawa angin. Lagi pula malam sepi seperti ini, suara jarum jatuh saja tetap terdengar.
Rembulan terlihat tenang, Sarah merasa ini waktunya dia membuat pengakuan, kalau dia sudah membocorkan tentang A-Luna adalah Rembulan pada seseorang. Rembulan memang tidak mengenal Rian, tapi Rembulan mengenal Ari. Beberapa waktu ini Sarah merasa tidak tenang. Biar bagaimanapun dia sudah berjanji pada Rembulan untuk merahasiakan identitasnya. Saat itu mulut dan otaknya tidak bisa diajak bekerjasama. Andaikan malam itu dia tidak dalam kondisi mabuk, mungkin rahasia itu masih tersimpan.
"Lan...!" panggilnya pelan.
"Hmm..." Ciri khas Rembulan kalau sedang melangut, dia hanya akan menjawab seperti itu.
"Raditya tahu kalau kamu penulis?" Duh, pertanyaan apa sih ini? Sepertinya Rembulan pernah cerita. Sarah hanya ingin mengulur waktu dan mencari kata-kata yang pas untuk masuk kepermasalahan itu.
"Tahu...Kenapa?" Matanya masih menatap lurus.
"Oh, dia tahu kalau kamu itu A-Luna?" Sarah menyatukan kedua telapak tangannya kemudian menggerak-gerakkannya terlihat gugup. Sungguh, Sarah takut Rembulan marah.
"Aku pernah memberitahukannya beberapa waktu lalu." Rembulan menoleh, melihat Sarah. Kali ini matanya tertuju pada Sarah dan tatapannya menjadi serius.
"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" Rembulan bertanya dengan telak, dia bisa membaca mata Sarah dan sikapnya yang terkesan tidak tenang.
"Bang Ari juga tahu soal itu?" Sarah bertanya dan memang berniat mengulur waktu.
"Sepertinya aku sudah pernah menceritakannya padamu. Atau aku yang lupa." Rembulan menutup matanya sebentar, berusaha mengingat, "Ah, aku jelas pernah menceritakannya kalau Bang Ari tahu soal aku adalah A-Luna. Aku hanya pernah bertanya soal Bang Ari yang tahu alamat rumahku."
Tatapan mata Rembulan berubah menjadi curiga, "Jangan katakan kalau kamu ada kaitannya dengan kebocoran informasi itu?" Rembulan bertanya dengan nada menuduh.
Sarah menelan ludah, mendadak tenggorokannya terasa kering. Lidahnya menjadi kelu. Dia menghitung dalam hati.
"Memang aku yang mengatakannya, tapi bukan pada Bang Ari langsung tapi pada temannya," katanya takut-takut.
Rembulan terus memandangi Sarah dengan pandangan tak percaya. Selama ini dia mengira rahasianya aman di tangan Sarah.
Rembulan melipat tangannya di depan dada menatap Sarah lekat, tatapan matanya seolah mengatakan "ceritakan sekarang, aku menunggu". Tak ada senyum di bibir Rembulan. Sarah menarik napas sebelum memulai ceritanya. Kemudian meluncurlah cerita tentang malam itu, saat dia bertemu Rian.
***
Sarah mengingat sore itu dia sedang bersedih, laki-laki yang selama ini membuatnya melambung ternyata memilih perempuan lain. Laki-laki itu memberi alasan bahwa perempuan yang bersamanya kini sudah dijodohkan dengannya sejak dulu. Namun selama ini laki-laki itu tidak pernah menerima karena tidak ada perasaan cinta untuk perempuan itu.
Sarah suka dengan perhatiannya, jatuh cinta dengan senyumnya bahkan lirikan matanya sudah membuat Sarah hilang konsentrasi. Sarah mencintai semua yang ada pada laki-laki itu. Bagaskara adalah segalanya buat Sarah. Mereka dekat walaupun Bagaskara tidak pernah menyatakan kata cinta untuk Sarah. Bagi Sarah, kedekatan dan perhatian laki-laki itu sudah cukup untuknya.
Sarah pernah menyatakan perasaannya, dia menebalkan wajahnya karena sebenarnya tidak terlalu yakin Bagaskara akan menjawab "Ya" untuk cintanya. Sarah ingat saat itu Bagaskara hanya tersenyum dan menggenggam tangan Sarah. Tak ada kalimat "Aku juga mencintaimu." atau kalimat "Aku ingin kamu jadi kekasihku." Namun Sarah seolah tak perduli, baginya senyuman dan genggaman tangan adalah jawaban yang cukup untuk cintanya. Sarah terlalu mencintai hingga menjadi buta. Bukankah cinta bisa membuat seseorang memang menjadi buta. Terkadang tak memandang usia, tak memandang harta bahkan harga diri. Semua atas dasar cinta.
Sore itu Sarah akan meninggalkan kantornya dan bertemu Bagaskara di lobi dengan seorang perempuan. Perempuan itu sangat cantik apalagi dengan lesung pipinya. Senyumnya sangat manis. Sarah terpana, perempuan itu terlihat sempurna dan Sarah merasa dia bukanlah lawan tanding yang pantas bagi perempuan itu. Penampilannya sederhana namun terlihat pas ditubuhnya.
Perempuan itu tersenyum ramah pada Sarah saat Bagaskara mengenalkan mereka berdua, "Dia tunanganku..." Sarah tak mendengar lagi selanjutnya apa yang dikatakan Bagaskara. Hatinya remuk redam. Dadanya bergemuruh. Sarah hanya mengangguk lalu berlalu, menyepi ke kafe yang berada di sudut halaman perkantoran. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Baru sebentar dia duduk di kafe itu. Rian menelponnya dan berkata ingin menanyakan sesuatu. Bagaikan mendapat angin segar, Sarah mengajak Rian bertemu di klub tempat biasa mereka nongkrong dengan teman-temannya.
Sarah membutuhkan seorang teman tempat menumpahkan rasa yang ada di hatinya. Sarah butuh pelampiasan. Dan itu bukan Rembulan. Sahabatnya itu tidak pernah mengerti dengan kebiasaan Sarah yang suka minum hingga mabuk saat dia sedang sangat bersedih. Sarah akan menceritakan pada Rembulan beberapa hari kemudian kalau dia sudah mulai bisa menata hatinya.
Sarah hanya mengingat kalau dia butuh minuman dan tertawa bersama teman-temannya. Biarlah itu hanya kebahagiaan yang terlihat semu. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang semu untuk melupakan sejenak masalahnya.
Sarah mulai lupa detailnya bagaimana Rian akhirnya menanyakan soal Rembulan, A-Luna dan hubungan semua itu. Sarah tak begitu ingat bagaimana akhirnya dia memberitakan semua tentang Rembulan. Malam itu Sarah tertawa senang dan menepuk punggung Rian, "Nggak sia-sia lo kenal gue. Banyak hal yang gue tau termasuk soal A-Luna sang penulis misterius."
Sarah hanya mengingat Rian berkali-kali mengucapkan terima kasih.
***
Rembulan berdeham lalu menghembuskan napas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana memperlakukan Sarah. Disatu sisi Sarah adalah sahabatnya dan dia harus menerima Sarah dengan segala kekurangannya. Termasuk saat Sarah khilaf dan mengungkapkan rahasianya.
"Kamu kan tahu kenapa aku harus menyimpan rahasia siapa diriku? Sampai editorku juga hanya tahu bahwa aku tangan kanan dari A-Luna." Rembulan menghela napas, "Kalau akhirnya aku memberitahu Ari dan Raditya karena aku percaya mereka bukanlah sejenis manusia yang akan membocorkan semua. Tapi Rian...? Hei, aku tak mengenalnya! Namun dia mengetahui semua tentangku! Aku seperti sedang telanjang dan berada di suatu ruangan tanpa aku bisa melihat ke luar tapi orang yang berada di luar bisa melihat diriku yang telanjang!"
"Aku harap kamu tidak pernah lupa cerita tentangku." Rembulan berkata lagi setengah putus asa, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Bulan, tak akan terjadi lagi cerita seperti itu. Tak akan ada yang menculikmu. Itu hanya kisah masa lalu." Sarah mencoba menghibur. Dia merasa bersalah.