Ruri sengaja menyandarkan meja ke arah dinding, lalu berjalan tenang mendekati tempat sampah sembari membawa tumpukan kain di tangannya. Berjalan tenang, seakan tengah melakukan tugasnya. Cara ini berhasil, satpam itu terkecoh dan ia tak lagi memperdulikan Ruri. Sedangkan Sesilia berhasil merangkak keluar dari meja dan berjalan sambil menunduk dari balik pepohonan. Diikuti Ruri dari arah belakang.
"Apa yang kau lakukan? Kau masih butuh diinfus!" seru Ruri dengan mata membulat.
"Bodoh! Kita akan ketahuan. Mana mungkin pasien pulang dari rumah sakit dengan infus di tangannya," jelas Sesilia tak kalah berang.
"Kau bisa menyembunyikannya. Begini," ucap Ruri. Ia membantu menyembunyikan botol infus dan selangnya ke dalam baju. Tak lupa menyelimuti tubuh Sesilia dengan jaket milik Ayah yang sempat diberikan kepada Ruri. Lalu keduanya berjalan dengan tenang keluar rumah sakit.
"Kau mau buat aku seperti wanita yang sedang hamil?" tanya Sesilia. Kesal, Sesilia hanya bisa mendengkus sembari berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Genggam tanganku dan jalanlah yang tenang. Kalau kamu enggak mau ketahuan!" pinta Ruri.
Seakan telah biasa melakukannya, Ruri lebih dulu menggenggam tangan Sesilia. Wajahnya terlihat tenang dan itu semakin membuat Sesilia curiga. Tak henti-hentinya Sesilia menatap penuh tanya ke arah pemuda tampan yang ada di sebelahnya.
"Aku pikir kau cupu, taunya kau suhu. Sial, kenapa justru jantungku yang jadi enggak karuan sih," gerutu Sesilia.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sesilia. Ia sama sekali tak mampu menebak isi kepala Ruri.
"Menunggu bus, menurutmu?" tanya Ruri santai.
"Kita bisa jalan kaki Ruri. Ayolah! Aku hanya banyak pikiran, bukan wanita tua."
Tak sedikitpun Ruri memperdulikan ucapan Sesilia. Ia malah dengan sengaja menggenggam tangan Sesilia kian erat agar wanita lincah itu tak kembali kabur. Berulang kali Sesilia mencoba melepas genggaman tangan Ruri, namun tak berhasil. Malah tindakannya ini membuat banyak pasang mata melirik ke arahnya. Ada yang tersenyum, ada pula yang menggeleng. Mungkin banyak diantara mereka yang mengira bahwa Ruri dan Sesilia adalah sepasang kekasih yang saat ini tengah bertengkar karena status kehamilan.
Sesilia pasrah dan ia pun memutuskan untuk tenang mengikuti semua rencana Ruri. Ia tak ingin dicap wanita nakal oleh penjung lain. Karena tak hanya sikap dan tatapannya yang kasar, gaya pakaiannya yang begitu tomboy pun menjadi pusat perhatian mereka.
Bus melaju, namun Ruri masih saja terus menggenggam tangan Sesilia. Meskipun Sesilia berkata, "Lepaskan, aku enggak akan kabur!" namun, tetap saja Ruri enggan melepasnya meskipun kini tak lagi menggenggam dengan erat.
Mobil melaju tenang. Ada banyak anak muda di dalamnya. Tak sedikit dari mereka yang pergi bersama pasangannya. Namun, tetap saja semua mata memandang ke arah Ruri dan Sesilia. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Namun, yang pasti penampilan keduanya cukup membuat mata penumpang lainnya merasa risih.
Sesungguhnya saat ini Sesilia merasa begitu senang, karena sudah terlalu lama tak mengendarai bus. Ia lebih memilih berjalan kaki atau meminjam sepeda saat bepergian. Semua ini ia lakukan demi menghemat biaya. Sadar akan keadaan hidupnya saat ini, Sesilia tak ingin merepotkan banyak orang. Terutama untuk pria yang ia panggil Ayah. Baginya bisa hidup dengan tempat tinggal yang layak sudah anugerah, apalagi ia kini juga memiliki keluarga yang begitu perduli dan menyayanginya.
Tanpa sadar air mata Sesilia menetes perlahan. Kenangan terakhir saat pergi bersama kakaknya menggunakan bus pun kembali teringat. Rindu, Sesilia merasa yakin bahwa kakaknya masih hidup hingga saat ini.
"Kak, aku pasti akan segera menemukanmu. Aku mohon bertahanlah!" bisik Sesilia diserta hembusan berat dari mulutnya.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Ruri. Tangannya menyeka lembut air mata Sesilia.
"Singkirkan tanganmu!" seru Sesilia. Namun, ia tidak benar-benar marah. Meski tengah sedih dalam kerinduan, bibirnya menunjukkan senyuman. Mungkin perlakuan Ruri membuat hatinya bahagia.
Bus berhenti tepat di ujung tol, membuat Ruri dan Sesilia tak perlu berjalan jauh untuk tiba di rumah.
"Tak kusangka, ternyata kau punya banyak uang," ucap Sesilia yang mendadak merasa ditipu oleh Ruri setelah ia melihat beberapa lembar uang ratusan ribu yang keluar dari saku celananya.
"Ini bukan uangku. Maksudku, ini uang pemberian suster yang merawatku. Ini uang pribadinya. Dia hanya berniat baik ingin membantuku. Aku pikir ini karena dia merasa kasihan padaku," jelas Ruri dengan wajah cemas.
"Boleh aku tebak? Dia wanita yang cantik dan lembut. Dia perhatian. Dia mendengarkan ceritamu. Dia perduli padamu. Dia membantu mengobatimu di sana. Dia segera datang saat kamu mengerang kesakitan. Iya?" tanya Sesilia penuh kemarahan. Wajah jutek terlihat, Sesilia tak henti-hentinya menatap tajam seakan hendak menerkam.
"Iya!" jawab Ruri dengan lugunya.
"Pergi sana! Ngapain masih di sini?" teriak Sesilia. Ia pun memutuskan untuk melangkah lebih cepat dan meninggalkan Ruri yang masih terdiam bingung.
"Dia kenapa?" gumam Ruri yang hanya bisa menatapi punggung Sesilia.
"Plak!" sebuah tepukan mendarat di pundak kanan Ruri. Membuat ia tersadar dari lamunannya. "Ayah?" serunya kaget melihat keberadaan pria berkulit hitam.
"Apa kalian bertengkar?" tanya pria itu yang kini turut memandangi punggung Sesilia.
"Aku enggak yakin. Tapi yang pastinya ia tiba-tiba marah!" ucap Ruri, masih dengan wajah polosnya.
"Begitulah wanita, sangat sulit untuk dimengerti. Mereka suka tiba-tiba marah tanpa tau sebabnya. Ayo kita pulang! Aku lelah karena harus berjalan jauh," ucap pria itu setelah menepuk kembali pundak Ruri.
"Oh ya, bagaimana dengan rumah sakitnya?" tanya Ruri seketika tersadar.
"Aku pikir Sesilia sudah mengatakannya padamu."
Ruri hanya menggeleng bingung, melihat senyum lebar dan kedipan mata kanan di wajahnya.
"Ya Tuhan ... keluarga seperti apa mereka? Apa aku yakin ingin bergabung menjadi anggota keluarga mereka?" bisik Ruri diikuti wajah cemas.
Mereka telah tiba di rumah. Ayah lebih dulu mempersilakan Ruri masuk, sedangkan ia harus mengambil sesuatu terlebih dahulu. Ruri menurut, pintu dibuka dan tiba-tiba sebuah anak panah melesat nyaris melukai wajahnya jika saja ia tidak mengelak dengan cepat.
"Apa itu!" seru Ruri sambil terus membelai dadanya. Wajah kaget Ruri menyebabkan seisi rumah tertawa. Tak terkecuali Sesilia. Ia begitu senang melihat penderitaan Ruri. Sepertinya ia sengaja merencanakan ini untuk mencandai Ruri.
"Bagus kawan, alat barumu bekerja dengan baik!" ucap Sesilia. Ia terus saja tertawa puas melihat tubuh Ruri yang masih mematung di depan pintu.
"Apa Dino menciptakan alat baru lagi?" tanya Ayah yang kini berdiri di belakang Ruri dengan sebuah kardus besar di tangannya.
"Dino? Alat?" tanya Ruri bingung. Tak lupa ia menyingkirkan tubuhnya agar ayah bisa masuk ke dalam rumah.
"Yah, dia mekanik kecil yang andal. Sudah ada banyak alat yang ia ciptakan dan banyak yang berfungsi normal," jelas Ayah dengan nada bangga.
"Apa itu Yah?" tanya Sesilia dan Dino. Mereka begitu asik mengerubungi kardus bawaan ayah. Hanya Ruri seorang diri yang masih tak menyangka akan apa yang ia dengar. Terlebih setelah ia melihat panah besi yang kini tertancap di dinding rumah. Panah kecil berukuran kecil itu terbuat dari besi dan bisa saja melukai dirinya jika terkena. Berujung runcing terbuat dari emas hingga membuat bolong sebuah batu. Tak tahu apa jadinya jika benda itu menancap di pipinya.
"Hei! Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu!" seru Ayah kepada Ruri.