Kartika merasa sudah tidak ada gunanya lagi ia berpamitan dan bicara baik-baik dengan Euis dan Neneng. Ia pun segera kembali ke rumah Sundari.
"Ada apa, nak?" tanya Sundari.
"Tidak apa-apa, bu."
"Ya sudah, kau istirahat saja, atau belajar. Besok, Ibu akan kembali mengurus sekolahmu."
"Ibu serius?" tanya Kartika.
"Ya tentu saja. Ibu akan kembali menyekolahkan dirimu. Nanti, ibu akan menyuruh orang untuk mengurus kepindahan dari sekolah yang lama."
"Terima kasih banyak, Bu."
Sundari mengangguk dan tersenyum, ia menggandeng Kartika ke kamarnya. "Istirahatlah," kata Sundari.
Kartika mengangguk dan langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Untuk pertama kalinya ia merasakan tenang dan nyaman. Kartika pun memejamkan matanya, dan sebentar kemudian ia pun pulas tertidur.
Sore hari saat Kartika terbangun, ia langsung bergegas mandi sore. Nyaman rasanya bisa mandi tanpa harus antri. Saat kembali ke kamar, Kartika terkejut melihat Sundari sedang menaruh televisi di meja kamarnya.
"Loh, Bu, kok ada televisi di kamarku?" tanya Kartika.
"Iya, Ibu baru menyuruh Mang Beno untuk membeli televisi. Ini supaya kamu bisa menonton di kamarmu. Di malam hari, kau jangan keluar kamar ya. Menonton atau belajar saja. Ibu tidak mau ada pelanggan yang melihatmu. Apalagi yang tau kau pernah bekerja. Jadi, akan jauh lebih aman jika kau berada di kamar saja jika sudah pukul 8 malam ya, nak," kata Sundari.
Kartika pun mengangguk, ia merasa terharu sekali atas perhatian Sundari kepadanya. Belum pernah ia merasakan perhatian seperti itu dari Ibu kandungnya sendiri. Ia melangkah mendekat kemudian memeluk Sundari. "Terima kasih, Bu," ujarnya.
"Sama-sama, anakku."
Sundari sendiri mengucapkan kata 'anakku' dengan sedikit bergetar. Impiannya sejak dulu adalah memiliki keluarga yang utuh, suami yang mencintai dengan sepenuh hati, anak yang lucu. Tapi, semua itu hanya impian yang tak akan pernah bisa ia wujudkan. Tapi, saat ia bertemu Kartika, hatinya sudah terlanjur jatuh cinta. Biarlah ia curahkan semua cintanya pada Kartika.
**
"Di mana gadis yang baru kemarin itu, Mami?" tanya seorang tamu bertubuh tinggi dengan perut buncit itu pada Sundari.
"Yang mana ya?"
"Karla, itu yang putih, cantik, tinggi, kemarin aku mau booking, eh dia di bawa keluar."
"Udah nggak di sini lagi."
"Balik ke rumah Sania?"
"Nggak, bang. Dia udah pulang ke kampungnya," jawab Sundari.
"Aduh, saya kan belum cicip."
"Memangnya permen, di cicip, bang?" Sundari terkekeh geli.
"Ya sudahlah,saya mau sama Cindy ajalah, bosen sama Dhea terus."
Setelah memberikan sejumlah uang pada Sundari, tamu yang biasa di sapa dengan panggilan Bang Jojo itu pun langsung melenggang menuju kamar yang sudah di siapkan untuk menuntaskan hasratnya. Sundari pun segera menyuruh anak buahnya memanggil seorang wanita yang bernama Cindy.
Menjelang tengah malam,hampir semua gadis yang ada sudah mendapatkan langganan. Itu artinya banyak uang yang masuk dan dapat di pastikan Sania akan senang luar biasa mendapat setoran dari Sundari.
Sementara Kartika yang mulai terbiasa tidur dini hari pun sedikit kesulitan saat ia memaksa untuk tidur lebih cepat. Beruntung sudah ada televisi di kamarnya sehingga ia pun bisa sedikit terhibur. Bagi Kartika rasanya sangat nyaman saat bisa berbaring dengan santai sambil menonton televisi. Biasanya jika di rumah ia harus mengalah pada Agung adiknya. Agung tidak pernah mau mengalah. Ia hanya mau menonton acara televisi favoritnya. Sementara Kartika hanya bisa menonton saat Agung bosan dan bermain di luar bersama teman-temannya.
**
Di tempat lain, Aminah masih belum bisa lelap karena teringat Kartika. Sejak mengetahui kejadian yang menimpa Kartika, ia tidak mau bicara banyak pada Sulastri. Sebenarnya, ingin ia memecat saja Sulastri. Tapi, ia ingat pada Agung. Jika Sulastri tidak bekerja dengannya, bagaimana Agung bisa sekolah. Aminah masih punya hati untuk tidak memutus rezeki orang. Hanya saja, ia memang masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang Ibu tega menjual anaknya sendiri untuk dijadikan wanita penghibur.
Gelisah memikirkan Kartika, Aminah pun keluar dari kamarnya. Ia mendapati Denny sang anak sedang duduk di ruang tengah sambil melamun.
"Kunaon, Den? Ada apa?" tanya Aminah. Denny menoleh dan tersenyum pada sang Ibu.
"Tumben Ibu belum tidur, biasanya jam sembilan Ibu sudah tidur," kata Denny tak mengindahkan pertanyaan Aminah.
Aminah melangkah dan duduk di samping Denny. Kemudian ia pun mengembuskan napasnya dengan berat.
"Kartika..."
"Kartika bukannya kabur dari rumah?" tanya Denny.
"Sulastri bohong. Kartika nggak kabur."
"Hah...? Terus di mana Kartika sekarang, Bu? Kenapa nggak ada di rumah kalau memang nggak kabur."
"Kartika tadi siang pulang, dia diantar seorang wanita cantik. Penasaran, Ibu akhirnya menyusul. Ibu tidak sengaja mendengar, Kartika itu dijual Sulastri untuk di jadikan wanita malam. Wanita penghibur, dan dia tinggal di Saritem."
"Astagfirullah, nggak punya hati. Ya Allah, tega sekali bik Sulastri jual anaknya. Bisa di laporkan itu, Bu."
"Ah, laporan ke polisi hanya bikin urusan tambah panjang, Den. Mending ditebus atuh, si Kartika. Karunya Ibu mah, kasian. Coba aja dulu kamu mau Ibu jodohin sama Kartika. Ini malah sibuk sama si Neng Sari. Tuh, liat kualat sama Ibu ujungnya dia malah sama orang lain, mana hamil duluan lagi. Kamu yang rugi, udah keluar uang banyak sama dia," gerutu Aminah.
Denny hanya terkekeh. Ia tau, sejak dulu Ibunya memang sangat sayang pada Kartika. Tapi, Denny sendiri memang hanya menganggap Kartika tidak lebih dari adik. Dan perasaan itu tidak bisa berubah sama sekali. Tapi, mendengar nasib Kartika saat ini membuat Denny juga merasa kasian. Kartika belum genap berusia 17 tahun. Bahkan, KTP saja dia belum punya. Kelewatan sekali Sulastri menjual anak sendiri.
"Bu, kalau untuk menebus Kartika pasti perlu uang banyak, Bu. Nggak cukup satu atau dua juta. Kita punya uang tabungan di Bank. Tapi, itu kan untuk tabungan Ibu mau berangkat haji."
"Pake ajalah, Den kalau hanya 10 atau 15 juta. Paling juga mereka minta segitu, atuh. Di Kartika kan udah lama di sana, pasti Mami nya juga udah dapat uang banyak. Masa nggak mau dikasi uang segitu. Cuma lepasin aja," ujar Aminah.
"Tapi, Ibu yakin dia tinggal di Saritem? Lebih baik, Ibu tanya sama siapa Bik Sulastri jual Kartika. Orang itu yang harus di datangi. Kalau langsung ke Saritem, kita nggak Kartika tinggal di rumah yang mana. Kan banyak juga bu, di sana itu kompleknya. Saya ke sana malah di kira mau booking awewe ( perempuan) , Ibu mau?"
"Eh, amit-amit, kamu sampai main sama perempuan be..."
Aminah tiba-tiba tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa, bu?" tanya Denny. Aminah menghela napas, "Ibu baru sadar, Den. Mungkin orang-orang yang kerja begitu, jadi bondon atau wanita penghibur ada yang senasib sama Kartika. Mereka juga nggak mau kerja begitu. Ibu jadinya prihatin sama nasib wanita-wanita yang kerja malam begitu, Astagfirullah ya Allah."
**
Author note
Syukurilah hidupmu, sesusah apapun. Dan, jangan pernah menghakimi orang yang mungkin terlihat hina atau menjadi sampah masyarakat. Karena kita tidak pernah tau apa yang terjadi dengan mereka. Itulah mengapa aku memberanikan diri mengangkat kisah Ibu Kartika( nama aku samarkan) ini menjadi sebuah novel. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi pelajaran untuk kita semua.