Download App
16% Fine

Chapter 4: Four

Dimas POV

Aku masih berdiri menatapnya berlalu dari hadapanku. Motor matic berwarna biru putih yang hampir tiap hari berpapasan denganku di jalan tiap jam pulang kantor itu sudah pergi.

Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.

Setidaknya sekarang aku tahu namanya. Ayu. Bukan nama yang special. Ada begitu banyak orang bernama sama tapi hanya 1 ini yang memberikan sensasi berbeda untukku.

Sebenarnya aku sudah tahu kalau dia itu bekerja. Aku bertanya hanya basa basi saja karena aku tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan dengan gadis itu.

Namaku Dimas Nugraha. Aku bekerja di salah satu Dinas Pemerintahan di Manado. Baru 2 bulan memang. Tapi aku sudah jatuh cinta dengan kota ini. Apalagi setelah aku melihatnya sore itu.

Jalanan cukup ramai karena jam pulang kantor. Saat itu lah aku melihatnya di depan kantornya, dengan motor matic biru putih, mencoba menyeberang ke arah berlawanan dengan arah mobilku.

Dia sepertinya kesulitan karena lalu lintas cukup ramai. Tak ada yang mau mengalah. Dia mulai terlihat kesal. Pas saat itu mobilku sudah berada di depan kantornya. Aku berhenti untuk mempersilahkannya lewat. Dia terlihat senang. Dia tersenyum sambil mengangguk ke arah mobilku. Meskipun dia tidak bisa melihat jelas siapa yang ada di dalam mobil tapi dia tetap memberikan senyumnya sebagai ucapan terima kasih.

Saat itu aku terpana. Aku juga tidak tahu kenapa yang jelas ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini.

Jujur saja aku cukup terkenal di kalangan wanita. Mungkin karena penampilanku, Ditunjang dengan latar belakang keluargaku, aku bisa mendapatkam wanita manapun yang aku mau. Tapi aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, setidaknya sebelum aku bertemu Ayu.

Aku kenal dengan banyak wanita. Kebanyakan dari mereka yaa...seperti wanita kebanyakan. Tipe-tipe wanita sosialita yang hanya makan dedaunan supaya tetap langsing & memakai baju-baju kekurangan bahan dari brand ternama hanya untuk pamer.

Mereka gemar mengakui ku sebagai pacar, memamerkanku seperti barang pajangan di toko mahal. Aku tak masalah. Toh aku tak pernah menanggapi mereka dengan serius.

Entah sudah berapa orang yang kubuat patah hati. Tapi aku tak pernah merasa bersalah. Kan mereka yang mengaku-ngaku, bukan aku.

Karena hal itu, aku di cap sebagai playboy. Lucu sekali.

Alasanku menyetujui untuk di mutasi ke sini pun karena aku sudah bosan dengan hidupku yang monoton di ibu kota. Jadi, saat dapat tawaran aku langsung mengiyakan meskipun harus diiringi derai air mata dari ibuku tercinta.

Aku anak ke 2 dari 2 bersaudara. Jadi, tahu sendiri bagaimana sayangnya ibu padaku, si anak bontot. Aku lahir di Jogja. Ibu orang asli Jogja sedangkan bapak dari Kalimantan. Entah bagaimana mereka bertemu.

Kakakku, mas bayu sudah menikah dan sekarang untuk sementara tinggal di Belanda. Mas bayu membantu menjalankan usaha bapak.

Sebenarnya bapak maunya aku bekerja di perusahaan bapak juga seperti mas bayu. Toh nanti perusahaan itu akan diwariskan ke kami berdua. Tapi aku ingin mencoba berdiri dengan kakiku sendiri. Jadi setelah lulus kuliah dan kembali ke Indonesia, aku langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti tes CPNS.

Begitu lulus, aku langsung di tempatkan di kementrian sebagai staf. Aku jadi terpacu untuk mengejar karirku di sini. Akhirnya tawaran itu datang. Tapi aku harus di mutasi ke daerah. Awalnya ibu tidak mengijinkan. Tapi setelah melakukan negosiasi selama 3 hari, ibu mengijinkan dengan syarat. Saat kembali aku sudah harus membawa calon menantu untuknya.

"Tapi ibu nda mau ya kalo cewenya menye menye. Inget Dimas.. kamu cari calon istri, berarti kamu cari calon ibu buat anak-anakmu.. kalo kamu salah pilih, nanti anak-anakmu bisa salah didikan. Karena ibu itu madrasah pertama untuk anaknya. Paham kamu?"

Pesan ibu terngiang di telinga ku. Aku memang berasal dari keluarga yang taat beragama. Orang tuaku sudah Haji. Bukan cuma 1 atau 2 kali. Hampir setiap ramadhan mereka berdua pergi umroh. Ibu juga selalu berpesan supaya aku tidak pernah meninggalkan shalat 5 waktu.

Karena itu ibu selalu kesal tiap kali melihatku jalan dengan gadis-gadis itu. Terakhir kali ibu sampai menangis. Waktu itu lebaran. Lisa, gadis yang saat itu dekat denganku, bilang kalau dia mau datang silahturahmi.

Aku membolehkan dia datang. Tapi aku tak menyangka kalau dia akan datang ke rumahku dengan mini dress pink kesukaannya, saat semua keluarga besarku sedang berkumpul. Tentu saja ibu marah besar dan mengusirnya pergi. Aku ingat betul wajah ibu saat itu.

"Dimas...kamu serius sama cewe model begitu? Kamu ga sayang sama ibu ya Dim?! Kamu liat ibu ini sudah tua nak...masa kamu bawa calon mantu model gitu buat ibu...tega kamu sama ibu!"

Saat itu aku hanya bisa memeluk ibu sambil meminta maaf dan mencoba menenangkannya. setelah aku berhasil meyakinkannya kalau aku tidak serius dengan Lisa, ibu mulai terlihat tenang.

Bapak pun hanya menepuk pundakku pelan.

Kedua orang tuaku memang memiliki watak yang berbeda. Ibu lebih ekspresif sedangkan bapak lebih kalem dan tenang. Tapi mungkin itulah jodoh, saling melengkapi.

Jodoh memang sudah diatur. Aku pun tak tahu akan berjodoh dengan siapa. Tapi, Sejak melihat senyumnya, entah kenapa aku yakin kalau she's the one. Dia memberikan perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Aku beruntung karena jarak kantor kami berdekatan, kira-kira hanya 200 meter. Setiap pulang kerja aku selalu lewat di depan kantornya karena memang itu jalan yang biasa kulewati untuk menuju apartemen tempat kutinggal sekarang.

Aku sering melihatnya di sana, mengobrol dengan teman-temannya, yang kebanyakan lelaki. Mungkin karyawan di kantornya sebagian besar memang diisi kaum adam.

Meskipun dia akrab dengan mereka tapi tidak terlihat berlebihan. Maksudku, dia bukan gadis menye-menye yang suka nempel dengan sembarang pria.

Kami bahkan pernah berpapasan di minimarket dekat kantornya. Tapi aku takut untuk menyapa. Dia mungkin baik dengan teman-temannya tapi kalau dengan orang asing mungkin berbeda.

Dan benar saja. Seperti yang terjadi barusan. Sepertinya aku salah mengangkat topik pembicaraan. Dasar Dimas bodoh!

Tapi setidaknya aku sudah mengobrol dengannya, meskipun ada sedikit insiden. She's cute ternyata. Agak clumsy, tapi yang membuatku suka adalah gayanya yang simple.

Dia berhijab, memakai kemeja panjang selutut berwarna navy, senada dengan hijabnya. Wajahnya hanya dipoles make up tipis. Berbeda jauh dengan wanita-wanita pesolek yang pernah ku kenal selama ini.

Dia memakai tas ransel hitam, no brand, dan sneaker. Gayanya benar-benar Natural dan simple. Membuatku nyaman untuk menatapnya lama-lama. Ibu pasti tidak akan menolak yang seperti ini kan?

Ah, dan matanya sangat indah. Ya.. dia memiliki mata yang bulat bercahaya seperti bulan. Saat mata itu menatapku, jantungku serasa berhenti berdegub sejenak. Aku seperti tenggelam di dalamnya.

Sebenarnya tadi aku memang sedang bosan dan ingin menghirup udara malam sambil minum kopi. Kebetulan Kedai kopi itu berada di depan gedung apartemenku. Aku cukup sering ke sana. Tapi malam ini aku beruntung.

Aku sudah duduk di sana sekitar 1 jam. Dan itu sudah cangkirku yang ke 2 saat Aku melihat sosok familier memasuki kedai itu sendirian.

Duduk di pojok tak jauh dari tempatku duduk. Dia memesan sesuatu kemudian duduk di sana menatap langit.

Handphonenya hanya diletakkan di atas meja. Sesekali dia tersenyum. Aku jadi penasaran dengan apa yang ada dipikirannya saat itu.

Akhirnya setelah berpikir dan mengumpulkan keberanian, aku berjalan mendekatinya. Untung saja kedai saat itu cukup ramai jadi aku punya alasan untuk duduk dengannya, meskipun dari tatapannya tadi sepertinya dia tidak suka acara melamun menatap langitnya ku ganggu.

Hhhh...kuraih handphone ku. Haruskah aku menelponnya? Atau chat di wa? Ku tatap layar hp ku. Tertulis nomor hp dan namanya.

"Nelpon atau chat? Nelpon...chat...nelpon..hhhhh...seumur-umur ga pernah gue galau gini gara-gara cewek."

Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk yang selama 2 bulan ini sudah menemaniku tiap malam. Kupejamkan mataku, mencoba mengatur nafasku. Terbayang lagi wajah manis bersahaja itu. Ayu.. aku harus gimana biar kita bisa deket?

Ah...pokoknya nekad ajalah. Aku bangkit dari tempat tidur, kuraih hpku. Segera kubuka aplikasi chatting itu.

Aku melihat profile picture nya. Dia tersenyum lembut di foto itu sambil menggendong seekor kucing gemuk berwarna kombinasi putih abu-abu dan hitam.

"Hmmm...cat lover ternyata.." gumamku. Sepertinya mulai sekarang aku harus browsing tentang kucing. Siapa tahu kita ketemu lagi. Jadi ada bahan untuk ngobrol kan.

Kutekan tombol chat. Now what?

Aku pun mulai mengetik sambil memikirkan kata-kata yang bagus untuknya.

Hai..ini Dimas yang tadi ketemu di kedai kopi..lagi ngapain?

"Hai? Kok hai sih dim?! Trus kenapa nanya lagi ngapain? Emang udah sedekat apaaa?! Rasanya kayak cowo nakal yang mau godain cewe baik-baik deh.."

Aku berpikir lagi. "Ah.. apa adanya sajalah. Simple tapi berkesan. Duuhh.. berkesan apanya sih ini!" Aku mulai mengacak-acak rambutku.

Setelah 1 setengah jam berkutat dengan hp, jempol dan otak, akhirnya aku memutuskan mengirimkan pesan untuknya. Hanya pesan sederhana. Berharap dia membalasnya. Atau setidaknya tanda centangnya berubah jadi biru pun tak masalah...


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C4
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login