Metha meringis, merasakan rasa sakit di keningnya. Sial, kenapa dirinya tidak tahu jika itu merupakan sebuah pintu yang terbuat dari kaca lebar.
Metha menatap ke sekelilingnya. Ternyata ada beberapa orang yang sedang menatap dirinya. Tak urung, ada salah satunya yang cekikan karena dianggap lucu. Ia tersenyum kecil guna menutupi rasa malunya.
"E-ehk," pekik Metha kala ada sebuah tangan kekar yang tiba-tiba menarik tangannya cukup kencang. Hampir saja dirinya akan terjengkang jika tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Dasar kuno! Terus saja bikin malu," sentak Peter setelah membawa Metha jauh dari kerumunan tadi. Ia menghempaskan tangan Metha yang berada dalam cekalannya. Kedua matanya menyoroti kilatan merah pertanda ia marah.
Lagi-lagi Metha meringis, memegang pergelangan tangannya yang berwarna merah akibat tangan Peter yang mencekalnya cukup kuat. Huh, dasar Peter jahat.
"Ikut aku!" titah Peter yang kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Metha yang masih saja meringis.
Metha menurut, ia ikut melangkah mengekori Peter dengan langkah yang cukup lebar, takut-takut dirinya kembali ditinggalkan dan berakhir seperti tadi. Cukup, dirinya masih mempunyai urat malu untuk mengulangi kejadian yang tadi.
"Cepat, ganti pakaianmu. Aku sudah tidak tahan melihat penampilanmu yang seperti gorila," tutur Peter setelah sampai di sebuah ruangan yang cukup besar.
Metha tidak menjawab. Ia malah menatap ke sekelilingnya yang kemudian kembali mendecak kagum. Mewah! Itulah kata pertama yang Metha sampaikan untuk ruangan ini.
Banyak, macam-macam pakaian yang Metha yakini harganya fantastis. Ahk, Metha menjadi merasa minder untuk mengambil salah satu pakaian guna mengganti baju dirinya yang basah.
"Metha!" bentak Peter. Metha benar-benar menguji kesabaran dirinya. Dia malah celingukan bak orang gila yang sedang mencari makanan. Aneh, Metha merupakan wanita yang aneh.
Metha mengalihkan perhatiannya. Menatap Peter sekilas. Sungguh, bentakan Peter barusan sama sekali tidak berpengaruh bagi dirinya.
Tiba-tiba saja datang dua wanita cantik berpakaian sama yang ditemani oleh Philip.
"Nona, silahkan akan saya bantu untuk merubah penampilan Nona," ucap salah satu wanita berseragam itu. Ia merentangkan salah satu tangannya seraya membungkuk kecil, mempersilahkan Metha untuk segera berjalan ke arah yang ia tunjukan barusan.
Metha mengangguk seraya tersenyum kecil. Kemudian, ia melangkahkan kakinya seperti apa yang diperintahkan wanita berseragam tadi, yang ia sebut sebagai pelayan salon ternama ini.
"Silahkan pilih, pakaian mana yang akan Nona pakai," ujar pelayan salah satunya seraya membawa tiga buah gaun selutut dengan warna yang berbeda-beda.
Metha tampak canggung. Ia bingung harus memilih gaun yang mana. Jujur saja, ia lebih suka memakai kaos serta training dibanding gaun.
"Eum, yang itu saja," final Metha menunjuk salah satu gaun yang berwarna hitam. Coraknya juga cukup sederhana hanya ada satu buah pita yang berada di pinggang bagian belakang.
Ahk, apakah Peter gila? Dirinya hanya akan pulang ke rumah lalu tidur bukan berdandan ria lalu pergi ke pesta.
Layaknya seorang ratu, Metha dilayani dengan begitu baik, dirias dengan suka hati dan dirubah penampilannya dengan senyuman yang selalu terlukis di wajah para pelayan salon itu.
Hampir memakan waktu satu jam. Akhirnya Metha selesai. Ia menatap pantulan dirinya di cermin berkali-kali. Merasa tidak nyaman dengan gaun selutut yang ia kenakan sekarang. Apalagi dengan bagian bahunya yang sedikit terbuka. Metha sudah terbiasa memakai kaos kebesaran.
Philip dan Peter datang.
"Apakah sudah sel-"
Hampir saja Peter kehilangan napasnya. Bahkan, ucapannya barusan tersangkut di tenggorokan. Sungguh, dirinya tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat penampilan Metha sekarang.
Bagaikan upik abu yang berubah menjadi Cinderella. Malam ini, Metha benar-benar terlihat sangat cantik dengan wajah yang dipoles sedikit make-up. Ya, Peter tidak bisa berbohong. Ia akui jika Metha sangatlah menarik.
Metha menundukan kepalanya. Entah kenapa, ia menjadi merasa canggung saat ditatap intens seperti itu oleh Peter. Ia melangkah mundur dan berdiri sejajar dengan pelayan-pelayan yang telah mengubah penampilan dirinya.
"Nona, jika Nona sudah selesai. Mari, akan saya antarkan pulang. Ini sudah sangat larut malam," ujar Philip memecahkan keheningan yang terjadi di antara meraka. Termasuk membuyarkan lamunan Peter.
"Ekhm." Peter berdehem untuk menutupi rasa gugupnya. Sial, bisa-bisanya dirinya terpana dengan penampilan Metha. Ia menggelengkan kepalanya kecil, harus kembali menjadi Peter yang datar dan benci terhadap Metha.
Metha mengangguk kecil dengan ujaran Philip barusan. Dirinya juga sudah sangat ingin pulang. Takut-takut sang ibu cemas karena dirinya pulang larut malam.
Drrrtt ... drrrtt ....
Suara deringan ponsel menarik perhatian orang-orang yang berada di ruangan itu.
Metha yakin, jika itu merupakan ponsel dirinya. Ia celingukan untuk mencari keberadaan ponselnya yang entah berada di mana.
"Ini, Nona." Salah satu pelayan menghentikan Metha yang sedang celingukan. Ia menyerahkan ponsel milik Metha yang ia temui di ruang ganti.
Metha menghela napas tenang. Mengambil ponsel itu dengan segera tidak lupa mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut karena telah membantu dirinya yang kelinglungan mencari ponsel.
Ternyata, Helena yang meneleponnya.
Metha izin melangkah mundur menjauhi mereka untuk mengangkat panggilan dari sang ibu.
Ponsel Metha bukanlah ponsel mewah. Boro-boro mewah, yang layarnya bisa disentuh saja tidak. Ia hanya memakai ponsel kuno berukuran kecil, yang hanya bisa dipakai untuk bertelepon serta SMS saja. Ditambah lagj layarnya yang sudah sangat berwarna kuning.
Kendati demikian, Metha tidak pernah mengeluh dengan ponsel yang ia miliki itu. Yang terpenting dirinya dapat menghubungi ibu, itu sudah lebih dari kata cukup.
"Hallo, Ibu," panggil Metha setelah menghubungkan panggilannya.
["Kamu masih berada di mana, Nak? Kenapa belum pulang? Ibu benar-benar sangat khawatir,"] berondong Helena dengan nada yang begitu cemas. Bagaimana tidak, Metha merupakan salah satu anaknya. Dan, ia juga belum yakin jika Metha dapat menjaga dirinya di tengah malam seperti ini.
Metha terkekeh kecil. "Ibu tenang saja, aku baik-baik saja. Sekarang juga aku akan pulang. Nanti akan aku ceritakan kenapa aku bisa pulang terlambat," jelasnya. Berharap sang ibu berhenti mencemaskan dirinya.
Dapat terdengar helaan napas dari balik telepon.
["Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ayo pulang, ibu tunggu.]
"Siap, Bu," balas Metha barengan dengan tawa kecilnya. Kemudian, ia memutuskan panggilannya setelah mengucapkan kata pamit.
Metha menggenggam ponselnya. Kembali melangkah untuk menemui Peter serta Philip. Dirinya sudah tidak sabar untuk segera pulang.
"Ayo, kita pulang sekarang," ajak Metha seraya menenteng paper bag yang berisi pakaian kotor milik dirinya.
Philip yang sedang membayar semua biaya salon mengalihkan pandangannya. "Baik, Nona. Sebentar."
Sedangkan Peter melangkah mendekati Metha. Wajahnya kembali datar seperti semula.
"Mana ponselmu?" pinta Peter.
Metha mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Ada apa dengan ponselku?" tanyanya heran.
"Mana ponselmu!" Alih-alih menjawab, Peter malah tetap kukuh menginginkan ponsel Metha.
Dengan raut wajah yang kebingungan. Metha menyerahkan ponselnya. "Ini."
Peter mengambil ponsel itu dengan kasar. Yang kemudian ....
Prang!
"Peter!"
Dengan mata yang sembab Metha berlari masuk ke dalam rumah. Hatinya begitu berdenyut nyeri kala Peter membanting ponsel dirinya tanpa perasaan. Ia tidak tahu apa maksudnya! Kenapa Peter dengan tiba-tiba berbuat jahat terhadap dirinya.
Apa salah Metha?
Jikalau Peter tidak suka dengan ponsel yang Metha miliki, tidak sepatutnya dia membanting ponsel Metha.
"Dasar orang kaya yang sombong." Dalam hati Metha terus saja memaki Peter. Ingin rasanya ia memukul dan mencaci maki Peter. Namun, ia tidak memiliki keberanian yang tinggi untuk berbuat seperti itu.
Metha berdiri di depan pintu. Ia mengusap jejak-jejak air mata yang berada di bawah kelopak matanya. Ia tidak ingin sang ibu khawatir melihat dirinya yang seperti ini.
Untuk ponsel, biarlah Metha mencari alasan yang logis agar ibu tidak menghubungi dirinya lagi. Ya, karena semua itu sangat percuma. Dirinya tidak akan menerima panggilan itu.
Sebelum membuka pintu. Metha menarik napas panjang yang kemudian mengehembuskannya dengan perlahan. Ia menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman tipis.
Metha membuka pintu yang belum terkunci itu dengan perlahan.
"Ibu, ak-"
Ucapan Metha tertahan di tenggorokan kala ia melihat sang ibu yang sedang berteleponan entah dengan siapa.
Metha mengernyit heran. Ia tidak ingin mengganggu ibunya yang membelakanginya itu. Ia menutup pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara decitan yang bisa saja membuat ibunya sadar akan kepulangan dirinya.
Metha masih mempertahankan senyuman manisnya. Ia berdiri di dekat lemari kecil seraya menunggu sang ibu membereskan acara teleponannya.
"Nona Margaretha sama sekali belum pulang."
Metha mengerutkan keningnya heran saat dirinya samar-samar mendengar suara sang ibu yang terdengar begitu cemas. Namun, yang membuat Metha terpaku adalah seseorang yang disebut oleh ibunya.
Nona Margaretha?
Siapa dia?
Apa yang dimaksud oleh ibunya?
Banyak pertanyaan yang hadir di kepala Metha. Ahk, ia akan menanyakan perihal ini kepada ibunya nanti. Ia benar-benar dibuat penasaran. Siapa Nona Margaretha itu.
"Baik, Tuan." Dengan tangan yang bergetar Helena menarik ponselnya yang sedari tadi tertempel di telinga kanannya. Mematikan ponsel itu kala sambungan teleponnya sudah terputus.
Helena membuang napas gusar. Entah kenapa, dirinya menjadi merasa takut seperti ini.
"Ibu?"
Deg!
Helena terperanjat kaget kala mendengar suara seseorang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Helena langsung membalikan badannya.
Deg!
Jantung Helena berdetak dengan cepat kala mendapati Metha yang berada di depannya dengan senyuman manis yang terlukis di wajah cantiknya.
"Ibu habis teleponan sama siapa?" tanya Metha penasaran. Kaki kanannya ia langkahkan untuk menghampiri sang ibu.
Helena kelimpungan. Ia meneguk ludahnya kasar. Apakah Metha mendengar apa yang tadi ia katakan saat berteleponan?
"Ibu?" panggil Metha lagi kala ia sudah berada di hadapan ibunya.
Lagi-lagi Metha mengernyit heran. Kenapa ibunya terlihat tegang? Kenapa dia tidak langsung memeluk dirinya seperti biasanya?
"Ahk, i-iya, Nak," jawab Helena terkesan gugup.
"Ibu kenapa?" tanya Metha khawatir. Ia takut ada sesuatu yang terjadi hingga membuat ibunya menjadi seperti ini.
Helena menggelengkan kepalanya. Ia menepis-nepis rasa kagetnya dan berharap jika Metha tidak mendengarkan apa yang tadi ia bicarakan.
Setelah dirasa cukup sadar. Helena langsung menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan manis nan terkesan hangat. Ia langsung memeluk sang anak dengan erat. "Kamu ke mana aja, Nak? Ibu khawatir," tanyanya terdengar begitu lirih. Sangat berbeda dengan yang tadi.
Metha tersenyum senang. Ia membalas pelukan sang ibu tidak kalah erat. "Aku tidak ke mana-mana, Bu. Hanya saja tadi aku bertemu terlebih dahulu dengan teman kerjaku," alibinya.
Dalam hati Metha mengucapkan beribu-ribu maaf kepada ibu karena dirinya telah berbohong. Namun, ia juga tidak ingin ibu terlalu khawatir dengan dirinya jika ia mengatakan yang sejujurnya.
Helena melepaskan pelukannya. "Bentar, ibu merasa ada sesuatu yang berbeda," ucapnya heran.
Kedua mata Helena menelisik penampilan Metha dari atas sampai bawah hingga beberapa kali. Kemudian, ia tersenyum lebar menatap sang anak. "Kamu sangat cantik, Nak," serunya senang. Menangkup kedua pipi Metha yang kemudian mencubitnya pelan.
Metha terkekeh geli. "Ahk ibu bisa aja," ucapnya mengelak pujian yang diberikan ibu tercintanya.
"Eits, tapi ...." Helena menggantung ucapannya, lalu menatap kedua iris mata berwarna cokelat terang itu dengan intens. "Katakan sama ibu, kamu habis dari mana?" tanyanya dengan raut wajah serius.
Metha melotot kecil dengan pertanyaan yang dilontarkan ibunya. "Eum, anu itu bu, a-aku ...." Metha menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia bingung harus berkata apa lagi, sangat sia-sia dengan alibinya tadi jika sang ibu masih bertanya. Apa perlu ia berbohong lagi?
"Ayo, katakan yang sejujurnya," gertak Helena menunggu jawaban dari sang anak.
Metha gelagapan. "Itu Bu, tadi eum ... te-temanku ada acara. Ter-terus pa-pakaianku basah karena ti-tidak sengaja eum ... tersiram o-oleh jus. Jadi ... dia memberikanku pinjaman ba-baju ini," jelasnya terbata-bata. Ia sangat berharap ibunya percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Ya, meski ia merasa tidak sepenuhnya yakin.
Helena terdiam sejenak. Menatap Metha lebih intens dibanding tadi. "Apakah itu benar?" tanyanya untuk memastikan.
Dengan cepat Metha menganggukan kepalanya. "Iya, Bu," jawabnya berusaha meyakinkan ibu dengan kebohongan dirinya. Dalam hati ia merasa was-was, takut-takut sang ibu tidak percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya jika memang ibu tidak percaya terhadap dirinya.
"Baiklah, ibu percaya," ujar Helena kembali menarik kedua sudut bibirnya.
Dalam diam Metha menghela napas panjang. Hampir saja dirinya terjebak oleh ibunya sendiri. Ahk, sangat beruntung Helena percaya terhadap dirinya. Detik berikutnya, ia ikut tersenyum dan kembali mendekap ibunya. "Aku sayang ibu," ucapnya terkesan begitu tulus.
Helena terkekeh di balik dekapannya. Ia mengusap lembut punggung Metha. "Ibu juga sayang sama kamu," balasnya tidak kalah tulus.
Beberapa menit keheningan menyelimuti mereka. Hingga akhirnya Metha melepaskan pelukannya. Mengambil anak-anak rambut yang berterbangan bebas dan merayap di wajahnya.
"Ibu tadi teleponan sama siapa?" tanya Metha kembali pada pertanyaan yang tadi.
Deg!
Kali ini Helena kembali kalang kabut. "Hanya rekan kerja ibu saja," jawabnya cepat seraya tersenyum kecil agar Metha percaya terhadap dirinya.
Sangat tidak mungkin jika Helena mengatakan yang sejujurnya. Bisa-bisa sesuatu yang begitu penting hancur lebur terungkap seketika. Sekarang bukan waktunya. Biarlah takdir sendiri yang akan menjalankan semuanya.
Metha mengangguk kecil pertanda ia percaya dengan jawaban yang diberikan ibunya.
"Oh, rekan kerja ibu ya. Aku kira siapa," ujar Metha lagi. Tidak biasanya rekan kerja ibu menelepon di jam-jam rawan seperti ini. Tapi, bisa jadi juga jika memang itu benar-benar penting.
"Iya, itu hanya rekan kerja ibu saja," balas Helena terus menerus sampai Metha percaya.
"Lalu, siapa Nona Margaretha itu?"
Deg!
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT