Download App
2.12% Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 5: Agar Kau Serakah

Chapter 5: Agar Kau Serakah

Kau tau apa yang lucu? Dia … sepupunya Hendri, kedua orangtuanya meninggal dan kebetulan sekali rupanya sejak umur lima tahun Doni diasuh oleh ibu dan ayah dari mantan calon suamiku itu.

Empat tahun bersama, kami merancang sebuah usaha. Lima tahun lalu berdirilah Das Lineal. Sebuah perusahaan yang terfokus pada pembuatan rancangan pembangunan kota. Mulai dari Predisen hingga bangsawan Eropa bisa dibilang mereka adalah pelanggan VIP kami. Kebanyakan yang aku kenal berpangkat Grand Duke, atau Viscount.

Perusahaan kami ini hanya membuat cetak layar biru lantas menjualnya dengan harga jutaan dolar. Jika mereka meminta lebih, biasanya Doni akan menyediakan bahan baku bangunan juga. Itu atas keinginannya karena si sialan itu haus begitu mencintai uang.

Yah, kalau aku mana mau repot-repot.

Karena semua hasil kerjaku akan jatuh ke rekening mama.

"Kamu kan kuliah pakai duit mama. Ya kalau sudah sukses bayar semua hutangmu lah. Jangan jadi anak yang nggak tahu diri!"

Begitulah kalimat yang selalu kudengar dari mamaku itu. Benar-benar sesuatu yang sangat spesial untukku, susah payah bekerja dan hanya 5% saja yang ku dapatkan demi melunasi hutang biaya hidupku selama dua puluh enam tahun. Bahkan terkadang aku hanya mendepat setengah dari biasanya jika mama ingin mengadakan pesta.

Ah, Doni pasti akan tertawa mendengarnya. Karena makan siang saja aku kadang masih minta traktiran padanya. Untung dia tak pernah menolak dan hanya mengumpat saja karena tabungan masa depannya sudah pasti akan berkurang karena menghidupiku.

Cih, menyedihkan sekali sih!

Kusandarkan kepalaku di pinggiran jendela. Tadi sempat aku memkirkan sebuah cara, bagaimana jika aku melompat saja kesana?

Heum, apakah aku akan langsung mati nanti?

Tapi ... kasian Doni. Tsk, kalau saja tak ingat bahwa akulah yang membuatnya kesulitan selama hampir sepuluh tahun belakangan maka sejak tadi tubuhku mungkin sudah terpisah dari raganya. Sayang sekali jika aku mati kedepannya karena ada saham mama pasti akan menyusahkannya juga.

Perlahan tanganku mengusap-usap perut yang masih nampak rata. Ada kehidupan yang belum terlihat. Sosok mungil yang tak pernah aku nantikan, dan dia bukan siapa-siapa.

Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi jika aku benar-benar tak peduli dengannya bukankah sama saja dengan meniru sifat mama? Sedangkan aku membenci mati-matian wanita itu.

Tidak akan aku lakukan, Bung!

Akan kurawat dia, meski bukan karena cinta. Paling tidak tak dia tak perlu membayar hutang karena telah lahir ke dunia ini. Dia akan menjadi anakku, sosok yang mungkin saja akan manis dan lucu. Bisa saja dia cahaya baru dalam hidupku.

"Bee?"

Siang hari dia sudah pulang? tanyaku dalam hati usai mendengar panggilan barusan.

Mencoba tersenyum paksa. Kuangkat kepalaku lantas menoleh ke arahnya, jangan turunkan lengkungan bibir ini dan membuatnya murka lagi. Aku benar-benar tak mau dianggap sebagai kenari.

"Kok pakai Hoodie? Bukannya kemarin siang kamu pamit kerja?" tanyaku kebingungan melihat penampilannya saat ini.

Dia tertawa. Apanya yang lucu, batinku.

"Aku kan pergi sebentar jalan-jalan sama temen. Kamu nggak lupa kebiasaan aku kan? Hey, bee jangan melamun gitu dong," bujuknya atau ... dia sedang mengada-ada lagi?

Kuhembuskan nafas berat lantas mencoba menampilkan senyum manis lagi. Terserah lah, aku bukan gadis manis yang dia cintai jadi percuma bila aku menasehati. Karena Joo tak akan mendengarkannya. Jika Astrid mungkin saja tanpa ragu dia akan mengatakan oke atau iya.

"Oh, udah makan? Mama sama Papa lagi nggak ada, harusnya kamu telepon kalau mau datang biar aku—"

"Bukannya aku biasa keluar masuk kamar kamu? Sejak kapan kita butuh kabar satu sama lain buat masuk ke kamar aja?" Lagi-lagi Joo tak membiarkanku menyelesaikan satu kalimat. Menyedihkan.

Terlepas dari itu, nada tinggi dari ucapannya barusan membuatku merinding.

"Hem," balasku seadanya menutupi rasa gugup yang ada.

Dia melengos lantas merebahkan diri di atas kasur empuk milikku. Ah bukan, itu miliknya juga sekarang.

"Mau mandi, tapi mager. Mandiin dong!"

Sabar, ku tatap dia kesal.

Maunya apa sih?

Kami bukan lagi anak TK. Iya, dulu memang aku dan dia biasa mandi bersama. Namun saat ini bukan kah kata mandi bersama terkesan begitu ambigu?

"Ngada-ngada, mandi sendiri gih! Aku mau salat dulu—"

"Bentar aku mandi jangan duluan, Bee!"

Mengerjap tak paham.

Aku duduk di tepian kasur sambil memikirkan tingkah anehnya barusan. Dia tak berniat jadi imamku bukan?

Selama ini dia selalu malas-malasan saat ku minta untuk salat. Terdengar lucu kalau dia mau jadi imamku kali ini, ah aku jadi ingin tertawa jika namun jujur saja memang itulah keinginanku saat ini.

"Eh, Bee nggak ada shampoo!" teriaknya dari dalam sana.

Sudah aku duga! Kebiasaan lamanya ini tak akan bisa hilang begitu saja.

"Iya-iya sabar!" balasku malas.

Sesuai permintaan darinya. Ku ambil sebotol shampoo, miliknya. Entah sudah sejak kapan aku memiliki kebiasaan menyimpan barang-barang miliknya.

"Ini sham-"

Grep!

Memompa tak berirama jantungku saat aku membuka pintu kamar mandi. Bukannya gegas mengambil shampoo miliknya dia justru menarik tanganku.

Sialan! Showernya masih menyala!

"Joo aku jadi basah, 'kan?!" seruku tak terima.

Masa bodoh dengan tubuh polosnya. Aku malas mandi lagi, argh bocah gila ini!

Pelukan eratnya membuatku susah berkutik. Bukan hanya itu, dia mendorongku hingga membentur dinding.

"Lepas!" erangku.

Bukan kesakitan, dia membuatku merasa panas.

"Mandi ya?" tawarnya dengan senyum licik.

Andai saja, seandainya kami menikah benar-benar atas dasar cinta sudah pasti aku tak akan menolak keinginannya.

"Minggir, Joo!" bentakku.

Raut wajahnya seketika berubah datar. Tanpa bicara dia menunduk, aku kira Joo hendak meninggalkan kecupan namun rupanya dia hanya mengambil shampoo yang tadi dimintanya.

"Sudah kan? Sana pergi, tapi jangan harap kamu bisa kabur lagi lain kali," bisiknya tepat di telingaku.

Tak peduli apa maksudnya. Gegas aku pergi dari sana lantas mengganti bajuku yang basah ini.

Dia keluar lima menit kemudian.

"Udah wudhu?" tanyaku memancing. Barang kali saja dia memang berniat jadi imamku.

"Hem, sajadah buat aku mana?"

Heh?!

Seakan tak lagi ada benda yang lainnya. Tatapan mataku terpusat padanya, pun dengan pikiranku yang terasa buntu.

"Bee, udah jam setengah satu. Kamu harus tidur siang kan, ambil gih," ujarnya santai.

Tak ku sangka. Dia benar-benar melakukannya. Bahkan dia juga memelukku hingga aku berhasil tidur siang tanpa masalah.

Hanya satu hal yang sangat ku sayangkan.

Dia masih saja tergila-gila pada wanita itu. Bukannya selamat tidur bee, tapi dia mengucapkan selamat tidur Astrid.

Boleh aku serakah?

Jika iya, tolong berikan hatinya dan pikirannya juga. Jangan hanya tubuhnya dan pelukan kehangatan yang terasa menyesakkan. Karena aku sepertinya berniat untuk benar-benar menjadi istri paling serakah di dunia ini.

'Maaf, Joo. Namun jika suatu saat kamu meminta pisah aku tak akan melepaskanmu dengan mudah ….'

-Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login