Download App
2.85% CARAPHERNELIA / Chapter 1: Hadiah Dari Dokter
CARAPHERNELIA CARAPHERNELIA original

CARAPHERNELIA

Author: pirenchin

© WebNovel

Chapter 1: Hadiah Dari Dokter

"Naraya!"

Brak! Pintu kamar berwarna putih itu dibuka paksa oleh seorang wanita yang umurnya kini menginjak usia hampir 60 tahun. Matanya semakin melotot saat mendapati putri tunggalnya itu malah tengah berdiri dengan pakaian yang menurutnya lebih pantas seperti orang yang ingin pergi melakukan demo minta penunuran harga BBM.

Itu Ibu Naraya. Wanita yang sejak tadi meneriaki anaknya untuk siap-siap, tapi sampai di menit ke-20 dia mendapati Naraya , putrinya itu malah sedang asik sedang menggerakkan tangannya mengikuti irama yang sedang mengalun melalui speaker kecil.

"Astaga, Naraya! Ibu udah manggil kamu daritadi dan kamu masih kayak gini? Ini kita sudah mau terlambat, Naraya," dengus Ibu Naraya.

Naraya berbalik menghadap Ibunya sambil cengengesan. Di tangannya bahkan masih melingkar sebuah benda yang menyerupai jam tangan tapi yang ini bisa menyala dan merupakan benda ciri khas dari band yang dikaguminya.

Karena terkejut dengan kedatangan Ibu, Naraya sampai tidak sempat menyembunyikan benda tersebut, padahal kalau Ibunya sudah naik pitam seperti ini bukan hal yang tidak mungkin barang-barang Naraya itu akan kena sita.

"Heheh. Naraya siap-siap tiga puluh menit lagi, boleh?" tawar Naraya.

Ibu Naraya kembali menggebrak pintu kamarnya. Mereka sudah telah sepuluh menit, tapi anaknya itu masih berani meminta tambahan waktu 30 menit lagi? Dalam jangka waktu selama itu bisa membuat Ibu Naraya menyita semua barang-barang yang menyangkut dengan idol anaknnya itu.

"Kamu mau Ibu sita semua CD-CD kamu itu, hah?!" gertak Ibu Naraya.

Mendengar hal itu membuat Naraya langsung memasang sikap was-was tingkat tinggi. Kali ini dia tidak bisa membujuk Ibunya untuk memberinya waktu lebih lama lagi untuk menghabiskan konser idolanya.

"Oke-oke. Naraya siap-siap sekarang. Ibu keluar dulu dan jangan lirik-lirik koleksi CD Naraya. Oke?"

Ibu Naraya hanya bisa mendesah pasrah. Kadang dia lelah dengan tingkah anaknya ini. Usianya sudah mau 30 tahun tapi kelakuan masih seperti ABG yang meneriaki nama laki-laki bergitar di atas panggung.

"Cepat! 10 menit nggak keluar, CD kamu yang Ibu bawa keluar," ancam Ibu Naraya lagi.

Mendengar ancaman itu lagi membuat Naraya kembali mengambil langkah seribu untuk membuat Ibunya keluar dari kamarnya. Tidak lupa juga dia mengunci pintu takut-takut kalau Ibunya kembali hilang kendali dan menganiaya koleksi kaset miliknya.

"Udah bayar mahal-mahal, eh, malah nggak nonton sampe abis. Dasar ibu-ibu rempong," cibir Naraya kepada Ibunya sendiri dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi untuk segera siap-siap.

***

Kini, Naraya dan Ibunya sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan klinik. Sudah ada beberapa pasien yang masuk ke ruangan dokter yang juga akan dimasuki Naraya.

Melihat anaknya yang malah kembali asik memandangi laki-laki bergitar di layar ponselnya, Ibu Naraya hanya bisa mendesah. Dia tidak menyangka kalau hari ini akan jadi ujung dari perjuangan mereka selama dua tahun terakhir ini.

Tapi, kenapa hanya dirinya yang deg-degan, ya? Apakah anaknya itu deg-degan juga seperti dirinya? Mengingat hari ini bisa dikatakan sebagai hari dimana mereka mengucapkan kata perpisahan dengan Dokter yang sudah membuat kehidupan anaknya bisa kembali seperti dulu.

Ibu Naraya menyenggol lengan Naraya dan membuat anaknya itu mengalihkan atensi dari layar ponselnya. Tidak lupa juga melepas headset yang sejak tadi menyumpal telinganya.

"Kenapa?" tanya Naraya dengan sebelah kening terangkat.

"Kamu nggak deg-degan? Ini kan terapi kamu yang terakhir," ucap Ibu Naraya.

"Ibu deg-degan, ya?" goda Naraya.

Ibu Naraya berdecak. "Ya, iyalah. Setelah dua tahun akhirnya kamu bisa lepas dari terapi ini."

Naraya tersenyum lembut kemudian menyimpan ponsel dan headset-nya ke dalam saku jaket yang dikenakannya. "Harusnya senang dong. Ini kan yang kita mau sejak dulu. Sekarang Naraya bisa bebas lagi."

Tangan Ibu Naraya terulur untuk mengusap rambut panjang anaknya. Dia menatap lembut putri semata wayangnya itu. Dia bangga sudah membesarkan putri yang tidak kenal menyerah. Dan hari ini, dia akan mendapatkan apa yang sudah dia perjuangkan selama dua tahun ini.

"Ibu harap kamu bakal bahagia terus, sayang."

Suara perawat yang memanggil nama Naraya memutuskan suasana haru di antara ibu dan anak itu. Sebelum masuk ke dalam ruangan, Naraya mengecup singkat puncak kepala ibunya.

"Hey, Naraya," sapa Dokter Hendra.

"Halo, Dok. Apa kabar?" balas Naraya dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Dokter Hendra.

Dokter tampan itu tersenyum hangat ke arahnya. Dia seakan menangkap raut bahagia dari Dokter yang sudah merawatnya selama dua tahun ini.

"Saya selalu baik, dong. Semoga pasien saya ini selalu baik juga, ya?"

Naraya mengangguk mantap sambil tersenyum ke arah Dokter Hendra. "Berkat Dokter, Naraya bisa baik-baik saja sejauh ini."

"Saya ikut bahagia dengan pencampaian kamu sampai sekarang. Saya bangga punya pasien yang tidak pernah mengeluarkan kata menyerah selama dua tahun ini," tambah Dokter Hendra lagi.

"Dokter bisa aja. Mungkin emang metode Dokter buat Naraya tidak sempat memikirkan kata itu. Naraya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan dokter yang tepat," balas Naraya.

Dokter Hendra tertawa singkat. "Sudah-sudah. Acara ucapan manisnya disudahi saja, ya? Saya jadi lupa mau kasih kamu wejangan terakhir."

Dokter Hendra mengambil catatannya mengenai perkembangan Naraya selama dua tahun ini. Senyumnya kembali terukir saat membaca hasil setiap terapi yang dijalankan Naraya.

"Saya sudah yakin kamu bisa kembali dengan kehidupan kamu sebelumnya. Kamu masih ingat rumus rahasia yang saya ajarkan dulu?" Naraya mengangguk sebagai jawaban. "Ucapkan itu dalam hati setiap kali kamu merasa ada yang tidak beres dengan lingkungan sekitar kamu. Selama ini, bukan karena metode saya yang sempurna, tapi bagaimana cara kamu menerima semua anjuran saya dengan sangat baik, itulah yang membuat kamu bisa pelan-pelan lepas dari apa yang menghantui kamu selama ini."

Dokter Hendra menyodorkan satu botol kecil berisi obat yang sering dia minum. Kening Naraya tidak bisa untuk tidak saling bertaut. Dia bingung kenapa Dokter Hendra masih memberikannya obat itu, padahal dia yakin dia sudah tidak memerlukan obat tersebut.

"Kenapa Dokter masih kasih Naraya obat?" tanya Naraya bingung.

"Ini untuk jaga-jaga. Saya percaya kamu bisa menerapkan semua hal yang saya ajarkan untuk menjaga diri kamu dari hal-hal yang bisa mengingatkan kamu akan ingatan soal dulu. Di luar sana kita tidak pernah tahu kondisi seperti apa yang akan terjadi nanti. Bisa saja akan terjadi hal yang di luar kemampuan kamu yang selama ini saya latih. Jadi, obat ini bisa kamu gunakan untuk membantu kamu jika sekiranya cara yang saya ajarkan ke kamu tidak bisa menghilangkan mimpi buruk soal kejadian dulu," jelas Dokter Hendra.

Tangan Naraya terulur untuk meraih botol obat tersebut. Untuk beberapa detik dia memandangi obat-obat tersebut. Dia sudah muak dengan benda pahit tersebut. Tapi, dia tidak bisa lepas darinya karena itu adalah salah satu cara untuk bisa membuat harinya baik-baik saja.

"Apa penyakit Naraya ini… belum sembuh total?" tanya Naraya ragu. Dia takut mendengar kata 'iya' dari sang Dokter.

"Kamu sudah sembuh, Naraya. Hanya saja, ingatan seseorang tidak akan pernah hilang dari kepalanya. Penyakit kamu sudah hilang tapi tidak dengan ingatannya. Inilah kenapa saya kasih kamu beberapa cara untuk mengabaikan ingatan-ingatan buruk itu. Kamu masih ingat, kan?"

Naraya kembali mengangguk. Tapi, di hati kecilnya sebenarnya dia masih khawatir akan penyakitnya. Selama ini dia memang hanya menjalani pengobatan dengan orang-orang yang sudah sangat dia percaya. Tapi, benar kata Dokter Hendra. Kondisi di luar sana tidak pernah Naraya tahu. Bisa saja beberapa hal diluar dugaannya bisa terjadi dan membangkitkan ingatan-ingatan buruknya.

"Tenang saja. Saya sudah sangat mengenal bagaimana kondisi kamu sekarang. Sekarang kamu sudah bisa kembali ke tempat kerja kamu. Kamu bisa ketemu sama teman-teman kamu lebih banyak lagi. Bisa nonton konser sepuasnya. Masih dengan The Heal, kan?" tanya Dokter Hendra bermaksud mengalihkan suasana hati Naraya.

Mendengar nama The Heal langsung merubah sorot mata Naraya yang sendu jadi antusias. Dokter Hendra ini sangat tahu bagaimana mencari hal seru untuk dibahas. Dan kali ini mereka kembali membahas band yang sudah digandrungi Naraya sejak satu tahu yang lalu itu.

"Tadi aku nonton konser The Heal yang tour itu, lho. Lagi asik-asiknya, eh, Ibu malah nyeret aku ke sini."

Dokter Hendra terkekeh melihat raut Naraya yang begitu cepat berubah-ubah. Beberapa menit yang lalu terlihat khawatir, lalu setelahnya terlihat antusias, tapi detik berikutnya langsung berubah kesal.

"Kalau gitu saya kasih kamu obat lain untuk mengganti sisa waktu kamu nonton konser tadi," ucap Dokter Hendra dan mengambil sesuatu dari lacinya.

Mata Naraya langsung membulat saat Dokter Hendra menyodorkan sebuah album rilisan terbaru band The Heal. Bahkan album ini baru keluar tiga hari yang lalu. Dia saja tidak kedapatan jatah karena banyaknya penggemar yang membelinya secara online. Padahal rencanya hari ini dia akan pergi ke mall untuk mencari album terbaru The Heal itu.

"Dokter kok bisa dapet ini dalam waktu tiga hari? Beli di mana? Naraya bahkan nggak kebagian meskipun udah nunggu berjam-jam di depan komputer," seru Naraya.

"Saya punya banyak koneksi buat dapet album itu. Untung saja saya ingat. Kalau tidak, entah apa yang akan saya kasih ke kamu untuk kenang-kenangan saya untuk kamu," balas Dokter Hendra.

Mata binar Naraya tidak bisa dia sembunyikan. Album kali ini adalah album The Heal yang wajib dia miliki tanpa harus menunggu tersedia di beberapa toko. Makanya dia sejak kemarin sudah mantengin komputernya untuk membeli barang sebiji. Tapi, keberuntungannya ternyata tidak berpihak kepadanya, melainkan kepada Dokter Hendra.

***

Setelah mengucapkan kalimat perpisahan dengan Dokter Hendra, Naraya memilih untuk mampir dulu di kafe Kangen yang berada tepat di depan klinik milik Dokter Hendra.

Seperti biasa, setelah menyelesaikan pertemuannya dengan Dokter Hendra, Naraya tidak pernah absen untuk mampir ke kafe Kangen. Tempat yang menjadi favoritnya setelah kamarnya. Kalau saja kafe ini tidak jauh dari rumahnya, mungkin dia akan setiap hari nongkrong di tempat ini.

Tempat dengan gaya retronya itu langsung menarik perhatian Naraya waktu pertama kali dirinya harus menunggu Ibunya yang telat datang menemani dirinya. Apalagi, di waktu menjelang sore seperti ini pengunjungnya lebih sedikit daripada saat makan siang atau malam hari. Jadi, Naraya bisa dengan sepuasnya menikmati waktu-waktu sendirinya.

Oh, iya, karena kafe ini juga membuat Naraya jadi mengidolakan band The Heal. Karena setiap kali dia datang, pasti lagu-lagu milik The Heal yang selalu terputar di speaker yang ada di setiap sudut ruangan.

Sama sepert hari ini. Seperti sudah hapal dengan jam kedatangan Naraya, kafe ini pasti akan menyambutnya dengan lagu-lagu milik The Heal. Kali ini judulnya 'Jalan Sulit'.

"Tumben telat," seru pemilik kafe yang sudah sangat mengenal Naraya.

"Biasalah, Dokter Hendra masih pengen bicara soal The Heal," balas Naraya cengengesan sambil memilih kue yang hari ini baru lagi.

"Gue pesen minum kayak biasa, terus kuenya yang itu, ya?" pinta Naraya sambil menunjuk kue mini yang dilumuri coklat.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login