Malam itu, keluarga Pak Ferdi mengobrol cukup lama sebelum akhirnya memasuki kamar masing-masing untuk istirahat.
Termasuk Tante Sita yang menempati kamar tamu utama.
"Sudah lama enggak ke sini, kok semuanya sama aja, ya, enggak ada barang mewah yang baru ... gitu," ucap Sita dengan wajah menyebalkannya.
"Tinggal tidur aja, kenapa, sih, Ma," tegur Suaminya, Putra. Kadang ia juga jengkel dengan sifat nyinyir istrinya. Tapi, mau bagaimana lagi namanya sudah menjadi istri.
"Apa, sih, Ayah ini! Kenyataannya begitu, kok!" jawab Sita ketus.
Untunglah kedua anaknya menempati kamar tamu yang lain. Sehingga tak melihat pertengkaran kecil orang tua mereka itu.
Putra berdecak kesal, percuma memberi tahu istrinya. Punya seribu alasan untuk membenarkan apa yang dilakukannya. Ia akhirnya lebih memilih tidur duluan daripada mendengar istrinya mengoceh tak jelas.
"Dasar lelaki, enggak pernah ngerti kalau istrinya butuh teman ngobrol! Malah tidur duluan!" gerutu Sita ketika menyadari suaminya telah terlelap dan mendengkur halus.
***
Revan pulang dari kantor pukul sembilan malam, lembur karena ada pekerjaan yang belum selesai.
"Jalanan tumben sepi banget, enggak kayak biasanya. Mungkin karena habis hujan kali, ya," lirih Revan bicara dengan dirinya sendiri.
Jalanan malam ini begitu lengang, sehabis hujan deras dari magrib tadi. Revan melajukan mobil sendiri seperti biasa. Padahal berulang kali ibunya minta agar ia menggunakan jasa supir pribadi. Tapi, Revan tetap saja menolak dengan alasan lebih senang menyetir sendiri mobil kesayangannya itu.
Revan menaikan kecepatan mobil agar segera sampai di rumah. Ia pikir tak akan terjadi apa-apa karena jalanan yang terlihat kosong.
Saat sedang melaju kencang, tiba-tiba ada truk oleng yang juga melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan.
Tabrakan pun tak dapat dihindari.
Bruk!
Suara tabrakan itu begitu keras hingga terdengar beberapa meter dari lokasi kejadian. Para warga yang penasaran dan telah menduga ada kecelakaan langsung keluar rumah dan menuju lokasi kejadian.
Benar saja dugaan mereka, mobil pribadi yang ditumpangi Revan ringsek tak berbekas. Sementara truk juga penyok di bagian depan.
Warga segera mengevakuasi pengemudi, mereka mengeluarkannya dari dalam mobil dan memeriksa tanda-tanda kehidupan di tubuh mereka. Beruntung keduanya masih hidup hanya saja luka-luka di tubuh mereka terlihat menganga dan mengeluarkan banjir darah.
Beberapa waktu kemudian dua ambulan datang untuk membawa korban kecelakaan ke rumah sakit. Mobil polisi juga datang hampir bersamaan dengan ambulan.
Revan tak sadarkan diri di dalam ambulan. Mulutnya dipasang alat untuk membantu pernapasan.
Setelah dua puluh menit ambulan tiba di pelataran rumah sakit. Sudah ada perawat yang menunggu mereka dengan membawa brankar untuk pasien menuju ruangan tindakan.
Revan didorong untuk menuju ruang tindakan medis. Darah masih saja mengucur dari dahinya yang terbentur keras dengan kemudi mobil. Tubuhnya pun ada beberapa bagian yang luka karena terhimpit di dalam mobil.
Pihak polisi yang menangani, mencari identitas korban untuk memberi tahu keluarga. Untunglah kedua korban menyimpan ponselnya di saku celana. Jadi polisi mudah untuk mengambil ponsel itu dan mencari kontak keluarga yang sekiranya bisa dihubungi.
Di rumah, Bu Regina masih tak tenang dengan masalah yang dihadapinya. Berkali-kali ia mencoba untuk memejamkan mata. Tapi nihil, netranya tak bisa diajak kompromi.
Ponsel Bu Regina berdering, ada telepon masuk. Nomornya tak dikenal.
"Malam-malam begini, siapa yang nelepon?" tanya Bu Regina pelan seperti bergumam.
"Pa, ada yang nelepon nomornya enggak dikenal." Bu Regina membangunkan suaminya yang sudah terlelap.
Pak Andi langsung bangun dan bertanya ada apa. Istrinya menyodorkan telepon yang masih berdering.
Pak Andi dengan sigap menerima telepon yang disodorkan istrinya.
"Halo," ucap Pak Andi setelah telepon terhubung.
'Apa benar ini dengan orang tua dari saudara Revan?' tanya Polisi dengan suara baritonnya.
"Iya, benar, Pak. Ada apa dengan anak saya? Ini siapa?" tanya Pak Andi yang mulai panik dengan kondisi anak tirinya tersebut.
Bu Regina menatap suaminya yang sedang menelepon dengan tatapan cemas. Hatinya bertanya-tanya juga apa gerangan yang terjadi dengan Revan, anaknya.
'Kami dari kepolisian hendak mengabarkan kalau anak Bapak mengalami kecelakaan lalu lintas. Sekarang sedang dirawat intensif di Rumah Sakit Sentosa,' tutur Polisi tersebut dengan tegas.
"Ba—baik, Pak. Saya segera ke sana," ucap Pak Andi kemudian menutup sambungan telepon.
"Ada apa, Pa? Kenapa Revan?!" selidik Bu Regina dengan panik yang begitu kentara.
"Revan mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang dirawat di Sentosa. Ayo, kita ke sana!" Pak Andi langsung bangkit dan mengganti pakaian tidurnya dengan kaos dan dilapisi jaket kulit yang tebal.
Pun dengan Bu Regina yang langsung bersiap dan memakai jaket tebal berbulu. Mereka bergegas pergi menggunakan mobil. Supir Pak Andi sudah pulang ke rumahnya sejak sore tadi karena dikira sudah tak ada jadwal lagi.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
"Hati-hati saja, Pa," ucap Bu Regina yang berada di jok samping kemudi.
Jalanan sehabis hujan memang begitu licin dan rawan terjadi kecelakaan. Bu Regina sebenarnya ingin segera sampai di rumah sakit, namun keselamatan mereka lebih penting dari apapun.
Perjalanan membutuhkan waktu 45 menit dengan kecepatan sedang. Sesaat setelah mobil diparkir, suami-istri itu langsung turun dan menuju ruangan di mana Revan sedang mendapat tindakan medis.
Ada dua orang polisi yang duduk di kursi tunggu tepat di depan ruangan.
"Bagaimana kondisi anak kami, Pak?" tanya Pak Andi pada polisi itu dengan cepat dan panik.
"Jelasnya, kami kurang tahu. Lebih baik menunggu dokter yang sedang menangani," ucap salah satu Polisi tersebut.
"Kalau begitu, kami pamit dulu," ucap Polisi itu lagi.
Mereka bangkit dari duduk dan menyalami Pak Andi dan Bu Regina. Kemudian, melenggang pergi.
Tinggal mereka yang duduk di kursi tunggu sambil harap-harap cemas, menunggu dokter keluar dari ruangan.
Bu Regina mondar-mandir di depan ruangan, sudah setengah jam berlalu tapi dokter belum keluar juga dari ruangan.
"Sebenarnya bagaimana kondisi Revan, Pa ...? Kenapa dokternya lama sekali keluarnya," ujar Bu Regina yang cemas dengan kondisi anaknya.
"Sabar dulu, Ma. Lebih baik kita berdoa untuk keselamatan Revan," ucap Pak Andi yang berusaha menenangkan istrinya.
"Bagaimana mau tenang, Pa .... Kondisinya saja kita belum tahu, Mama, takut Revan kenapa-napa!" Bu Regina sedikit menaikan oktaf suaranya karena kesal pada suaminya yang nampak santai.
Padahal dalam hati Pak Andi pun begitu cemas pada keadaan Revan. Meskipun bukan anak kandungnya, tapi ia mengurusnya sedari bayi. Juga, menyayanginya layaknya anak sendiri.
Waktu di benda yang menempel di dinding itu masih berputar. Sudah satu jam berlalu dokter belum juga keluar dari ruangan.
"Duduk dulu, Ma," titah Pak Andi lembut.
Bu Regina tak menghiraukannya.
Ceklek.
Pintu ruangan dibuka.