"Hey! Sstt, diam!"
"Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"
Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah.
"Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang.
"Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"
Bruk!
"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar.
"Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.
Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya.
"Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri.
"Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis polos nan lugu berani membentaknya barusan.
Sepertinya ia harus mengapresiasikan ini. Ia memberikan dua jempol untuk keberanian Metha.
"Lepaskan aku!" teriak Metha lagi. Sangat tidak peduli dengan ucapan Robert barusan. Untuk sekarang ia harus mementingkan keselamatan dirinya. Jangan sampai ada sesuatu buruk yang akan terjadi di sini, ia tidak mau.
"Akh," Metha berteriak sakit. Kedua pundaknya benar-benar ditekan kuat oleh Robert.
Robert menyeringai melihat ekspresi yang ditunjukkan Metha. Ia memperkikis jarak di antara keduanya.
"Mulai malam ini kau akan menjadi milikku, Sayang," bisik Robert tepat di telinga Metha.
Metha menggelengkan kepalanya. Otaknya terus saja berputar, mencari cara agar ia bisa terlepas dari pria pedofil ini.
"Kenapa kau diam, huh? Apakah kau sudah berpasrah?" bisik Robert lagi. Lebih tepatnya mengejek, ia terkikik kesenangan.
Metha masih saja diam. Ia menatap sekelilingnya berharap ada sebuah barang yang dapat ia gunakan sebagai penyelamat dirinya. Hingga tatapannya tertuju pada satu titik. Dalam hati ia tersenyum kecil, ternyata Dewi keberuntungan sedang berpihak padanya.
Robert menarik tangannya dari pundak Metha. Sedari tadi bibirnya tidak berhenti untuk tersenyum. Bukan senyuman manis melainkan senyuman devil.
Dengan perlahan tangan kekarnya bergerak ke atas untuk membelai leher Metha yang sudah basah akibat keringat dingin.
"Bagus, sekarang kau sudah jin-"
Bugh!
"Aarrgghh!"
Bruk!
Tanpa menyia-nyiakan waktu Metha berdiri dari duduknya dengan cepat. Menatap Robert yang sudah tergeletak pingsan di atas karpet dengan memegang tengkuknya. Apakah ia terlalu jahat telah membuat orang tau seperti itu?
Metha melemparkan botol bekas alkohol ke atas kursi yang berhasil telah membuat Robert seperti itu.
Sebelum Robert kembali sadar Metha berlari ke luar dengan tergesa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia sangat berharap Robert tidak mengingat dengan kejadian ini. Meski itu tidak benar-benar yakin.
Metha terus berlari menyusuri sepanjang trotoar. Beruntung, tidak ada orang di jalan ini membuat ia sedikit tenang karena tidak akan ada orang yang akan bertanya-tanya tentang dirinya.
Setelah dirasa cukup jauh dengan kediaman Robert ia memelankan pergerakan kakinya. Berhenti sejenak menatap ke depan yang melenggang kosong, memegang kedua lututnya dengan napas ngos-ngosan. Ia mengatur napas terlebih dahulu agar sedikit tenang sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Metha merasa jika hari ini benar-benar hari kesialan bagi dirinya.
Berawal di pertemukan dengan pria sok berkuasa nan arogan. Hingga kini hampir akan diperlakukan buruk oleh pria tua yang sama halnya penuh arogan.
Kenapa ia harus dipertemukan dengan mereka?
Metha kembali menegakkan badannya. Ia tidak tahu sekarang sudah jam berapa, semoga saja belum sampai jam sembilan malam.
Kaki kanannya mulai ia langkahkan kembali. Kesunyian malam hari mengelilingi dirinya. Angin malam membelai lembut kulitnya membuat ia merinding kedinginan, apalagi ia hanya memakai kaos kebesaran itu pun bahannya tidak terlalu tebal.
Suara-suara serangga yang memenuhi indra pendengarannya membuat dirinya tidak terlalu kesepian. Tidak ada satu pun angkot yang melaju membuat ia melangkah sedikit tergesa agar cepat-cepat sampai ke rumah. Biar saja bahan dagangannya ia ambil besok pagi, ia tidak ingin Luxe bertanya-tanya tentang Robert dan apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Byur!
"Akh," Metha terpekik kala ada sesuatu yang mengguyur badannya. Ia menatap ke bawah dengan mulut yang ternganga lebar, ia benar-benar kaget.
Basah dan kotor! Itulah kondisi pakaian yang ia kenakan sekarang.
Metha menoleh ke samping dengan cepat untuk melihat sang pelaku. Di sana terdapat sebuah mobil mewah yang berhenti.
Ia mengerutkan keningnya, sepertinya ia mengenal mobil mewah itu.
"Mohon maaf, Nona. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Philip menghampiri Metha dengan wajah yang merasa bersalah.
Ya, pelakunya adalah Philip dan pemilik mobil mewah itu adalah Peter.
Di satu sisi Metha ingin marah-marah karena pakaiannya jadi kotor dan basah. Tapi, melihat wajah Philip yang seperti itu membuat ia mengurungkan rasa amarahnya.
"Nona, apakah kau baik-baik saja?" tanya Philip lagi ketika Metha tidak kunjung membuka suara.
Metha tersenyum kecil menanggapinya. Ia merasa baru pertama kali ada seorang pria yang perhatian terhadap dirinya. "Kau tenang saja aku tidak apa-apa. Namun ...." Ia menundukkan kepalanya.
Philip sangat paham apa yang dimaksud Metha. Karena ini memang salah satu penyebabnya membuat ia merasa bersalah.
"Sekali lagi saya mengucapkan mohon maaf. Tadi saya tidak sadar jika ada genangan air di tengah jalan dan akhirnya Nona lah yang menjadi korbannya. Tapi, sebagai permintaan maaf izinkan saya membawa Nona pergi ke salon untuk mengganti pakaian Nona yang sudah basah dan kotor seperti ini," tawar Philip.
Metha tertegun dengan tawaran Philip barusan. Jika pria lain yang menjadi pelakunya sudah pasti ia akan di olok-olok bahkan sampai merekamnya dan dibagikan ke sosial media, ia sudah mengalami kejadian ini waktu dulu.
Akan tetapi, sangat berbeda dengan Philip. Dia sama sekali tidak mengolok dirinya. Akh, sepertinya Philip merupakan keturunan para dewa, begitu sangat baik.
"Bagiamana, Nona?" tanya Philip memastikan.
"Eum ...."
"Tidak!"
Metha dan Philip mengalihkan pandangannya kala sebuah suara menyela ucapan Metha.
"Aku tidak mengizinkan itu!" ucap Peter tegas. Melangkah mendekati Philip dengan penuh arogan. Ia membenarkan letak maskernya yang kemudain menautkan kedua tangannya di belakang pinggang.
Philip yang menyadari dengan kehadiran Peter buru-buru ia membungkukkan badannya dan berdiri di samping belakang Peter.
Sedangkan Metha memutar bola matanya malas. Lagi-lagi ia harus dipertemukan dengan pria sok berkuasa ini.
"Kau sudah pantas seperti itu. Sangat terlihat seperti seekor luntung yang sedang mencari makanan," Peter tersenyum mengejek. Entahlah ia sangat suka menghina wanita lusuh yang berada di depannya.
"Mohon maaf, Tuan. Kasihan Nona ini jika kita tidak segera membawanya ke salon, dia pasti akan kedinginan," jelas Philip berharap Peter mengeluarkan rasa empatinya.
"Aku tidak peduli."
"Tapi-"
"Sudahlah, kalian tidak perlu bertanggungjawab dengan membawaku ke salon. Aku bisa mengganti pakaianku di rumah," jelas Metha menyela ucapan Philip yang akan berprotes kembali.
Tanpa menunggu jawaban, Metha melangkahkan kakinya menjauhi mereka sebelum ia benar-benar kedinginan.
Tidak mempedulikan Philip yang terus saja berucap. Ia mengusap-usap kedua tangannya bermaksud untuk memberikan kehangatan walau hanya sedikit.
"Berhenti melangkah!"
Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya.
"Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.
Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.
Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya.
"Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.
Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dibiarkan datar kini melotot dengan begitu lebarnya, dirinya benar-benar sangat kaget melihat pemandangan yang seharusnya tidak ia tontonkan kepada siapa pun, termasuk Peter dan Philip.
Dengan perasaan kalang kabut Metha langsung menutupi bagian dadanya yang bertembus pandang sehingga memperlihatkan pakaian dalamnya.
Metha langsung menatap Peter nyalang. "Kenapa kamu malah terus melihatku? Seharusnya kamu ...."
"Apa?" sanggah Peter langsung memotong ucapan Metha yang tampak gelagapan. Ia terkekeh sinis, menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Begitu terlihat sangat jumawa.
Metha meneguk ludahnya kasar. Ia masih mempertahankan tatapan nyalangnya untuk Peter. "Seharusnya kamu ... pergi dari sini!" Entahlah, ia barusan berucap apa. Sungguh, dirinya merasa campur aduk. Antara kesal, ingin marah dan yang paling menonjol adalah rasa malu. Ia benar-benar malu saat Peter melihat pakaian dalamnya.
Ahk, kenapa Metha seperti ini? Seharusnya ia menyalahkan Peter. Ya, tentu saja, karena dia telah menyipratkan air dari lubang jalan itu ke arahnya sehingga membuat pakaiannya basah dan berakhir tembus pandang. Jika tidak bisa marah kepada Peter, Metha rasanya ingin mempunyai kekuatan hilang diri di hadapan Peter sekarang juga hanya dalam waktu setara dengan kedipan mata. Namun, ... itu hanyalah sebuah keinginan. Hanya keajaiban saja yang dapat mengabulkannya.
"Haha ... lucu sekali si pahlawan kesiangan ini. Seharusnya, mengucapkan kata terima kasih karena aku memberi tahumu akan hal itu. Jika tidak sudah pasti pemandangan itu ditatap oleh orang lain selama perjalanan," jelas Peter malah semakin memojokan Metha.
"Eum ...." Aarrgghh sial! Kenapa Metha jadi linglung seperti ini? Jika dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Peter barusan.
"Silahkan Nona, segera masuk ke dalam mobil. Malam semakin larut, saya tidak mau Nona kedinginan terus seperti itu," jelas Philip tiba-tiba berujar yang berhasil mengalihkan perhatian Peter dan Metha. Bukannya apa-apa ia menyuruh Metha agar segera masuk ke dalam mobil. Sebab, dirinya tidak mau perdebatan dua orang itu terus berlanjut di bawah langit yang gelap itu. Beruntung jika di dalam rumah, ini malah di sisi jalan.
Dalam diam Peter menatap Philip tajam. Ia tidak suka saat Philip mengatakan jika dia tidak ingin Metha terus kedinginan. Kenapa dia harus seperhatian itu?
Sebenarnya Philip menyadari akan tatapan tajam dari sang tuan yang ditujukan untuk diri nya. Namun, ia pura-pura tidak tahu saja.
Berbeda dengan Metha, ia malah menatap Philip ragu. Apakah ia harus masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Philip atau justru ... menolak saja? Akan tetapi, tadi dia sudah menolak namun Peter malah menghentikan langkah dirinya. Jadi ... ahk, lebih baik ia masuk saja ke dalam mobil.
Metha melewati Peter dengan gaya sok angkuhnya. Memasuki mobil dan duduk di jok belakang sama sekali tidak menghiraukan Peter. Masa bodo jika mobil ini memang milik Peter. Ia hanya tidak ingin berdebat. Benar kata Philip tadi, jika malam sudah semakin larut ia tidak mau jika sang ibu terus menunggu akan kepulangan dirinya di rumah.
Brak!
"Tidak tahu diri!"
Peter mendesis tajam setelah menutup pintu mobil dengan begitu kasarnya. Ia duduk di jok depan sebelah Philip. Sudah tentu ia tidak terima dengan sikap Metha yang tidak tahu diri. Sudah lusuh, basah, kucel, bau dan sekarang duduk di mobil mewah milik dirinya. Sungguh, perbandingan antara mobil dan Metha adalah sembilan berbanding satu. Ahk ralat, mungkin sembilan berbanding nol.
Metha tidak menggubris desisan Peter. Ia hanya menatap ke luar jendela. Pemandangan di luar jauh lebih indah di banding menatap punggung tegap Peter.
Philip hanya bisa tersenyum, sangat tipis bahkan tidak dapat terlihat. Ia ikut masuk ke dalam mobil, lebih tepatnya sebagai supir. Dan menjalankannya menuju salon dua puluh empat jam.
****
"Turun! Mau sampai kapan kamu duduk di mobil mewahku!" titah Peter setelah mereka sampai di sebuah salon yang cukup terkenal di kota Jakarta.
Metha tersentak dalam tidurnya. Ia gelagapan, menatap Peter dengan kedua mata yang masih sepetnya. Ya, ia ketiduran di dalam mobil. Benar-benar sangat memalukan.
"Apakah kita sudah sampai?" tanya Metha terdengar sangat ambigu. Ia masih belum beranjak dari duduknya. Entahlah ... mungkin ia sedang mengumpulkan nyawanya.
"Belum," jawab Peter datar.
"Oo-"
"Aku menyuruhmu untuk turun dan itu tandanya kita sudah sampai!" jelas Peter lagi sebelum Metha beroh ria. Ingin rasanya ia menggigit Metha sekarang juga, dirinya benar-benar geram.
Metha menanggapinya hanya dengan anggukan kepala. Ia mengucek-ngucek kedua matanya yang terasa masih berat sebelum akhirnya membuka pintu mobil.
"Minggir!" titah Metha sarkas karena Peter malah berdiri angkuh di dekat pintunya.
Peter menurut, ia sedikit menjauhkan badannya dari pintu mobil.
Metha menatap ke sekelilingnya. Kemudian, ia membulatkan mulutnya. "Wow ...." Ia mendecak kagum. Jujur saja, ia baru pertama kali ke tempat mewah yang seperti ini. Dan itu benar-benar membuat dirinya terpukau.
"Dih, dasar miskin," gumam Peter sinis melihat tingkah Metha yang begitu kuno. Ia berjalan masuk terlebih dahulu yang diikuti oleh Philip.
Awalnya Philip ingin mengajak Metha untuk segera masuk. Namun, sebelum berucap Peter langsung menyuruh dirinya untuk segera masuk saja meninggalkan Metha yang masih mendecak kagum.
"Apakah aku akan menjadi Cinderella di sini?" tanya Metha pada diri sendiri. Membayangkannya saja sudah membuat hati dirinya berbunga-bunga. Jika memang dirinya akan menjadi Cinderella, lalu siapa yang akan menjadi Pangeran nya? Apakah Peter?
Ahk, tidak. Metha tidak ingin Peter yang menjadi Pangerannya.
Metha menatap ke depan. Ia mengerutkan keningnya heran. Ke manakah dua pria itu pergi? Apakah mereka sudah masuk ke dalam?
Metha melangkahkan kakinya dengan sedikit cepat. Takut-takut dirinya ke sasar di sini karena ditinggalkan oleh Peter. Ia tidak mau itu terjadi.
"Awas, mbak!"
Bruk!
"Aws ...!"
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT