Pukul tujuh kurang lima belas menit, dan saat ini Lisya sudah selesai dengan persiapan kudapan yang akan dia bawa selanjutnya ke pendopo utama.
Sedangkan Mama sudah pergi duluan ke pendopo untuk membawa nampan berisi satu set teh panas di teko bersama dengan cangkirnya. Lisya juga akhirnya menyusul Mama untuk menaruh kudapan itu ke pendopo utama.
Dilihatnya Mama yang sedang menata satu buah teko besar dengan banyak cangkir mini yang jumlahnya cocok untuk semua anggota keluarga tetua berserta Lisya.
Rupanya di vila penginapan ini, juga banyak disediakan perabotan yang berguna. Salah satunya teko dan cangkir-cangkir mungil itu. Lisya pun tidak tinggal diam, dia pun membantu Mama menata beberapa piring berisi kudapan. Yang ditatanya rapih di meja tengah yang dikelilingi oleh banyak sofa.
Karena sebentar lagi, semua akan berkumpul di tempat itu. Mama pun bertanya kepada anak sulung perempuannya ini. Apakah Lisya sudah siap untuk diajak bicara mengenai keperuntungan akan nasibnya yang punya masalah dengan Vanka.
Lisya yang hampir saja melangkah keluar dari pendopo untuk mengembalikan nampan itu, dicegah Mama yang ingin bertanya akan kesiapannya untuk ikut dengan diskusi kali ini.
"Nak, kamu sudah siapkan mental kamu buat diajak diskusi nanti sama Mama, Papa dan banyak anggota berumur lainnya? Sebentar lagi, kita semua akan berkumpul di sini. Dan kamu harus menyiapkan diri kamu dulu ya," ucap Mama sambil melihat bagaimana air wajah Lisya saat ini yang terlihat bijak. Yang berarti Lisya sudah menyiapkan mentalnya itu.
"Lisya sudah siap kok, Mah. Cuman, Lisya nggak mau aja dengerin keputusan yang akan diambil nantinya. Mama tau kan Lisya tadinya sempat rewel. Kalau ternyata Mama tadi bilang buat keputusan sementaranya. Biarin Vanka sampai semua keadaan terbalik yang dimana itu memakan waktu lama. Dan itu Lisya nggak suka sama keputusan seperti itu," tutur Lisya yang sesaat menyiratkan jika dia tidak setuju dengan keputusan sementara dimana Vanka akan dibiarkan saja, tanpa dia diberi tau kalau harus cepat mengalah demi Kakaknya.
Yang mungkin saja keputusan itu diambil karena semuanya masih belum siap untuk berbicara ke Vanka, jadi mau tidak mau Lisya harus yang siap duluan jika semua juga mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang dia mau.
"Mama minta maaf kalau tadinya nyuruh kamu setuju kalau masalah akan selesai dengan pelan-pelan. Hmm, menurut Mama lebih baik nanti kita selesaikan gimana keputusan akhir dan buat kedepannya juga," kata Mama yang kemudian mulai berkata ke Lisya jika Bude-bude dan Tante juga Pakde dan Om sudah terlihat jalan menghampiri pendopo utama.
"Lisya, sepertinya semuanya sudah hampir sampai ke sini. Kayaknya nampannya kita taruh aja di atas meja saja. Karena kita cuman punya waktu satu jam diskusi sebelum makan malam mulai," kata Mama terakhir, sebelum akhirnya semuanya pun sudah masuk ke dalam ruang pendopo utama ini.
Semuanya pun langsung saja ambil tempat duduk setelah mereka menyapa Lisya satu persatu. Dan saat Lisya juga sudah ambil posisi duduk di salah satu kursi kayu lipat yang tersisa di sana. Akhirnya perbincangan pun dimulai. Diawali oleh Lisya yang menawarkan kudapan untuk banyak anggota keluarga tetuanya.
"Bude, Pakde, Om, Tante. Sebelum kita bicara masalah aku sama Vanka, ada kue yang bisa diambil. Tadi Mama sama Lisya sudah siapin juga," kata Lisya menawarkan kue-kue agar suasana menjadi tenang dan menghindar dari ketegangan.
"Kok ya susah-susah siapin kue, nggak minta tolong ke Bude Lisya. Bude mau ambil nanti saat waktu makan malam saja. Karena kita hanya diberi waktu satu jam, mungkin kita bisa langsung mulai diskusinya. Bude mau tanya ke Lisya sekarang. Karena kamu yang punya masalah ini, perasaan kamu gimana? Apa yang kamu mau bicarakan tentang Vanka juga?" Menolak untuk mengambil suguhan yang disediakan Lisya dan Mama, Bude Wuni akhirnya membuka percakapan yang membahas tentang masalah keponakannya.
"Oh, Bude mau langsung diskusi ya? Gimana ya Bude? Lisya sebenarnya berharap banyak dari beberapa hari silam, pas Mama ajak aku sama Syika diam-diam kasih tau Vanka. Lisya nggak mau menyusahkan semuanya. Tapi, kayaknya memang harus cari cara buat kasih klarifikasi lebih ke Vanka. Kalau perasaan Lisya sendiri, Lisya masih bimbang. Karena Lisya nggak punya keputusan sama kayak hasil keputusan semua yang Mama kasih tau ke Lisya barusan," Karena Lisya tidak ingin betele-tele, dia pun menjelaskan langsung jika dia tidak sama keputusannya dengan semua pihak.
"Begitu, tho. Kalau Tante sebenarnya tau gimana perasaan kamu Lisya. Jadi Tante, sebagai perwakilan semua yang ada di sini juga mau minta maaf ya sudah buat kesalahan besar. Karena keegoisan semua pihak, kita memutuskan untuk juga menghadirkan Vanka di keluarga ini. Kalau Tante rasa keputusan kita memang susah. Iya. Tapi, Tante berpikir kalau kita tidak mengambil cara yang terlalu cepat, Vanka lebih bisa matang untuk menerimanya. Bude rasa, dia masih belum cukup umur untuk mengetahui semuanya. Bagaimana menurut kamu, Lisya?" ujar Tante Sita secara lengkap mengemukakan pendapatnya ke diskusi ini.
Pendapat tante sebenarnya sudah pasti, tapi sesaat Tante melihat raut muka Lisya yang merasa terbebani itu. Tante pun menyerahkan semuanya ke beberapa yang lainnya di pendopo utama ini.
"Nggak gitu tante. Lisya sebenarnya lelah harus nggak kasih tau Vanka tentang ini semuanya. Tapi, kalau semuanya setuju seperti itu. Ya, Lisya harus nurut juga. Lisya nggak bisa juga kasih tau ke Vanka apa hubungannya dia dan Lisya punya masalah yang buat kehadiran dia di keluarga ini cuman hanya keperluan politik aja. Dan Vanka itu ngelelahin aja buat Lisya. Lisya nggak suka harus jujur ke Vanka atau cerita masalah ini secara langsung. Lisya berharap ada cara lainnya aja. Biar Vanka nggak usah ikut sama semuanya yang Lisya suka," ujar Lisya, yang dia sendiri merasa semuanya kelewatan jika masih harus tanya ke dirinya mengenai semua perasaannya ke Adek yang dia tidak sukai hanya karena dia selalu merasa terganggu dengan Vanka.
Keadaan menjadi hening. Semua yang ada di sana sudah mendengar apabila Lisya sudah buka-bukaan jika dia tidak suka dengan kehadiran Vanka di keluarganya ini.
Tapi, bagi beberapa keluarga lainnya masih merundinginya. Apa yang Lisya maksud dari diri Vanka. Yang tidak disukainya. Sebenarnya, Bude Inn tidak ingin bertanya, melainkan dia masih harus menerima klarifikasi bagaimana perasaan Lisya. Dan semuanya pastinya juga ingin mendengar itu dari Lisya.
"Bude tau kalau privasimu diganggu Vanka, Lisya. Memang melihat orang lain mendapat apa yang kamu juga termasuk suka dengannya, akan membuat siapa saja merasa iri. Tapi apa yang kamu irikan dari Vanka? Sepertinya dia tidak punya apa-apa dari kamu yang selalu mendapat hati di keluarga ini. Bagaimana mungkin kalau keluarga ini juga sebenarnya tidak bisa menerima satu pun kelebihan yang Vanka miliki. Kita tidak terima dengan apa yang akan Vanka banggakan kedepannya," suara Bude Inn yang memang jujur dengan perasaannya itu, tapi Lisya mengerti dia bisa membedakan mana yang suara bersama berdasarkan keperluan untuknya atau keperluan perasaan masing-masing orang di saja.
"Bagus kalau Bude tidak suka dengan Vanka. Tapi kenapa menurut Lisya, Bude menyatakan perasaan Bude, bukannya mau mendukung Lisya? Lisya juga perlu didukung, Bude. Bukan hanya perasaan Bude yang tidak suka dengan Vanka. Mengenai privasi, Lisya mengiyakan perkataan Bude. Tapi, Lisya sudah malas mengatakan bagaimana dengan nasib Lisya kedepannya. Lisya mengira semua akan menyuruh Lisya menunggu. Tapi, setidaknya Lisya juga mulai mempertimbangkan, kalau akan lebih baik Lisya menjauhi penyelesaian yang mengarah ke kebahagiaan Lisya," kata Lisya sembrono dengan ucapannya karena dia lelah hanya dengan mendengar jika Vanka dibenci karena anggota keluarganya memang punya gengsi besar sudah menyalahkan Vanka.
"Apa kamu marah, nak? Maafin semua yang sudah menyela masalah ini tanpa disaring dulu. Oke, Mama tau perasaan kamu. Kalau misalkan kamu malas menunggu. Kamu bisa kapanpun saja berbicara dengan mama. Nanti kita akan cari cara supaya kita bisa menarik emosi Vanka. Setidaknya Mama tidak memperbolehkan kamu untuk bicara langssung ke Vanka. Tapi, untuk urusan selesainya masalah. Mama dan semua keluarga sendiri yang akan menentukannya," kata Mama meluruskan semuanya agar suasana hati Lisya bisa baik setelah Mama tau jika anaknya tau apa sebenarnya yang dirasakan oleh seluruh keluarganya.
"Tapi, Mah. Apa rencana yang Mama sama semua keluarga ambil agar Vanka secepatnya bisa mengerti mengenai kedok keberadaannya di keluarga ini? Kenapa semuanya lagi-lagi nggak memikirkan kembali keadaan Lisya? Vanka hanya dilahirkan karena kita punya satu pinta terakhir darinya untuk dikabulkan. Kalau semuanya setuju mengundang Vanka agar dia yang bisa melihat siapa sebenarnya musuhnya. Tanpa semua sadar jika Vanka sudah kelewatan dengan ini semua," ujar Lisya saat itu dia mulai menaikkan nada suaranya itu.
Pastinya dia kesal dengan ucapan Bude-bude dan Tante nya yang sejak awal tidak menanyakan apa yang diinginkan Lisya dengan penyelesaian masalahnya dengan Vanka.
Karena Bude dan Tantenya malah memutuskan dirinya agar dia menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Vanka, dimana dia harus menunggu lama.
Lisya pun juga tidak terima jika dia mengira semua anggota keluarganya itu ternyata membenci Vanka, bukan karena mereka peduli dengan Lisya.
"Rencana kita semua ke Vanka cukup jahat, nak. Kita semua memang ada maksud untuk memutar balikkan keadaan jika Vanka yang nantinya akan kesal dengan keberadaan masalah yang tidak akan pernah dia tau dari siapapun itu. Dan pihak keluarga juga tidak menganggap keberadaan Vanka benar-benar nyata di keluarga ini. Sepertinya dia akan merasa stress jika lama-kelamaan jika kamu bisa membuktikan ke dia siapa sebenarnya kamu dengan keberadaan kamu dengan cara yang halus tapi memiliki titik nilai yang membuat Vanka jengkel. Jadi, kita akan membiarkan Vanka saja. Untuk dia merasa sebal di akhirnya" kini Papa kemudian mengatakan bagaimana semuanya sudah berkeputusan tadi siangnya itu.
Setelah membicarakan mengenai keputusan yang diambil keluarga berumur ini, maka Papa pun mulai menyetarakan kembali suasana di sana dengan berinisiatif mengambil teh hangat dan kudapan kue yang ada di tengah sofa pada atas meja. Setelah semuanya mulai juga mengikuti apa yang sedang Papa lakukan itu, kemudian Lisya pun mengatakan sesuatu.
"Apa benar Papa dan Mama sudah tepat jika tidak akan memberi kabar ke Vanka beberapa hari kedepannya? Lisya akan kecewa dengan keputusan semuanya kali ini. Tapi setidaknya Lisya akan berusaha mengetahui apakah Mama dan Papa benar mengerahkan banyak hal agar Vanka yang membenci Lisya. Lisya lelah. Kalau sehari-hari masih menyembunyikan perasaan ke Vanka. Lisya akan memutuskan untuk mengikuti akademi penyanyi nanti pertengahan bulan tahun 2008 mendatang.
Setidaknya itu adalah hiburan buat Lisya. Dan karena Mama, Papa tidak bisa mengabulkan permintaan paling diharapin, Lisya mau Mama dan Papa bantu Lisya untuk mengurus semuanya dengan akademi penyanyi itu, Apa Papa dan Mama tidak keberatan?" pinta Lisya yang akhirnya mengetok palu sementara jika dia meminta satu syarat agar Papa dan Mamanya mau memasukkan dia bersama dengan Adimas, lelaki sahabatnya ke akademi penyanyi yang sudah menjadi langgananya di sekolah dasar.
Mama dan Papa saling tatap, menatap. Mereka berdua tau jika itu adalah keputusan terakhir yang bisa membuat Lisya akhirnya bahagia dan juga tidak lagi kepikiran ataupun emosi saat dirinya masih harus menerima Vanka. Tetapi, sayangnya. Mama dan Papa tau siapa lelaki yang diajak Lisya itu.
Dia bernama Adimas. Seorang lelaki yang adalah teman atau anak dari teman berbisnis Ayahnya. Dan Adimas, sendiri sudah dekat dengan Lisya, semenjak tujuh tahun yang lalu.
Karena mereka masih tidak ingin menimbulkan masalah jika Lisya malah benar-benar bergantung dengan Adimas. Yang ditakutkan adalah karena Mama dan Papa tidak ingin Lisya mengerti apa yang sebenarnya dirahasiakan dari keluarga mereka terhadap keberadaan Adimas itu.
Mereka berdua pun akhirnya bertatapan dan saling bisa menukar informasi hanya dari lirikan mata mereka satu sama lainnya. Dan akhirnya karena sekali lagi keegoisan keluarga Natawijaya, Lisya harus mengalah dengan memikirkan Adimas dan juga apa yang akan terjadi kedepannya.
"Kalau itu yang kamu inginkan dan bisa membuat kamu senang. Papa dan Mama tidak ada pilihan lainnya. Jadi, setelah liburan selesai sepertinya Mama dan Papa akan mengurusnya," ujar kedua orang tua Lisya dengan bergantian memperbolehkan keinginan Lisya.
Namun, kecemasan lainnya menerpa keduanya di saat yang bersamaan. Sebenarnya jika bisa memilih, Papa dan Mama akan tidak memperbolehkan Lisya mengenalkan Adimas ke Vanka. Di saat mereka masih ragu, apakah Vanka di kemudian hari akan mengenal Adimas. Jika saja Lisya tiba-tiba menerka tentang Adimas, menyerah dan ingin mengenalkannya ke Vanka.
Keduanya hanya belum memastikan apakah Lisya bisa menerima kabar dari politik yang sebenarnya dari keberadaan Vanka.