"Kurang ajar!"
Crang!
Anti kembali ke rumah dengan perasaan kesal. Energinya habis karena digunakan untuk mendumel berjam-jam. Sudah lama ia menahan amarah di hati. Mengalah dan mengizinkan pernikahannya anaknya berjalan lancar tanpa gangguan.
Sampai di kamar, Anti menyapu seluruh perkakas di meja rias dengan tangannya. Lalu membuang bantal serta guling ke sembarang arah. Ruangan berkelir moca itu sudah seperti kapal pecah. Jengkel, memikirkan Hardi dan Jaya yang malah membela Rubi.
"Sudahlah, Ma. Tidak ada gunanya juga menghancurkan barang seperti ini. Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya menyingkirkan si miskin satu itu," Melani menggiring Mamanya ke ranjang yang sudah tidak berbentuk.
"Apa yang harus kita lakukan? Lihat lah! Semua orang membela Rubi,"
Tentunya kebencian itu kian membuncah, mengingat bagaimana Hardi dan Jaya memperlakukan dirinya tadi. Anti sama sekali tidak merasa bersalah. Ia menganggap dirinya hanya melakukan yang terbaik untuk masa depan putra satu-satunya. Daripada harus menikah dengan Rubi si melarat, lebih baik Jaya melajang saja seumur hidup, pikir Anti.
"Aku juga belum tahu, nanti saja kita pikirkan. Yang terpenting saat ini, Mama jangan terpancing emosi. Bisa-bisa darah tinggi Mama naik," Melani mengelus bahu Mamanya.
Mungkin tak ada yang dapat mereka lakukan selain diam dan kembali menyusun strategi. Rasanya, Melani pun sudah jenuh dengan keadaan keluarganya yang semakin memburuk semenjak kehadiran Rubi.
"Ayo, ke kamarku dulu. Biarkan asisten yang membersihkannya sebelum Papa pulang,"
Melani tak ingin sesuatu yang lebih kacau terjadi. Ia memapah tubuh lemas Anti menuju kamar miliknya.
***
"Wah, kau sudah sadar, Sayang,"
Lekas Jaya menghampiri istrinya di brankar pasien. Mengusap dahi, lalu mengecupnya dengan lembut. Hal itu ia lakukan di hadapan Hardi. Sebuah pemandangan yang membuat gejolak amarahnya menurun.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" Hardi ikut menyamperi hawa tersebut.
Jaya melempar pandangan ke arah Rubi. Memikirkan tentang keributan yang baru mereka ciptakan. Apa karena ini Rubi terbangun? Kalau memang iya, pastilah hatinya sangat hancur karena mengetahui bahwa sebenarnya pernikahan mereka tidak disetujui oleh Anti.
"Sudah lebih baik," ucap Rubi yang agak heran kenapa Hardi bisa berada bersama mereka.
"Sayang. Bagaimana kau bisa pingsan di kamar mandi?" sepasang mata Jaya berpijar. Harap-harap cemas dengan keadaan istrinya.
"Aku tidak sengaja terpeleset, Mas. Tidak ada yang tahu hingga aku pingsan. Oh ya, siapa yang membawaku ke sini?"
Rubi berusaha menyandarkan punggungnya pada kepala brankar. Benar-benar kapok. Setelah ini ia tak akan banyak tingkah lagi jika sedang mandi.
"Mbok Ijah yang tahu. Mas juga ditelepon olehnya,"
"Terus, kenapa Papa bisa ada di sini? Bukannya sedang kerja?" suara Rubi terdengar lirih.
"Mana mungkin Papa bisa berkonsentrasi kerja kalau ada keluarga Papa yang sedang sakit," ucap Hardi dengan raut khawatir.
Mendengarnya, membuat Rubi tidak enak hati. Ia mendadak cemas. Seakan menjadi beban tersendiri bagi Hardi yang sedang menyelesaikan tugas di luar kota.
"Maafkan Rubi ya, Pa. Tak seharusnya Papa pulang hanya karena hal sesepele ini,"
Hardi tak menyangka bila menantunya itu masih saja memedulikan kondisi orang lain di saat keadaannya pun sedang tidak baik-baik saja. Tahu bahwa Rubi adalah gadis baik, semakin membuat Hardi beruntung karena telah menjodohkan perempuan itu dengan putranya.
"Jangan begitu. Papa bisa melanjutkannya besok-besok. Yang terpenting, Papa bisa mengetahui bagaimana kondisi anak menantu Papa,"
Sedangkan Rubi yang merasa diperhatikan semakin terenyuh. Air matanya hampir saja lolos. Bertemu Hardi dan berjodoh dengan Jaya merupakan suatu anugrah bagi Rubi. Ia dapat merasakan kasih sayang seorang ayah hadir kembali dalam jiwanya.
"Jaya. Tolong kamu panggil dokter untuk mengecek keadaan Rubi," interupsi Hardi pada putranya.
Tak lama berselang, seorang pria berseragam serba putih dan seorang suster datang menghampiri kamar Rubi. Sosok yang kerap disapa dengan dokter itu memeriksa kondisi sang pasien. Ia mencatat seuatu di kertas seusai kegiatan tersebut. Selanjutnya, mengajak Jaya dan Hardi berbicara.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien hanya mengalami lebam biasa. Saya sudah menuliskan resep untuk mengurangi rasa ngilu," ucapnya seraya menyerahkan kertas putih yang ia bubuhkan tinta hitam di atasnya.
"Besok pasien juga sudah boleh pulang," lanjutnya kemudian izin pamit pada Jaya dan Hardi.
Rubi tersenyum mendengar penuturan sang dokter. Ia berjanji akan lebih berhati-hati ke depannya. Jangan sampai kehadirannya membuat repot banyak orang. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih pada Jaya dan Hardi yang telah menemaninya selama tidak sadarkan diri.
***
"Sudah tidak ada lagi yang tertinggal, kan?"
Jaya masih sibuk mengemas pakaian Rubi dan memasukkannya ke dalam ransel. Hardi yang bermalam di kamar pasien pun ikut membantu. Pria paruh abad itu menghubungi supir pribadinya untuk menjemput mereka di rumah sakit.
Seusai membereskan administrasi, Jaya memapah istrinya untuk masuk ke dalam mobil. Tampak Hardi dan sang sopir yang sudah menunggu di sana. Walau sempat panik, sebenarnya Jaya bahagia dapat menemani istrinya semalaman. Hitung-hitung sebagai bukti bahwa Jaya memang mencintai Rubi.
Semua orang tersenyum tatkala kendaraan yang mereka tumpangi sukses mendarat di perkarangan rumah. Mbok Ijah pun turut menyambut kepulangan majikannya dari rumah sakit. Hari ini, Rubi dan Jaya akan kembali memulai kehidupan.
"Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk melapor pada Jaya ya, Nak," Hardi memberitahu Rubi.
Ruang tamu menjadi pilihan mereka kali ini. Jaya membiarkan ransel yang mengangkut pakaian Rubi tergeletak di kaki sofa. Ia lebih ingin bersama istrinya daripada mengantar benda bereslteing itu ke kamar. Setidaknya, Rubi tak lagi luput dari pengawasan.
"Sayang. Ngomong-ngomong kenapa kau semalam bisa siuman? Apa kau mendengar suara keributan?"
Rupanya pikiran Jaya kembali berlabuh pada kejadian kemarin. Ia bertanya pada Rubi di tengah obrolan mereka.
"Aku tidak mendengar apa-apa. Memangnya apa yang telah terjadi?" tanya Rubi heran.
Jaya hanya tersenyum membalas pertanyaan istrinya. Mana mungkin dia mengatakan bahwa Anti dan Melani yang membuat keributan. Uh, syukurlah. Jaya dapat bernapas lega. Tak dapat dibayangkan jika Rubi mengetahui bahwa Anti begitu membencinya.
Selepas obrolan mereka, akhirnya Hardi pun pamit pulang. Tak lupa ia menyarankan Rubi untuk banyak beristirahat dan mengonsumsi vitamin. Jaya yang mendapati bahwa Papanya akan pulang, lantas saja meminta izin pada Rubi untuk ikut mengantar orang tua tersebut ke rumah.
Bukan tanpa alasan Jaya melakukan itu. Ia ingin menyelesaikan urusannya dengan Anti. Tidak tega juga kalau membiarkan Mamanya sendiri terluka akibat ulah anaknya.
"Tak apa, Mas. Pergilah. Aku akan ditemani oleh Mbok Ijah," Rubi menarik kedua sudut bibir.
"Terimakasih, Sayang. Mas pergi dulu, ya," tukas Jaya lalu mengecup dahi istrinya.
Sejenak Jaya menimbang-nimbang. Mamanya yang keras kepala itu pasti belum memaafkan kejadian kemarin. Jaya menarik napas dalam. Sanggupkah ia meladeni amarah sang Mama?
***
Bersambung