"Jangan khawatir aku baik baik saja, sungguh.."
Marisa mengangguk lalu tersenyum, sementara Julyan berusaha untuk duduk namun, punggungnya masih terasa sakit.
"Tidak perlu bangun.." sergah Marisa.
Malam pukul 21.36
Tak ada siapapun di ruangan selain Marisa dan Julyan. Julyan menyuruh kakak dan adiknya untuk tidur dirumah, dan membiarkan Marisa dengannya, untung saja mereka mengerti apa yang Julyan inginkan jadi mereka mengiyakan keinginan Julyan.
"Aku tidak suka melihatmu seperti ini.." ujar Julyan ia melepas ikatan rambut istrinya.
"Aku tidak sedih.."
"Bohong."
Marisa meraih tangan suaminya lalu mendekapnya. "Janji tidak akan seperti ini lagi?"
"Janji!"
"Kamu tau? Apa yang aku rasakan saat tau kamu kecelakaan?"
Julyan menatap sang istri dengan hangat, membiarkan istrinya meluapkan semua deritanya.
"Aku merasa bersalah.. Sampai sampai tak mau hidup lagi.."
"Mas..."
"Aku khawatir kamu marah, aku khawatir kamu gak mau buka mata kamu lagi.."
"Aku takut.. Aku menyesal sampai sampai aku benar benar ingin mati rasanya..."
"Maafkan aku.. Aku tidak ingin cerai... Aku tidak marah... Aku gak mau kehilangan kamu Mas.."
"Janji..."
"Jangan seperti ini lagi.."
"Aku takut Mas.."
Julyan mengusap air mata Marisa yang mulai terisak, bukan salah dia, bukan salah siapapun.
"Aku tidak apa apa... Jangan menangis..." ujar Julyan lalu ia membawa Marisa kedalam pelukannya, sampai akhirnya Marisa terlelap.
.
Pukul 06.59
Marisa bangun, ia sedikit masih setengah sadar, tapi tak lama ia terkejut, kenapa bisa ia tertidur di ranjang Julyan.
"Kenapa disini?" gumamnya pelan.
"Sudah bangun?"
Marisa hendak turun namun Julyan menariknya hingga mereka bertatapan sangat dekat.
"Jangan turun... Disini saja.." ujar Julyan.
Marisa tersenyum lalu mengecup bibir suaminya "Iya.."
Demi tuhan, Julyan belum sembuh total tapi nafsunya kembali memberontak, ia perlahan mengecup istrinya lalu berakhir dengan ciuman pagi, mereka sedang berciuman.
Marisa mengutuk dirinya sendiri, bagaimana bisa ia berciuman sepagi ini, bahkan ia pun masih lusuh penampilannya.
.
"Aku dijalan.."
Hendra dan Mahen tengah berjalan menelusuri lorong rumah sakit untuk ke kamar rawat Kakaknya.
Mahen tengah bertelepon dengan teman kecilnya dulu, sementara Hendra mengecek paper bag memastikan bahwa yang ia bawa benar dan tidak salah.
Hendra hampir membuka pintu rawat Kakaknya, tapi tidak jadi. Ia terkejut saat melihat Kakaknya sedang...
"Auuhh... My eyes!" ujarnya sembari menutup matanya kemudian berbalik.
"Kenapa?"
"Kak! Jangan!" cegah Hendra.
"Kenapa?"
"Aish jangan!"
Mahen melihatnya juga, tangannya menggaruk kepala lalu berbalik menatap Hendra.
"Ya ampun.."
"Ya! Kau benar... Jangan.."
Mark terkekeh pelan, bisa bisanya ia melihat Kakaknya sedang berciuman sepagi ini.
Mahen menoleh Hendra dan Hendra ikut menoleh mereka bertatapan lalu tertawa, terkekeh pelan.
"Mataku ternodai... Eomm Tolong.. Hiks.." kekeh Hendra.
Sementara Mahen merasa dirinya malu entah kenapa, rasanya ingin memarahi Kakaknya itu.
"Ndra! Ayok!" ajak Mahen gugup.
"Kemana?"
"Kampus! Aku harus ke kampus!"
"Ini bagaimana?" Hendra memperlihatkan totebag berisi makanan untuk Marisa.
"Aisshh!" sarkas Mahen.
"Kenapa tidak masuk?" Yuta datang bersama Bryan.
"Aaah.. Itu Kak.." jawab Hendra gugup.
"Itu apa?" - Bryan.
"Julyan kenapa?" - Yuta.
"Tidak apa apa! Tapi jangan masuk dulu.. Masalahnya.."
"Anu.." lanjut Hendra.
Yuta berjalan dan hampir membukanya, setelahnya ia berbalik "Aku ingin menikah.."
.
"Mas! Kamu gila ya!" tukas Marisa agak menjauh, ia melihat sekeliling, untung saja jendelanya masih tertutup.
"Kamu mulai dulu," kekeh Julyan.
Marisa beranjak, menaikkan brankas nya hingga Julyan setengah terduduk.
"Kak!" Bryan membuka pintu nya lalu memasuki ruangannya.
"Sudah bangun rupanya!" kekeh Yuta.
Sementara Hendra dan Mahen terlihat gugup.
"Kalian kenapa?" tanya Julyan.
"Oh.. A... Ini... Makanan.. Hehee," jawab Hendra.
"Kalian berdua juga akan berciuman nanti!" celetuk Yuta.
Julyan melotot begitupun Marisa, keduanya saling bertatapan.
"Kakak liat?" tanya Julyan.
"Mm.. Bisa bisanya dirumah sakit melakukan itu!" omel Yuta.
"Aku.. Aku ke toilet ambil piring!" ujar Marisa terdengar canggung.
"Piring tidak ada di toilet!" Imbuh Bryan.
Marisa tak hiraukan, sungguh ia ingin mengutuk dirinya, malu sangat malu... Benar benar tidak tau harus berekspresi seperti apa.
"Kakak iri!" ledek Julyan.
"Iya!... Jadi mau menikah aku.." kesal Yuta.
"Kak... Aku berangkat dulu.." ujar Hendra ber pamit.
"Oh iya.. Aku juga.. Dah.." kini Mahen bergantian, keduanya pergi berlari kecil, Julyan terkekeh pelan.
"Aku juga! Kak dimana handphone mu?" tanya Bryan.
Julyan baru sadar, Ponselnya hilang, tak tau dimana.
"Tidak ada!" jawabnya singkat.
"Aah.. Aku lupa, maaf!" sesal Bryan.
"Untuk apa?"
Bryan menunjukkan berkas berkas yang seharusnya Julyan tangani.
"Mau kekantor?" tanyanya.
"Iyaa.. "
"Telpon Marisa saja, aku akan jawab kalau ada kamu gak ngerti.." katanya, lalu Julyan mencoba untuk duduk, punggungnya masih sedikit terasa nyeri tapi tidak terlalu.
"Kalau begitu aku berangkat hyung!" pamit Bryan, lalu diangguki oleh kedua Kakak nya.