Download App
71.42% Peaceful life

Perbandingan

Semuanya menjadi hening, situasi menjadi semakin panas, dan menjadi sebuah tontonan bagi orang-orang yang lewat.

"Hah?! Apaan sih orang gila ini!! Ini bukan urusanmu!! Lebih baik kau pergi saja!!"

"Lalu apa kau pikir bisa mengatakan hal seenaknya sendiri?! Memangnya apakah yang kau katakan itu benar?!" Gadis rambut sebahu itu terus berdebat dengan anak dari perusahaan Dhananjaya. Jika diteruskan ia akan mendapatkan masalah.

"Tentu saja!! Aku sendiri mendengarnya dari salah satu pekerja di rumahnya!! Ia pernah masuk ke RSJ karena hampir membunuh asisten rumah tangga yang kurang ajar padanya!! Bukankah dia gila!!" Analise hanya terdiam ia tidak bisa bertindak apa-apa. Semuanya pasti akan salah apapun yang ia lakukan, bahkan papa nya pun berpikir seperti itu.

"Oh ya? Bukankah pekerja itu adalah penjilat? Setelah mendapatkan informasi itu ayahmu langsung membayarnya, bukan?" Ucapnya dengan tegas. "Entah benar atau tidak, bisa saja ia membuat informasi palsu. Itulah gosip. Salah-salah jika ketahuan bahwa itu adalah bohongan kau sendiri yang akan menanggung malu!" Gadis itu tetap berdebat dengan Dinda. Wajahnya terlihat percaya diri tidak ada ragu-ragu dari ekspresi wajahnya.

"Hah!!! Dasar anak gila!! Memangnya kau tahu siapa aku?! Dilihat dari pakaianmu yang biasa itu, kau pasti anak beasiswa, kan!!"

"Lalu kenapa? Memangnya kau bisa mencopot beasiswa ku hanya karena anak orang kaya?!"

"Aku bisa saja membuatmu menyesal sudah menghinaku!!"

"Aku tidak menghinamu!! Kau yang menghina gadis itu!! Kau tidak akan bisa membuatku menyesal!!" Ujar Gadis itu. Nada suaranya tegas, tidak lemah seperti Analise yang berusaha bersikap sopan. "Jika kau membahas tentang beasiswa-ku, kau harus menghadapi Pemilik dari Perusahaan Mahendrata. Merekalah yang memberikan beasiswa padaku!!" Sontak mereka berdua terkejut. Analise tidak percaya bahwa gadis itu adalah anak beasiswa yang disokong oleh Papa nya. Apa dia menolongku karena aku anak dari Papa?

"Hah?! Ternyata perusahaan Mahendrata hanya menyokong orang g-" Ucapannya Dinda di potong dengan sindiran gadis itu.

"Sepertinya keluargamu harus membawamu ke RSJ agar sikapmu yang seperti orang gila nan memalukan itu bisa diperbaiki," Ucapnya. "Agar tidak memalukan nama keluargamu."

Dinda terdiam saat mendengarnya, namun ia menatap dengan benci.

Cowok albino dibelakangnya menepuk pundak gadis itu berusaha mengajak pergi dan tidak membuat masalah semakin runyam. "Lebih baik kita pergi. Bukannya kamu ada jadwal latihan setelah ini." Cowok itu meminta gadis itu untuk pergi. Namun gadis itu justru mendatang Analise dan mengajak pergi bersama.

"Apa kamu mau pergi bersama kami berdua?" Tanya gadis itu. Analise tertegun saat gadis itu mendekatinya. Ia pun mengangguk dengan ragu-ragu tidak yakin. Gadis itu justru langsung menarik Analise dan cowok albino itu pergi.

"Hei!!! Apa apaan kau ini!!" Ucap Dinda dengan lantang. "Aku sedang bicara denganmu!! kau mengabaikanku?! Aku akan membuatmu menyesal!!"

Gadis sawo matang itu menghela napasnya dengan kesal, tanpa berbalik melihat Dinda. Ia mengangkat jari tengah ke atas kepalanya. Semuanya menjadi heboh melihat tindakannya. Analise berusaha menahan tawa, sempat-sempatnya gadis itu menantang Dinda.

"Bagaimana... Kalau... Kalian aku antar..." Analise masih berusaha menahan tawanya. Tapi sungguh, itu tindakan yang berani yang tidak akan pernah Analise lakukan.

"Apa boleh?" Tanya gadis itu dan cowok albino bersamaan. Sepertinya mereka bisa saja membaca pikiran satu sama lain.

"Iya. Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, kalian siapa?" Analise tersadar. Tidak sopan bertanya sebelum memperkenalkan dirinya dulu.

"Ah maaf, namaku Analise. Terima kasih sudah menolongku." Sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan. Gadis sawo matang itu menjabat tangannya.

"Namaku Lunar Indramayu."

Analise lalu menjabat tangan cowok albino itu. Kulitnya putih pucat, namun garis wajahnya tegap dan matanya satu. Sangat indah.

"Ian Ignasius." Lalu cowok itu langsung melepaskan tangannya.

"Ah sekali lagi terima kasih sudah membantuku." Lunar melambai-lambai, sambil tersenyum.

"Jangan khawatir. Aku senang bisa membantu. Selain itu sifat orang tadi benar-benar menyebalkan ya." ledek Lunar. Gadis ceria itu benar-benar pemberani.

"Apa kau tidak takut, ia akan mengganggumu?" Tanya Analise. Lunar hanya tersenyum tanpa arti, sedangkan Ian memijit kening dan menggelengkan kepalanya. "Memangnya kenapa?"

Ian menghela napas panjang, dan menatap Analise dengan wajah sedikit suram. "Meski orang tadi adalah penerus perusahan atau sebagainya. Lunar tetap tidak takut meski harus kehilangan rumahnya," Ujar Ian. "Selain itu Lunar mendapatkan beasiswa dari perusahaan Mahendrata. Jadi tidak akan mempengaruhinya."

Kepribadian Lunar benar-benar bertolak belakang dengan dirinya. Gadis ceria, pemberani, dan bebas. Sangat berbanding terbalik dengannya yang selalu mengumpat, sombong, dan selalu berusaha agar pencitraannya tidak hilang.

Tin... Tin...

Mobil hitam berhenti di depan mereka. Pak Windiarto membuka kaca mobil. "Ayo naik. Sebentar lagi Papa harus kembali ke perusahaan." Tanpa basa-basi, Analise langsung naik mobil dan duduk di sebelah papa nya.

"Senang bertemu dengan anda lagi, Pak Windiarto Mahendrata." Ujar Lunar. Pak Windiarto tersenyum melihat Lunar. Gadis hebat yang ia temukan. Mungkin saja saat suatu saat ia bisa merekrutnya untuk bekerja di perusahaannya.

"Senang melihatmu lagi, Nak Lunar. Saya harap kau tidak akan mengecewakan bapak." Ujar Pak Windiarto. Lunar mengangguk, dan kaca mobil kembali tertutup.

Mobil hitam itu semakin menjauh dan menghilang di belokan. "Pak Windiarto terlihat dingin ya. Tapi saat melihatmu ia terlihat ramah." Ucap Ian. Lunar menatap Ian dan memiringkan sedikit kepalanya. "Benarkah? Menurutku beliau orang yang ramah."

Ian hanya menghela napas. Tidak ada yang bisa ia harapan dari teman yang tidak peka seperti gadis disampingnya ini.

Analise duduk dengan tenang. Ia memikirkan ingin membicarakan apa agar suasananya tidak canggung. "Dia anak beasiswa yang selalu Papa bicarakan, kan?" Tanyanya.

"Benar." Jawab singkat Pak Windiarto. Suasana kembali sunyi, hanya suara mesin mobil yang samar-samar mengisi keheningan.

"Papa, aku nyalakan musik ya. Biar tidak terlalu hening."

"Kau seharusnya bisa pintar seperti anak tadi." Ujar Pak Windiarto. Tangan Analise yang hampir menekan tombol musik itu berhenti saat mendengar ucapan papa nya. "Kau seharusnya lebih rajin lagi, agar nilaimu bisa seperti anak tadi." Lagi-lagi Papa nya membandingkan analise dengan anak yang lebih unggul soal akademi. Papa nya tidak pernah mengapresiasi prestasinya dalam non-akademik.

Ia hanya bisa mengangguk. Suasana kembali sunyi. Analise sudah tidak punya tenaga untuk bersikap manis pada papa nya. Ia hanya ingin segera sampai rumah. Atau jika tidak ia akan mengamuk dan sekali lagi papa nya akan menghukumnya seperti dulu.

Seperti dulu....

Saat Ia kelas 1 SMP, bertengkar dengan temannya, saling menarik rambut dan membuat keributan. Analise melempar temannya dengan batu tepat kena di kepala.

Sehingga orang tuanya datang ke sekolah.

Begitu ia pulang, papa nya langsung memarahinya, menampar, melampiaskan amarah dan menguncinya di gudang yang gelap dan kotor. Berbeda dengan Mamanya, ia hanya akan diminta untuk introspeksi diri di kamar.

Sungguh kenangan yang sangat buruk bagi Analise.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login