Pendeta berdiri di hadapan kedua mempelai perempuan dan pria yang tengah berdiri di atas pelaminan dengan saling menggenggam tangan dan berhadap-hadapan satu sama lain.
Cincin pernikahan sudah melingkar di kedua cari manis mempelai perempuan dan pria tersebut dengan baik.
Mina dan Tama saling memandang dengan mengulas senyuman yang berbeda. Mina dengan senyuman manis yang melekat di wajahnya karena fake face sudah menjadi keahliannya, sementara Tama dengan senyuman kaku yang terlihat begitu gugup bagi semua orang.
"Kenapa begitu gugup? Senyum yang lebar jika tidak ingin ketahuan kalau ini hanya pernikahan di atas kontrak. Kitakan sudah sepakat untuk saling menjadi panter saat sudah menjadi keluarga. Jangan gugup, Tuan," ucap Mina, menatap manik mata Tama lekat-lekat.
'Enak sekali bicaranya. Walaupun palsu, pernikahan tetap pernikahan. Terlebih di sahkan oleh pendeta dan di hadiri tamu sebanyak ini. Entah bagaimana dia bisa setenang itu. Mungkin penipuan juga salah satu keahliannya?' batin Tama, menghembuskan napas panjang nan berat.
"Baiklah. Sesuai keinginan istriku," balas Tama, menetralkan ekspresi wajah kakunya dengan senyuman profesional yang terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Mina pun mengangguk-anggukkan kepalanya dengan mengulas senyuman bangga.
"Bagus. Memang Tuan adalah aktor terbaik, hihi."
Tama hanya memutar bola matanya malas dan kembali fokus saat pendeta mulai membacakan ikrar pernikahan untuk mereka.
Suasana haru di sertai tangis kedua orang tua dan senyuman bahagia dari para tamu hadirin mulai menghiasi momen mendebarkan tersebut.
Pendeta tersenyum manis. "Maka tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara. Saya persilahkan saudara masing-masing menjawab pertanyaan saya."
Mina dan Tama mengulas senyuman mereka semakin lebar sebagai tanda jika mereka mengerti akan apa yang di perintahkan oleh sang pendeta.
"Andra Hanan Adytama, maukah saudara menikah dengan Trina Ermina Leilany yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
Tama mengeratkan genggaman tangannya seraya mengulas senyuman tulus. "Ya, saya bersedia."
Mina hanya membalas senyuman Tama sambil berucap dalam hati. 'Hah, lihatlah ia. Ia benar-benar terlihat sangat profesional. Padahal tadi sangat gugup sampai bola matanya ikut gemetaran, haha.'
Setelah mendengar jawaban dari Tama, Pak Pendeta menganggukkan kepalanya dan memandang wajah Mina bergantian.
"Trina Ermina Leilany, maukah saudara menikah dengan Andra Hanan Adytama yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
"Ya. Saya siap bersedia menikah dengannya," ucap Mina, tegas layaknya prajurit TNI yang tengah di tanya oleh atasannya.
Tama dan keluarga Mina langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam sembari menahan tawa mereka kuat-kuat.
"Ah, adikku sedang gugup sayang. Dia menjawab pertanyaan yang harusnya di sertai senyum dengan suara berat khas prajurit yang baru saja menerima tugas dari seorang Jenderal," ucap Arci, menggenggam tangan istrinya.
"Jangan begitu. Dulu kamu pun melakukan hal yang lebih parah darinya. Hahaha ... kalian memang adik-kakak yang sangat unik," ucap Arie, mengulas senyuman miring.
Arci diam dengan menelan ludahnya susah jika harus di ingatkan dengan kejadian yang harusnya menjadi peristiwa sakral di dalam hidupnya, malah menjadi sebuah kejadian yang paling memalukan.
"Ah, aku juga sadar jika dulu aku benar-benar konyol saat menjawab pertanyaan itu. Jadi bisakah kamu berhenti menertawakan aku?" celetuk Arci, meremas tangan istrinya kuat-kuat.
Arie menepuk punggung tangan suaminya sambil mengulas senyuman sejuta umat.
"Aku tersenyum untuk adik iparku. Jadi jangan terlalu percaya diri akan hal itu."
Arci yang mendengarnya langsung diam dan kembali fokus menatap kedua mempelai yang masih diam dengan saling bertukar senyuman gugup tanpa ada yang mau melakukan sesuatu yang sangat penting untuk membuktikan cinta mereka.
"Kenapa mereka terlihat begitu hambar?"
"Tidak ada ciuman?"
"Mereka baru saja mengikrarkan janji pernikahan tapi suasananya sudah terasa begitu dingin. Apa mereka benar-benar menikah?"
Mina melirik ke kanan dan melihat para hadirin yang mulai gusar dengan desas-desus hanya karena mereka tidak melakukan yang terpenting saat ini.
Huff ...
Mina menghela napasnya lelah dan kembali memandang wajah Tama yang sedang diam dan menunggu perizinan dari dirinya. Namun sepertinya Mina tidak paham jika Tama berusaha menghormatinya dengan tidak melakukan kontak fisik secara sembarangan kepadanya.
"Apa yang Anda lakukan? Kenapa hanya diam? Anda sudah tahu jika mayoritas tamu kita adalah admin lambe turah di kelas kakap. Jika sikap Anda terus kaku seperti itu, kita bisa langsung menjadi sorotan media sosial lebih parah dari yang di bayangkan keesokan harinya!" celetuk Mina, menatap Tama dengan kening berkerut samar.
Tama menghela napasnya kasar dan segera mengecup kening Mina setelah ia menarik pinggang gadis itu agar mereka berdua semakin dekat satu sama lain.
"Aku hanya menunggu izinmu. Kenapa kamu marah-marah begitu? Dan lagi, kenapa kamu memanggilku dengan 'Tuan' dan 'Anda' terus dari tadi? Mode aku-kamunya sudah tidak berlaku?" bisik Tama, dengan suara lembut yang menggelitik.
"Ah, benar juga. Saya– eh, maksudnya aku lupa. Maaf, kemarin aku terlalu banyak bicara dengan para senior karena meminta mereka untuk datang ke acara ini. Siapa sangka kebiasaan 'Tuan' dan 'Anda' jadi ikut sampai hari ini, hehe. Aku harap kamu tidak marah," ucap Mina, tiba-tiba memeluk pinggang Tama dan mengulas senyum manis.
Tama pun mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap puncak kepalanya sayang.
"Yah, mau bagaimana lagi? Istriku yang bodoh ini memang sangat teledor dalam banyak hal, kan? Aku akan belajar memaklumi setiap kesalahannya. Karena dia masih gadis muda yang berusia 5 tahun lebih muda dariku dan hanya bisa menggunakan ototnya saja dengan benar, tapi tidak dengan isi kepalanya. Benar bukan, istri kecilku?" celetuk Tama, di akhiri dengan sentilan di kening Mina.
Mina meringis sakit dan melepaskan pelukannya seraya menendang betis Tama dengan ujung sepatu high heelsnya.
Tama langsung mengambil langkah mundur dengan sigap dan mengedipkan matanya genit seraya mengejek Mina yang terlihat kesal karena serangan balasannya tidak berhasil.
"Sudah jangan bertengkar. Kita jadi pusat perhatian orang-orang. Bahkan Pak Pendeta terus tersenyum karena geli melihat kelakuan kamu. Ya kan, Pak?!" celetuk Tama, menolehkan kepalanya ke arah Pendeta itu.
"Anda bisa berlaku seperti anak-anak juga ya, Tuan? Saya belum pernah melihat Anda bersikap lugas seperti ini. Apakah Anda sangat menyayangi Nyonya?"
Tama diam beberapa saat sebelum akhirnya mengulas senyuman simpul sambil menatap wajah Mina yang terlihat kebingungan dengan kedekatan mereka berdua.
"Entahlah. Saya akan belajar menyayanginya. Kan saya yang memintanya menjadi istri. Jadi saya harus bertanggung jawab sebagai suaminya walaupun tidak bisa menjadi pria idamannya. Bukan begitu?"
Pak Pendeta pun tersenyum lebar. "Wah, Anda benar-benar akan jatuh cinta dengan Nyonya jika sampai seperti itu. Saya berdoa, semoga kalian menjadi pasangan suami istri yang bahagia walaupun tidak bisa menjadi yang paling bahagia di dunia ini. Semoga Tuhan memberkati."
Mina dan Tama spontan menundukkan kepalanya begitu menerima doa tersebut.
"Terima kasih. Semoga tidak akan halangan seperti yang saya cemaskan. Karena keluarga suami saya lebih condong ke arah negatif dari pada positif, haha."
"Jangan sembarangan bicara. Aku ada untuk melindungimu. Bukan melukaimu, dasar!"
"Tapi aku kan yang jadi bodyguardnya, Tuan Direktur!"
"Eh ... eh ... kamu benar, ish! Bagaimana jika kamu keluar dari pusat keamanan dan jadi Nyonya saja di rumah?"
"Terima kasih atas tawarannya. Tapi saya lebih senang bekerja dari pada menjadi pengangguran sukses dengan dompet suami saya," celetuk Mina, mengulas senyuman profesional.
"Ah, sungguh gadis merepotkan."