Download App
57.14% Peaceful life

Chapter 4: Hari Pertama SMA (Analise)

Acara penyambutan siswa baru sudah selesai. Seluruh siswa baru yang mengikuti orientasi diminta untuk kembali ke kelas masing-masing. Punggung Analise terasa sakit seperti siswa siswi lain karena terlalu lama duduk, namun ia ekspresi wajahnya tetap tidak ada yang berubah. Tidak memperlihatkan ekspresi wajah mengeluh sudah seperti makanan sehari-hari Analise. Pintah ayah tidak boleh diabaikan. Sebagai satu-satunya pewaris dari keluarga Mahendrata, ia sudah sering belajar mengatur ekspresi-nya agar tidak ada perusahaan saingan yang bisa menjatuhkan mereka. Kenapa Analise yang menjadi penerusnya? Bukankah masih ada kakaknya yang bisa menjadi penerus? Haha... Tentu saja kakaknya menolak karena tidak suka di kekang dengan aturan papa nya. Dan semua itu di lemparkan pada Analise. Setiap hari kakaknya selalu meminta maaf karena ia tidak memikirkan nasib adiknya. Saat kakaknya meminta agar biarkan ia yang menjadi penerus dan biarkanlah Analise memilih masa depan yang ia inginkan. Namun itu sudah terlambat. Papa nya tidak menoleransi sikap anak laki-lakinya, bahkan hampir tidak dianggap. Sang kakak hampir saja diusir dari rumahnya. Jika saja bukan karena prestasinya, mungkin saja sudah diusir.

Pernah sekali Analise bertanya pada mamanya. Apakah saat kakaknya lahir sikap papa dingin seperti ini? Tentu saja jawabannya "Tidak. Papamu sangat bahagia saat kelahiran kakakmu, begitu juga dengan kelahiranmu." Jelas Mama.

"Tapi kenapa sikap papa sangat dingin pada Analise dan kakak?" Tanya Analise kecil yang berumur 5 tahun.

"Pasti ada masalah di perusahaan sehingga papa seperti itu."

"Lalu dengan adanya masalah, papa melampiaskan amarah pada Analise dan kakak?" Mama terdiam saat mendengar pertanyaan itu, dan merapikan sketsa desain pakaian yang berhamburan.

"Kamu pasti mengantuk. Ini sudah malam, mari kita tidur." Mama menggendong Analise kecil dan berjalan ke kamar Analise.

"Tapi Analise belum- Hoam..." Analise kecil menguap panjang, matanya sudah mulai ingin menutup.

"Tuh kan. Apa yang mama bilang. Mari kita tidur."

"Tapi Analise masih tidak ingin tidur." Analise mengusap-usap matanya, berusaha menahan kantuk yang melanda.

"Anak kecil harus tidur dengan cukup agar tumbuh tinggi. Bukannya Analise bilang ingin lebih tinggi dari kakak." Ujar mama, ia mengelus punggung Analise kecil agar merasa kantuk.

"Baiklah, Analise akan tidur. Analise mau tinggi seperti kakak. Tidak Analise ingin lebih tinggi dari kakak!!" Sambil mengangkat kedua tangan kecilnya.

***

Suara seseorang memanggil Analise. Membuyarkan lamunannya tentang kenangan kecilnya. Analise mendongak untuk melihat siapa yang terus memanggilnya. Beberapa orang berdiri dan tersenyum pada Analise, padahal ia tidak mengenal satupun karena tidak mengikuti orientasi di sebabkan demam tinggi yang ia alami saat itu.

"Nama kamu Analise, kan? Penerus perusahaan Mahendrata, bukan?" Tanya salah satu dari mereka. Analise tersenyum dan mengangguk. Tentu saja mereka semua mengenali Analise bukan karena mengenalnya, namun karena Papa nya. Tentu saja selalu begitu.

Mereka langsung bergerombol menghampiri Analise, dan saling mengenalkan diri membuat Analise risih. Tapi ia tetap menahan diri untuk tidak berusaha kesal, marah, ataupun mengumpat. "Senang berkenalan dengan kalian." Ucap Analise dengan senyum formal yang selalu ia berikan. Rasanya mual, sesak, berisik. Jika di izinkan, ia ingin menjauh dari mereka dan mencari ketenangan. Dan andai saja norma dan aturan pemerintah di hapuskan, Analise mungkin akan menjahit mulut mereka agar diam dan memotong tangan dan kaki mereka.

Benar. Karena jika Analise kehilangan kesabaran dan akal sehatnya, ia mampu mencelakai orang sehingga orang tersebut tidak bisa memperlihatkan diri dihadapannya.

Karena itulah mengapa Analise sempat di masukkan ke rumah sakit jiwa, dan kenyataan tentang itu disembunyikan oleh orang tuanya. Agar tidak ada aib di keluarganya.

_Ya Tuhan. Tolong jauhkan mereka dariku_

Selama hidup di keluarga Mahendrata tidak sekalipun Analise merasa bahagia. Tuntutan Papa nya, hubungan yang merenggang karena bersikap profesional di perusahaan maupun di rumah. Walau Mama nya selalu bilang bahwa Papa nya adalah orang yang hangat, namun tak sekalipun Analise merasakan kehangatan dari Papa nya. Yaa... Sejak umurnya 7 tahun. Saat tahu bahwa Analise tidak bisa mendapatkan rangking 1, tidak. Bahkan Analise bisa masuk 10 besar di kelasnya. Kehangatan Papa nya langsung lenyap. Sejak itulah ia mati-matian belajar sehingga selalu rangking satu di sekolah nya. Namun tidak pernah bisa lebih baik.

Kehangatannya sudah lenyap. Pernah mencoba untuk mendapatkan prestasi di bidang non-akademik dan berhasil menjadi juara pertama. Tapi Pak Windiarto tidak pernah mengapresiasi prestasinya. Walau begitu setidaknya ia akan menjadi pewaris perusahaan meski tidak di hargai.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Semuanya berhamburan keluar, namun beberapa anak menghampiri Analise. Mereka adalah anak dari rekan bisnis keluarga Papa nya. Anak-anak dengan wajah munafik yang selalu menjilat seperti orang tua mereka. Analise berusaha menahan kekesalannya dan hanya bisa tersenyum.

Merekapun berjalan beriringan dan saling membicarakan tentang perusahaan orang tua mereka, selayaknya orang dewasa yang sedang membicarakan bisnis. Analise hanya bisa menghela napas. Mengingat bahwa mereka adalah anak dari rekan bisnis Papa nya.

"Eh kamu tahu tidak kalo di sekolah kita ada cowok albino. Walau begitu dia sangat tampan loh." Tiba-tiba teman munafik-nya membahas tentang cowok. Analise belum pernah bertemu dengan seorang albino membuatnya menjadi tertarik pada topik itu.

"Benarkah? Apa sungguh albino?" Tanyanya.

"Iya. Tentu saja. Aku dengan di sekolahnya dulu dia selalu mendapatkan peringkat ke 2 seangkatannya. Dan wajahnya sangat tampan, kepribadiannya juga sangat baik." Temannya mengatakan dengan rinci seluruhnya tentang cowok albino tersebut. Tapi justru yang membuat Analise penasaran adalah siapa peringkat pertama di sekolah cowok itu?

"Ehh... Itu bukannya cowok itu." Sambil menunjuk ke gerombolan orang. Tidak sulit bagi Analise untuk menemukan orang yang di tunjuk, karena cowok itu yang paling mencolok diantara gerombolan orang itu.

"Hei... Kau anak dari Pak Windiarto Mahendrata, kan!" Segerombolan cewek dengan pakaian branded menghampiri Analise. Ia sempat berpikir, memangnya memakai pakaian branded yang mencolok begitu memangnya boleh di sekolah?

Analise tersenyum pada gadis yang memanggilnya. Entah kenapa menjadi kebiasaan yang justru terasa menekannya. Karena gadis itu memanggilnya dengan nada suara yang kurang enak didengar.

"Iya. Apa ada yang bisa aku bantu." Ujar Analise dengan sopan. Gadis itu terdiam, melihat dari bawah ke atas Analise membuatnya risih. Gadis itupun tersenyum, entah apa artinya.

" Kau tidak mirip dengan orang tuamu." Ucapnya secara mendadak. Seperti ada yang membakar di hati Analise. Rasanya akal sehatnya sempat hilang dan ingin menarik rambut panjang bergelombang nya sampai tercabut dari akar rambutnya. Tangannya mengepal menahan amarah, namun ia masih tetap tersenyum.

"Banyak yang bilang kalau wajahku mirip ayahku dan rambutku mirip ibuku. Bagaimana bisa kamu mengatakan aku tidak mirip orang tuaku?!" Nada suara Analise tetap datar namun sedikit menekan. Tapi bagi orang yang tidak peka seperti gadis dihadapannya tentu saja tidak akan merasa terancam.

"Oh? Kau tidak mengenalku ya? Aku anak dari pemilik perusahaan saingan ayahmu." Jelas gadis itu. Analise berusaha mengingat-ingat siapa saja orang yang dijelaskan oleh Papa, yang menjadi ancaman bagi perusahaan keluarganya yang berada di Indonesia. Dan mengingat salah satu orang yang selalu berusaha menjatuhkan Papa nya.

"Ah!! Kamu dari anak dari Perusahaan Dhananjaya. Namamu Dinda, kan. Aku tidak menyangka akan satu sekolah dengan anak dari perusahaan itu." Ujar Analise.

"Ya benar. Aku tidak pernah menyangka akan satu sekolah dengan orang gangguan jiwa sepertimu." Analise terdiam saat mendengarnya, bagaimana mungkin ada yang tahu soal itu. Ah memang tidak bisa berharap akan selalu tertutupi masalah itu. Analise tidak bisa berpikir dengan jernih, satu-satunya yang ia pikirkan adalah ia ingin mencekik gadis dihadapannya itu.

"Jangan bicara sembarang!" Teriak gadis dengan rambut pendek sebahu dengan kulit sawo matang. Diikuti cowok albino dibelakangnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login