Lita datang ke ruangan Ruri sambil menyerahkan kaus lengan panjang polos bewarna merah marun dan celana lea yang sobek bagian dengkul kanannya, serta dompet kulit tempat dimana KTP Ruri berada.
"Hanya ini?" tanya Ruri seakan tak percaya.
"Yah! Hanya itu. Saya tidak memeriksa lebih dalam. Hanya mengambil dari loker dan menyerahkan kembali padamu," jelas Lita yang kini duduk di bibir ranjang bersebelahan dengan Ruri.
"Apa kamu akan pergi sekarang?" tanya Lita seakan menunjukkan raut kesedihan.
"Yah. Aku sudah tidak sabar ingin keluar dari sini," jawab Ruri dengan penuh semangat. Tatapannya berbinar dengan senyum yang terkembang.
"Kemana tujuanmu?" tanya Lita meragu.
"Alamat yang ada di KTP-ku. Lalu bertanya kepada orang sekitar. Kenapa wajahmu terlihat tidak yakin?"
Lita menggeleng diikuti senyuman yang sangat tipis.
"Ambillah! Mungkin kamu perlu ini untuk bepergian keluar sana," ungkap Lita seraya menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Hei!" Ruri terlihat hendak menolak, namun segera Lita tepis.
"Tidak mengapa, ambil saja. Tapi berjanjilah untuk kembali menghubungiku dan mengganti semua pemberianku setelah kamu menemukan keluargamu," ungkap Lita dengan mata yang berkaca-kaca, ia begitu bersedih dan terlihat sulit menahan air matanya. Ia terpaksa memalingkan wajah agar tak diketahui Ruri.
"Terima kasih, aku janji akan kembali menemuimu," ucapnya yang kemudian memasuki kamar mandi untuk berganti pakaian. Sedangkan Lita masih merunduk berusaha menyembunyikan kesedihannya, sepertinya rasa cinta mulai tumbuh dihatinya, hingga merasa sangat takut kehilangan sosok Ruri dari hidupnya.
"Aku merasa jadi orang yang berbeda setelah berganti pakaian," ungkap Ruri sembari memperhatikan baju miliknya. Tersenyum riang, tanpa tahu apa yang Lita rasakan.
***
"Baiklah! Pertama-tama aku akan mengunjungi alamat sesuai KTP-ku," ungkapnya sembari berjalan menuju alamat yang tertulis.
Terlihat ada banyak rumah kecil di sepanjang jalan. Lorong sempit dan pohon yang tinggi. Rumah-rumah itu terlihat sepi seakan tak berpenghuni. Hingga membuat Rurib kesulitan untuk menanyakan alamat yang ia tuju.
Seseo terlihat berjalan mengikuti Ruri dari arah belakang. Ruri yang mulanya terlihat santai, kini merasa diikuti. Perlahan ia melambatkan langkahnya, lalu ia menoleh ke belakang, namun tak ada seorang pun di sana. Ruri kembali melanjutkan langkahnya, berharap bertemu dengan seseorang untuk ia tanyai. Namun, hanya anjing peliharaan yang ia temui. Dengan rasa percaya diri, Ruri mendekati rumah dan "Guk, guk, guk!" teriakan anjing penjaga pun menyambutnya. Terpaksa ia memundurkan beberapa langkahnya, lalu mencari cara agar bisa mendekati pintu masuk.
Beberapa cara telah Ruri coba, mulai dengan melempar kayu untuk mengalihkan anjing penjaga, hingga memanjat pagar. Namun, semua itu tak lantas bisa membawanya menuju pintu masuk. Malah pemilih rumah dengan sengaja mengeluarkan anjing lainnya guna mengejar Ruri. Membuat Ruri ketakutan dan berlari kencang. Kesehatannya yang belum pulih, membuat Ruri terjatuh di tengah jalan. Meringis, namun tak ada seorang pun yang membantunya.
Seseorang berjalan menggunakan sepeda melintas melewati Ruri begitu saja. Bahkan ia dengan sengaja berpura-pura tak melihat keberadaan Ruri yang masih terduduk di pinggir jalan.
"Hei! Hei!" teriak Ruri yang memaksa diri untuk bangkit guna mengejar si pengguna sepeda.
"Apa kau berbicara denganku?" tanya pria tua itu dengan senyum tanpa arti.
"Ya, bisakah kamu menunjukkan alamat ini?" tanya Ruri seraya menunjukkan sobekan kertas berisi alamatnya.
"Alamat ini? Apa kau tak salah menuliskannya?" tanya Pria itu kembali, kali ini ia dengan sengaja mendekatkan tulisan itu ke arah matanya.
"Tidak, tidak ada yang salah."
"Ini pasti salah! Kau pasti salah menulis alamatnya," ungkap pria itu sambil mengembalikan sobekan kertas.
"Tidak, kau hanya perlu menunjukkan alamatnya."
Pria itu menggeleng seakan menolak, ia membuang jauh pandangannya menghindari wajah Ruri yang terus memohon.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Ruri dengan nada memaksa. Ia sangat kecewa, setelah jauh berjalan tak menemukan seseorang, kini bertemu namun tak memperoleh jawaban.
"Ti, tidak. Tidak ada apa-apa," jawab pria itu dengan nada dan wajah takut. Tubuhnya bergetar dan terlihat menjauhkan diri dari Ruri.
"Ayolah!" paksa Ruri dengan wajah memohon.
Pria itu dengan segera mengarahkan Ruri, lalu pergi dengan cepat mengayuh sepeda tuanya. Ruri hanya bisa menatap bingung sambil melihat sekitaran. Sekilas ia menemukan seseorang yang bersembunyi di salah satu pohon yang berada di belakangnya. Namun, ia tak yakin karena tak ada seorang pun yang sempat ia lihat setelah melewati jalan kecil ini.
Ruri kembali melanjutkan langkahnya, ia terus menatap sekitaran berharap bisa merangsang ingatannya. Namun, tidak ada hasil. Kakinya terus bergerak, berbelok mengikuti anjuran pria yang ia temui. Cukup jauh dan harus melewati lorong sempit, hingga akhirnya ia sampai pada sebuah rumah dengan nomor yang sesuai dengan alamatnya.
Rumah besar dan kotor, terbuat dari kayu dengan seng yang bolong. Beberapa daun jendelanya terlihat pecah dan nyaris terbuka sendiri. Masih menaruh rasa penasaran, Ruri mendekati rumah itu dan melihat dari jendela. Rumah itu benar-benar tak berpenghuni lama. Sangat berdebu, bahkan begitu tebal debunya seakan menjadi penutup dari benda-benda yang ada di dalam sana.
Wajah Ruri terlihat bingung, dahinya mengernyit, jauh di dalam hatinya ia bergumam, "Apa aku ditipu?" gerutunya seakan tak percaya akan rumah yang telah ia kunjungi.
Kecewa, Ruri memutuskan duduk di teras rumah dan kembali membuka isi dompetnya. Ia hanya menemukan KTP dan beberapa lembar uang yang sempat Lita berikan padanya. Bingung, Ruri hendak menyerah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hanya alamat ini yang ia punya, jika ini buntu, maka tak akan ada lagi jalan untuknya mengingat ingatannya yang hilang.
"Cling!"
Suara sesuatu yang jatuh terdengar. Ruri segera melihat ke arah bawah dan benar saja, kunci kecil terjatuh dari sela yang ada di dalam dompetnya.
"Kunci apa ini?" gumamnya yang seketika mengingat bahwa ia tengah berada di rumahnya. "Apa ini kunci rumah?
Tak banyak berpikir, Ruri segera bangkit dan mencoba membuka pintu rumahnya. Namun, gagal. Itu bukan kunci rumah ini. Meski ukurannya terlihat sama dengan gembok yang tergantung, namun kunci itu tak berhasil membukanya.
Ruri yang kesal pun menendang kuat batuk kecil yang ada di hadapannya. Membuat ia terjatuh dan terduduk di atas lantai.
"Aduh! Sialan!" gerutunya sambil menggosok-gosok bokongnya. Seketika ia tersadar, ada sesuatu yang mengganjal di saku belakang celananya.
Kesulitan, Ruri terpaksa berdiri agar bisa mengeluarkan kertas yang tersimpan di sakunya.
"Apa ini?" tanyanya setelah melihat kartu kecil berukuran seperti kartu nama.
"Selamat datang Mr.P?" tulisan yang tertera di kartu itu membuat Ruri bingung. Lalu dengan segera ia membalikkan kartu yang ada, tertulis jelas kalimat aneh di sana, "M4ju m3langkah, d1am un7uk menan9".
"Apa maksudnya ini?" tanya Ruri yang kembali merasa menemukan titik terang akan ingatannya yang hilang.