Download App
20% Fine

Chapter 5: Five

Ayu POV

Pagi itu aku pergi ke kantor seperti biasa. melewati jalan yang selalu kulalui tiap pergi dan pulang kantor.

Tak ada yang special, seperti hari-hari sebelumnya.

Pertemuanku dengan Dimas pun terasa seperti mimpi. Aku masih mengingat senyum itu dengan sangat jelas. Dan siluetnya yang kulihat dari spion motorku pun masih terbayang-bayang.

Aku segera menepis semuanya. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Aku harus menjaga hatiku sebaik-baiknya. Jangan sampai dipatahkan lagi. Cukup sudah aku dikecewakan 2 laki-laki yang sebenarnya sangat kusayangi. Meskipun konteksnya berbeda tapi tetap saja. Mereka semua lelaki.

Setelah berkendara sekitar 15 menit, aku pun tiba di kantor. Masih belum begitu banyak yang datang. Kulirik jam tanganku. Masih jam 07:40. Sepertinya aku terlalu pagi. Tapi tak apa. Dengan datang lebih cepat aku jadi bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum sempat kukerjakan kemarin.

Kantorku memiliki 4 lantai. Aku bekerja di lantai 2, bagian administrasi. Tak terasa sudah 5 tahun aku bekerja di perusahaan ini dengan segala suka dukanya. Meskipun sampai sekarang aku masih berstatus outsourcing.

Normalnya, seorang karyawan di perusahaan ini akan berstatus outsourcing paling lama 2 tahun sebelum diangkat menjadi karyawan dengan status kontrak. Tapi entah kenapa sampai 5 tahun aku masih belum diangkat juga.

Teman-temanku pun merasa heran, mengingat kerja keras dan pengabdianku pada perusahaan ini. Sebenarnya aku ingin resign. Tapi mencari kerja bukanlah hal yang mudah. Aku beberapa kali menyampaikan uneg-unegku pada mama. Tapi beliau selalu memintaku untuk bersabar. Entah sampai kapan aku harus seperti ini.

Bukannya aku tak bersyukur dengan pekerjaanku sekarang. Awalnya memang tak masalah. Tapi stelah setahun bekerja, aku juga ingin memiliki karir yang bagus di sini. Seperti sahabatku, Nadya.

Dia pun dulunya sama sepertiku. Tapi dia sudah karyawan tetap sekarang. Dia memang masuk kerja setahun lebih awal dariku. Tapi itulah. Dia hanya 2 tahun berstatus outsourcing, kemudian 2 tahun berstatus karyawan kontrak, sampai akhirnya diangkat menjadi karyawan tetap.

Aku merasakan ketidakadilan, tapi tak bisa berbuat banyak. Aku membutuhkan pekerjaan ini. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk menyambung hidup. Aku tak berbakat dalam bidang marketing. Mau buka usaha pun tak punya modal.

Begitu tiba di meja kerja, aku langsung menyiapkan semua berkas yang harus kukerjakan hari itu.

Kukeluarkan handphone ku dari tas. Aku lupa meng-charge-nya semalam. Begitu handphone tersambung dengan charger, aku langsung menyalakannya. Notifikasi masuk bergantian. Kebanyakan dari grup chating kantor.

"Ini.."mataku tertumbuk pada 1 chat dari nomor yang tak kukenal. Aku segera mengecek pesan itu.

Assalamualaikum.

Saya Dimas yang tadi ketemu di kedai kopi.. saya senang bisa mengobrol denganmu walaupun sebentar. kalau ada waktu, apa kita bisa ketemu lagi?

Aku tak percaya dengan apa yang kubaca. Ini Dimas, pria tampan yang semalam kutinggalkan begitu saja di depan kedai kopi. Kenapa dia ingin bertemu lagi?

"Woy! Pagi-pagi udah ngelamun..."Suara Nadya mengejutkanku. Dia terkikik puas melihat aku terlonjak kaget. Hampir saja kujatuhkan handphoneku.

"Apa sih.. ngagetin aja. Kalo aku jantungan trus pingsan, gimana?" Sahut ku sambil memonyongkan bibir.

"Yaa.. tinggal bawa ke rumah sakit. Deket ini. Eh tapi siapa yang bawa? Kamu kan jomblo yaaa..hahahahahaha...hmmppff.."

Kulemparkan jaketku kearahnya sehingga menutupi wajahnya yang menyebalkan itu.

"Rasain tuh! Jaket jomblo! Hahahahah"

Seperti inilah persahabatanku dengan Nadya. Kami saling mengenal sejak hari pertama aku masuk kerja. Dia yang mengajariku semua hal tentang pekerjaan ku di sini. Usianya juga 2 tahun lebih tua dariku tapi dia tak mau aku memanggilnya dengan embel-embel 'Kak'. Berasa tua banget katanya. Nadya sebentar lagi akan menikah. Ini yang menyebabkan dia jadi sering mengejekku karena aku sampai sekarang belum memiliki pasangan.

"Eh, udah denger berita terbaru belom?"ujarnya seraya merapikan rambut dan kemejanya.

"Apa?"tanyaku malas. Aku tak begitu penasaran. Paling gosip-gosip selebriti. Atau berita viral yang baru dilihatnya di social media.

"Ssttt...Pak Gito, si kacab rese itu...mutasi!"ucap Nadya dengan suara setengah berbisik. Aku tercengang mendengar kata-katanya barusan.

"Serius? Ga bohong kan?"aku mulai bersemangat.

"Seriuuusss! Kemarin aku ga sengaja denger bu Lina sama pak Gito ngobrol di ruangan bu Lina.."

"Dan...ini hari terakhir pak Gito di sini. Besok acara serah terima jabatan sama kacab baru. Denger-denger kacab yang baru itu masih muda lo..duuhh.. jadi penasaran.." lanjut Nadya dengan mata berbinar-binar di bagian 'kacab baru yang masih muda'.

"Ehem..bukannya sebentar lagi bakal ada yang nikah ya..."aku melirik Nadya. Dia sepertinya lupa kalau dia sudah punya kekasih.

"Yah..setidaknya kalau kacab baru itu muda dan ganteng kan lumayan. Bisa buat cuci mata. Bosen kali liatin mereka mulu."celotehnya sambil melirik teman-teman lain yang mulai berdatangan.

"Apa lagi si Yudi. Ih.. dia itu meskipun tahu aku udah mau nikah, masiiihhh aja modus. Heran deh."Nadya bergidik saat Yudi lewat sambil tersenyum kearahnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan mereka.

Jujur aku sangat senang mendengar kabar mutasinya pak Gito. Kacab bar-bar itu sebaiknya segera pergi dari kota ini. Aku kesal padanya bukan tanpa alasan.

Pak Gito pindah ke sini sekitar 3 tahun lalu. Awalnya aku respect padanya. Dia terlihat supel dan pandai bergaul. Aku senang karena memiliki kacab yang mau bergaul dengan bawahannya.

Tapi itu tak berlangsung lama. 2 bulan sejak kedatangannya, kami mulai merasa jengah.

Dia tidak suka melihat kami pulang di Jam 5 sore. Padahal itu sudah jam pulang kantor dan pekerjaan kami sudah beres.

Dia sangat senang melihat kami lembur tiap hari, padahal perusahaan membatasi jam lembur setiap karyawannya, 14 jam/bulan. Tapi jam lembur kami selalu lebih dari itu.

Perusahaan hanya membayar 14 jam dan sisanya kami kerja bakti.

Pak gito tak segan memarahi kami di depan banyak orang, entah itu di depan karyawan lain atau customer yang datang ke kantor. Dia juga suka sekali memberikan Surat Peringatan untuk kami meskipun melakukan kesalahan kecil yang tidak berpengaruh apapun terhadap performance cabang.

Dan dari semua karyawan, akulah yang paling sering jadi bulan-bulanannya. Yang paling membuatku kesal adalah di saat dia menelponku di luar jam kantor, memintaku untuk kembali ke kantor karena dia ingin aku menyelesaikan 1 berkas yang baru masuk ke mejaku, saat aku sudah pulang.

Waktu itu bulan ramadhan. Jam pulang kerja dipercepat setengah jam dari hari biasa. Begitu pekerjaan ku selesai, aku bergegas pulang supaya bisa berbuka puasa bersama mama di rumah. Tapi, baru tegukan pertama handphoneku berbunyi. Kulihat nama di layar hpku. Pak Gito.

"Ya pak. Ada apa?"Aku menjawab telponnya dengan enggan.

"Dimana kamu?"tanyanya ketus.

"Di rumah pak. Lagi buka puasa."jawabku datar.

"Loh? Kok udah pulang? Saya mau kamu balik lagi ke kantor, input 1 berkas nih baru masuk. Sekarang! Saya tunggu."

Tut..tut..tut..

Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kesal.

Astagfirullah.. kalau saja kondisi keluargaku tak seperti ini aku pasti sudah resign. Batinku.

Setelah selesai menunaikan shalat maghrib dan makan sedikit tajil, aku kembali ke kantor. Dia menyambutku dengan seringai di wajahnya.

Hhhh.. kalau mengingat kejadian itu dadaku terasa sesak. Kenapa orang seperti dia bisa jadi pemimpin di perusahaan sebesar ini?

Tapi sekarang semuanya akan segera berakhir. Masa penjajahan ku akan segera usai.

Haahhh.. senangnya.

Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan riang. Membayangkan kantor tanpa pak Gito saja sudah membuatku berbunga-bunga..hehehe.

"Yu, jadikan nemenin aku ke mall?"tuntut Nadya sambil membereskan mejanya. Aku mengangguk. Hari ini aku janji menemaninya membeli sepatu.

Nadya sangat suka berbelanja. Dia memang berasal dari keluarga berada. Orangtuanya memiliki usaha distributor ikan tuna. Mereka punya 3 kapal ikan berukuran besar.

Setiap gajian dia akan menghabiskan uangnya untuk berbelanja barang-barang yang sebenarnya tak terlalu dibutuhkan. Dia juga senang berpelesir ke luar negri.

Kadang aku merasa iri. Nadya benar-benar menikmati usia 20an nya dengan menyenangkan. Dia bisa membeli apapun yang diinginkan, pergi ke manapun dia suka. Berbeda denganku. Untuk membeli baju pun aku selalu berpikir seribu kali. Bukan apa-apa. Tapi aku pikir uang untuk membeli baju baru lebih baik digunakan untuk membeli beras dan keperluan rumah lainnya. Atau membayar tagihan listrik & air.

"Yuk! Eh..Kita makan dulu yaa..baru belanja..aku traktir."Nadya menggandeng tanganku sambil berjalan pergi meninggalkan meja kerja kami sore itu.

"Naik mobilku aja biar enak, ga ribet harus mencar-mencar."usulnya sambil mulai memencet handphonenya, kemudian mengeluarkan kunci mobilnya.

"Motormu titip di kantor aja. Ntar kita balik sini lagi.."lanjutnya. Aku mengiyakan.

Ah iya! Aku lupa!

Segera kuambil hpku di dalam tas, membuka aplikasi chatting yang kubiarkan dari tadi pagi.

Balas apa ya?


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login