Bab 21 Permen Kapas
Alira menjerit kencang di dalam kamarnya. Malam hari dan hanya ada Alira di rumah. Kalau saja mamanya sudah pulang, Alira pasti akan dimarahi karena berteriak terlalu kencang.
"Pengin ikut ke Bali," ujar Alira terlihat lesu.
Setelah membaca formulir pendaftaran field study, Alira langsung tergiur saat mengetahui jika destinasi yang akan dituju adalah Bali.
Oke. Katakanlah jika Alira terlalu norak. Tapi, ia memang sangat ingin mengunjungi Bali.
Selain karena Alira belum pernah datang ke Bali, di pulau itu adalah tempat pertama kali mama dan papanya bertemu. Mereka berdua juga menikah di Bali karena dulu bekerja di sana. Namun saat mama hamil, papa pindah kerja ke Jakarta.
"Lima juta dua ratus lima puluh," Alira membaca biaya pendaftaran field study.
Mahal sekali. Bagi Alira uang sebesar itu sangat banyak. Terlebih ia belum gajian. Lagi pula, kenapa Alira baru tau sekarang kalau tujuannya akan ke Bali?
Padahal informasi field study sudah disebarkan dari satu bulan yang lalu. Tapi Alira tidak begitu memperhatikan hal tersebut. Karena field study sifatnya tidak wajib. Alira pikir ia bisa melewati event tersebut dan memilih untuk menabung uangnya.
"Sayang banget kalo ambil uang tabungan," lirih Alira. "Sayang juga kalo nggak ikut."
Kapan lagi Alira bisa sampai ke Bali, selain mengikuti acara yang diselenggarakan oleh sekolah. Alira tidak berasal dari keluarga kaya raya yang akan dengan mudah bepergian kemana pun Alira mau.
"Apa gue minta uang sama Mama aja ya?" tanya Alira pada dirinya sendiri.
Mamanya pasti akan memberikan Alira uang kalau berurusan dengan sekolah. Hanya saja, Alira merasa sungkan untuk meminta uang. Karena ia sudah jarang meminta uang pada mamanya.
"Gue ikut ke Bali, tapi tidurnya nggak usah di hotel. Jadi gue bisa bayar saparuh. Tapi, apa iya dibolehin kayak gitu?"
Alira menggeleng cepat. Sekolah tidak akan mungkin mengijinkan siswanya tidur di dalam bis. Di dalam informasi tadi juga tidak disebutkan jika siswa boleh membayar separuh dengan syarat tidurnya di bis.
"Mikir lama-lama jadi laper ih," Alira tampak menggerutu.
Ia mulai beranjak dari duduknya. Mengenakan jaket, mengambil beberapa uang dari dalam dompet, memasukkan ponsel ke dalam saku jaket dan bergegas keluar dari kamar. Mungkin Alira butuh udara segar untuk mencairkan pikirannya.
***
Seperti malam-malam biasanya, di daerah simpang lima dekat rumah Alira selalu dipenuhi oleh penjual jajanan malam. Ada gorengan, roti bakar, martabak, bakso bakar, bakso kuah, mie ayam, angkringan, burjo, seblak, cilor, milor, telur gulung, wedang ronde, nasi goreng, magelangan, kwetiaw, dan masih banyak lagi.
Banyak pengunjung yang berdatangan untuk memebeli beberapa jajanan tadi. Ada yang baru saja pulang kerja dan ada juga yang sengaja datang dari rumah. Ada yang beli makanan terus di bawa pulang, dan ada yang di makan di tempat. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menikmati jajanan malam.
Tadi saat di rumah Alira sudah makan nasi goreng buatannya sendiri. Memang tidak seenak buatan mamanya. Tapi setidaknya masih aman untuk dimakan manusia.
"Pak Kapas!"
Alira berlari kecil mendekati penjual permen kapas yang baru saja datang. Belum sempat Alira sampai di penjual permen kapas tersebut, sudah banyak anak kecil yang mengerubungi gerobak berisi perman kapas. Alira tersenyum melihat anak-anak yang tampak bahagia setelah mendapatkan jajanan yang sejak tadi ditunggu-tunggu.
Karena banyak yang ingin membeli permen kapas, Alira duduk sejenak di dekat gerobak sambil mengajak bicara anak-anak lain yang sedang mengantri permen kapas juga. Sesekali Alira tersenyum mendengar celotehan mereka. Sangat polos dan menggemaskan.
"Kakak cantik sekali. Pasti sudah punya pacar, ya?" gadis kecil dengan bandana berbentuk kelinci tampak mendekati Alira.
"Kamu lebih cantik daripada kakak," Alira tersenyum manis ke arahnya sambil memperbaiki tatanan rambut gadis kecil tadi.
"Kakak ke sini sama pacar kakak?" tanya gadis kecil.
Alira kembali tersenyum. "Masih kecil jangan ngomongin pacar dulu. Oke?"
"Kakak belum punya pacar, ya?"
Kali ini Alira terkekeh. Bukannya marah, ia justru merasa gemas mendengar pertanyaan tersebut keluar dari mulut gadis kecil yang umurnya mungkin sekitar lima tahun.
"Kakak jadi pacarnya kakak aku aja. Mau, kan?" gadis kecil tampak menggoyang-goyangkan tangan Alira.
"Mau punya kakak yang cantik kayak kakak," imbuhnya.
"Nanti ya, kakak pikir-pikir dulu," jawab Alira masih setia tersenyum.
Gadis kecil tadi mengangguk. Tidak lama setelah itu ia segera pergi setelah mendapatkan permen kapas pesanannya.
"Neng Alira mau beli berapa atuh?" tanya bapak penjual permen kapas.
"Satu aja, Pak. Tapi yang jumbo, ya?" ujar Alira tampak diangguki oleh bapak penjual permen kapas.
Setelah mendapat permen kapas yang diinginkan, Alira mengucapkan terimakasih dan berjalan ke arah gazebo yang terlihat masih kosong.
Alira duduk di salah satu bangku dan terlihat mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Sambil memakan permen kapas, Alira membalas beberapa pesan yang dikirim teman-temannya.
"Hai cantik!"
Alira terlonjak kaget saat mendengar suara lantang yang begitu dekat dengannya. Setelah Alira menoleh, rasa terkejutnya segera berubah menjadi perasaan kesal.
"Rese banget," kata Alira dengan nada kesal.
"Tapi ngangenin. Iya, kan?" tanya Alingga sambil menaikturunkan kedua alisnya.
Alira menggeleng cepat. Alingga lagi Alingga lagi. Tidak ada satu hari pun yang Alira lalui tanpa melihat wajah Alingga.
"Kalo kangen itu ngomong, Al. Jangan diem-diem terus keluar sendirian kayak gini," ujar Alingga dengan kepedean tingkat tinggi.
Tanpa Alira tau, Alingga tiba-tiba menyenderkan kepalanya di atas pundak Alira. Membuat Alira segera berdiri dan berakhir dengan kepala Alingga yang terbentur dengan bangku yang terbuat dari semen.
"Aduh!" ringis Alingga. "Jahat banget lo, Al" maki Alingga kesal.
Tangan Alingga tampak mengusap-usap kepalanya yang terasa nyeri. Melihat apa yang dilakukan Alingga membuat Alira tidak tega. Ia kemudian meletakkan permen kapasnya ke dalam wadah dan mulai membantu Alingga.
"Maaf-maaf. Sini gue bantu," Alira menurunkan tangan Alingga dan beralih mengusap-usap kepala cowok tersebut.
Alingga tersenyum puas melihat tingkah Alira saat ini. Sesekali Alingga mengintip wajah serius Alira yang kini sedang berdiri di hadapannya.
"Masih sakit apa enggak, Al?" tanya Alira.
Sejenak Alira menunggu jawaban dari Alingga, namun ia cowok tersebut belum juga bersuara. Merasa penasaran, Alira menoleh ke bawah. Mendapati Alingga yang sedang asyik bermain game.
"Alingga!" seru Alira kesal.
Alira kembali duduk di tempatnya setelah memberi satu pukulan tepat di atas punggung Alingga.
"Kasar banget."
"Lo duluan yang ngeselin," sahut Alira cepat.
"Ngeselin apanya coba?" tanya Alingga.
"Gatau. Udah nggak mood," Alira tampak memalingkan wajahnya dari Alingga.
Lucu. Batin Alingga dalam hati. Cewek galak seperti Alira terlihat jauh menggemaskan ketika sedang marah seperti ini.
"Ngambek nih ngembek. Entar cepet tua loh. Ya kali lo tiba-tiba tua sebelum punya doi. Ngenes amat," Alingga menoel-noel pipi Alira dengan satu jari tangannya.
"Apaan ih! Gaje banget," Alira menjauhkan tangan Alingga dari pipinya.
"Idihh. Kok pipinya merah gitu? Baper ya kalo deketan sama gue? Iya apa iya?" Alingga terus menggoda Alira.
"Alingga diem deh. Berisik banget tau," ujar Alira menahan emosi.
"Gue kalo laper nggak bisa diam, Al. Suer!" Alingga menunjukkan dua jari tangannya.
"Makan lah. Laper lo nggak bakal ilang kalo cuma ngoceh mulu," sahut Alira.
"Beliin dong," pinta Alingga.
"Ogah," tolak Alira mentah-mentah. "Sadar diri dikit napa. Duit juga banyakan punya lo daripada punya gue."
"Mager mau beli," kata Alingga.
"Dan gue lebih baper kalo disuruh buat beliin makanan buat lo," ujar Alira.
"Sekali-kali baik sama gue lah, Al. Masa lo nggak mau gitu berbagi kebaikan sama gue."
Alira tampak membuang napas kasar. Alingga jika tidak segera ditanggapi akan terus mengoceh tanpa henti. Mau tidak mau Alira harus bertindak sebelum kupingnya kepanasan karena terus mendengar ocehan Alingga.
"Nih," Alira menyodorkan permen kapas miliknya ke hadapan Alingga.
"Berbagi itu nggak harus yang mahal. Seadanya yang penting ikhlas," kata Alira.
Alingga masih diam di tempatnya. Sampai pada hitungan kelima, cowok tersebut tidak menerima permen kapas dari Alira.
"Yaudah kalo nggak mau," Alira kembali menarik permen kapas miliknya dan memakannya.
Alingga tersenyum miring. "Siapa bilang gue nggak mau?"
Alira yang masih menggigit permen kapas di tangannya, menoleh saat mendengar ucapan Alingga. Detik itu juga Alira terkejut karena Alingga tiba-tiba memajukan wajahnya dan ikut menggigit permen kapas milik Alira. Membuat Alira seketika mematung.
Keduanya saling terdiam untuk beberapa saat. Jarak wajah mereka sangat dekat. Hanya dipisahkan oleh permen kapas yang semakin mengempes. Satu senti saja wajah mereka bergerak, keduanya akan saling bersentuhan.
Alingga … kenapa selalu berhasil membuat hati Alira berdebar sangat cepat?
***
16102021 (21.32 WIB)