Download App
13.41% ROULLETE / Chapter 22: Jatuhnya Korban

Chapter 22: Jatuhnya Korban

Aku berjalan gontai memasuki markas Roullete. Tidak seperti biasanya, hari ini mereka sangat diam, dan itu Aneh.

Mereka terduduk lemas di kursi dengan raut wajah serius. Entah apa yang membuat suasana jadi setegang ini,

"Tujuan awal Roullete itu untuk melenyapkan BlackStone dan melindungi orang orang yang berharga untuk kita, 'kan? Trus sekarang lo semua suruh gue diem dan gak ngelakuin apa-apa?" ucap Heri sambil menatap lurus ke arah Yogo.

"Gak gitu Her, kita belum cukup kuat buat lawan mereka. Nyerang mereka sekarang, berarti setor nyawa!" Paijo menyahut.

Ada apa? Kenapa sama BlackStone?

"Jadi, lo semua takut ha? Banci lo semua! Roullete sampah!" maki Heri.

"Ada solusi yang lebih baik dari ini Her, kita sabar dulu nunggu info dari Edo!" Yogo berujar pelan.

"Edo? Bener juga! Minta aja dia sama anak-anak organisasi pencak silat dia buat bantuin kita lawan BlackStone! Dengan gitu kita akan sama kuatnya, 'kan?"

Jelas sekali terlihat kesedihan dan amarah dari tatapan mata Heri.

"Gak bisa gitu Her, kita gak bisa gegabah karena ini ngelibatin banyak orang. Nyawa taruhannya. Please lo tenang dulu!"

"Jo, lo nyuruh gue tenang? Lo waras? Adek gue kena begal, brengsek! Dia bahkan nyaris di perkosa! Dia sekarang masuk rumah sakit! Dan lo tahu? Saking takutnya, dia selalu histeris tiap ada cowok yang mendekat! Bahkan dia takut sama gue, abangnya sendiri!"

Oh, tidak! Aku bisa membayangkan betapa terlukanya Heri. Jika seseorang yang kita sayang mengalami hal seburuk itu, kita pasti merasa sangat terluka dan tidak bisa menerimanya.

"Nay! Lo bisa minta temen-temen silat lo itu buat bantuin kita, 'kan?" seru Heri dengan tatapan yang begitu membara.

Ditodong dengan pertanyaan seperti itu, tentu Naya kaget. Permintaan Heri bukan sesuatu yang mudah untuk dikabulkan.

"Her, bukan gue gak mau bantu, tapi gue pikir, ini belum saatnya."

Heri tersenyum miring ke arah Naya.

"Gue gak ngerti, apa sih yang kalian tunggu? Edo? Gimana kalo Edo gagal, hum? Dan saat itu terjadi, mungkin udah banyak korban berjatuhan! Dan bukan gak mungkin kita atau keluarga kita yang jadi korban lagi!"

Mereka semua hanya bisa terdiam mendengar ucapan Heri. Aku, dan mereka tahu, kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi tetap saja ....

"Ntar malem, biar gue sama Paijo diskusiin ini sama Edo, jangan ada yang ambil tindakan tanpa perintah gue!" tegas Yogo.

Heri langsung menghela napas berat seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

***

Aku, Naya, dan Yogo melangkah pelan menghampiri Heri yang terduduk lemah di bangku depan kamar rawat Nadia--adik Heri.

Setahuku, di antara mereka semua, Heri yang paling dewasa dan bijaksana, tapi kini dia berubah menjadi orang yang tempramental.

Mungkin dia belum bisa menerima kondisi Nadia yang jelas tidak dalam keadaan baik.

"Ngapain lo ke sini? Mending lo temuin Edo dan putusin secepatnya. Blackstone bisa berulah lagi kalo kita tetep diem!" ketus Heri.

"Kita ke sini mau jengukin Nadia. Boleh, 'kan?" Naya menyela.

Heri menatap Naya datar, namun akhirnya ia beranjak berdiri dan membukakan pintu untuk kami.

Baru beberapa langkah kami memasuki kamar itu, teriakkan histeris langsung menggelegar memenuhi ruangan.

Nadia histeris dan membabi buta melemparkan semua yang ada di dekatnya kepada Heri dan Yogo.

"Kalian tunggu di luar!" seru Naya setengah berteriak.

Aku pun mendorong tubuh Yogo dan Heri untuk keluar dari kamar. Sekarang aku mengerti kenapa Heri begitu kalut. Kondisi gadis itu benar-benar buruk.

"Nad, ini kakak!" Naya meninggikan suaranya agar Nadia bisa mendengarnya.

Nadia yang masih menangis histeris, menatap Naya nanar.

"Nad, kamu tahu kalau kamu akan selalu aman sama kakak, 'kan?" seru Naya lagi.

Tatapan Nadia mulai melembut, dia berusaha tenang dan menghentikan tangisnya.

"Kak Naya," lirihnya.

Aku dan Naya pun menghampiri Nadia dan memeluknya erat. Dia kembali terisak pelan dan menyembunyikan wajahnya di pundak Naya.

"Aku takut, Kak," lirihnya di sela isakkannya.

"Gak apa-apa, kakak ada di sini. Bang Heri sama Mas Yogo juga ada di luar. Kamu aman Nad, gak ada yang akan berani nyakitin kamu di sini!"

Cukup lama Naya mencoba menenangkan Nadia, hingga akhirnya dia bisa tenang dan tertidur setelah meminum obatnya.

"Kamu lihat, Mel? Karena inilah kami berusaha keras untuk melenyapkan Blackstone! Demi melindungi orang-orang lemah yang bisa saja terluka karena mereka." Naya berujar pelan.

Aku hanya mengangguk, lalu terdiam. Sekarang aku benar-benar menyadarinya, mengapa maslah Blackstone begitu penting untuk Roullete.

Aku dan Naya pun segera keluar untuk menemui Heri dan Yogo.

"Gimana?" tanya Yogo begitu aku menutup pintu.

"Dia berasa liat wajah orang-orang jahat itu tiap kali lihat cowok. Jadinya dia histeris kayak tadi." sahutku lemah.

Heri mengusap-usap kasar wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Aku mendekat dan berdiri tidak jauh darinya. Aku tidak yakin harus mengatakan ini atau tidak, tapi sebelum semua menjadi lebih buruk, kurasa Heri harus tahu.

"Mungkin, ada baiknya kamu bawa adek kamu ke psikolog deh Her," aku mengucapkannya dengan hati-hati.

Baik Heri dan Yogo langsung menatapku lurus-lurus.

"Aku rasa, adek kamu ngalamin gejala PTSD. Dan itu kondisi yang serius."

Yogo terlihat terkejut sementara Heri hanya mengernyit bingung.

"PTSD?" tanya Heri bingung.

Aku mengangguk pelan dan berusaha menjelaskan padanya dengan hati-hati.

"Post Traumatic Stress Disorder, itu gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang enggak menyenangkan, Nadia udah nunjukin beberapa gejalanya Her, dia harus segera dapat penanganan yang tepat atau ..."

"Atau apa?" desak Heri.

Sangat berat untukku mengatakan ini, tapi ....

"Penderita PTSD cenderung punya keinginan atau bahkan ngelakuin sesuatu untuk menyakiti dirinya sendiri, bahkan mungkin juga orang lain." terangku.

Heri menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan mata terpejam. Setetes air matanya mengalir begitu saja.

Aku melirik Naya, dan Yogo yang hanya bisa menunduk pilu.

"Her, lo harus kuat, demi Nadia. Tegakin punggung lo!"

Heri membuka perlahan matanya yang kini berwarna merah dengan genangan air mata di sudut matanya.

"Mel," panggil Heri pelan.

"Hum?"

"Kalo gue bawa dia ke psikolog, apa dia akan baik-baik saja?" Heri menatapku sendu.

Tidak ada yang tahu pasti, bahkan tenaga medis yang profesional sekalipun tidak akan bisa menjamin, hanya si penderitanyalah yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri.

"Mendapat penanganan yang tepat, juga dukungan dari orang-orang terdekat bisa bantu dia buat sembuh kok Her, kita usaha dan doa aja dulu. Dia anak yang baik, Tuhan pasti bantu dia buat sembuh. Kamu harus kuat ya."

***

Sekembalinya kami dari rumah sakit, Paijo membuatkan mie instan untuk kami di markas Roullete.

Paijo, dan Bambang melirikku dengan tatapan penuh tanya saat melihat Yogo yang menunduk dengan helaan napas berat yang terus berulang.

"Go, mie lo bisa ngembang kalo gak buruan lo makan! Gue udah capek-capek loh bikinnya!" seru Paijo memecah keheningan.

"Jo, gue takut!" lirih Yogo.

Reflek kami meletakkan mangkuk mie kami di meja lalu memperhatikan Yogo yang terlihat begitu rapuh.

"Gue takut apa yang di omongin Heri jadi kenyataan. Gimana kalo banyak korban berjatuhan selagi kita nunggu Edo? Kita harus ngelakuin sesuatu!" ucap Yogo lemah.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C22
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login