Download App
5.22% School of Persona / Chapter 14: Letter of Acceptance

Chapter 14: Letter of Acceptance

Dhaiva berlari-larian menujubegitu mendengar bel berbunyi dan menjadi yang paling dekat dengan pintu utama. Sore itu beberapa orang berkumpul di ruang tengah untuk sekedar hiburan, dengan Dhaiva yang menyumbang beberapa lagu. Lalu entah siapa gerangan yang tumben-tumbenan bertamu di waktu liburan seperti ini. Kalau tidak libur, wajar saja SP selalu ramai dikunjungi tamu-tamu para penghuninya.

"Eh? Bang Deni? Kok tumben dateng gak bilang-bilang?" Dhaiva menyapa ramah sang tamu di depan pintu; Deni Maliki Saputra. Alumni SP yang kini berkuliah di Institut Pertanian Bogor. Satu-satunya alumni yang masih sering berkunjung ke asrama disela kesibukannya.

"Kebetulan lewat Va. Mampir deh. Mana yang lain?" tanyanya kemudian, mengekori Dhaiva sampai ruang tengah, "Bang Deni guys!"

"Weee! Abaang!" Leon seperti biasa, menjadi yang paling heboh.

"Hai hai hai hai para fans. Lagi ngapain sih?" tanyanya. Mahasiswa bergaya khas teknik itu lantas duduk disamping Nalesha yang tengah membaca buku. Bukan tak peduli, yang penting tadi sudah menyapa dan mengajak tos Deni yang baru datang.

"Refreshing Bang, menjelang kembali ke sekolah dan stress lagi," jawab Abidin. Bersebelahan dengan Noer yang kembali mengeluarkan stok pangan dari lumbungnya. Kali ini keripik kentang.

"Weh siapa tuh!" heboh seseorang dari lantai tiga. Iqbaal, yang entah sedang apa bersama Saheera disana. Semua perhatian tentu saja teralih padanya, khusus Nalesha, Ia melirik cukup lama dua orang itu kemudian ubah tak peduli.

"Ngapain Lo disitu! Turun sini!" titah Deni. Iqbaal mengangguk dan berjalan agak cepat, sementara Saheera hanya menunduk sopan seadanya. Saheera belum pernah berbicara dengan Deni sama sekali. Alasannya hanya dua, antara dirinya yang sibuk di kamar, atau sibuk di sekolah ketika Deni datang. Mungkin juga karena Saheera dan Deni yang berbeda umur cukup jauh.

Ya sebenarnya umur bukan masalah, dan bisa saja jika Saheera mau mendekatkan diri dengan alumni SP itu seperti yang lain. Tapi entahlah, mungkin Saheera tidak terlalu tertarik.

Iqbaal akhirnya bergabung di ruang tengah, langsung mudah mengakrabkan diri dengan Deni. Asik sekali keduanya, membahas ini itu yang bahkan hanya dimengerti oleh mereka. Entah karena memang sudah akrab lama, atau karena memang dua orang itu sama-sama mudah bergaul dan luwes.

"Kak ..." Saheera menyapa Deni singkat, kemudian duduk disamping Dhaiva yang memetik kembali gitarnya. "Dari mana Heer?" tanya Dhaiva.

"Oh? Itu dari ruang ..."

"Ini Saheera? Wakil Presiden?" tanya Deni memotong percakapan Saheera dan Dhaiva. Saheera kemudian mengangguk dan tersenyum kembali, "Iya Kak," jawabnya.

"Wah belum kenalan ya dari dulu Kita tuh? Saya gak pernah lihat Kamu soalnya. Kenalin, Deni." Deni mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan.

Pergerakan sesederhana itu dari Deni sudah bisa mengundang perhatian. Semua orang di ruang tengah tiba-tiba bingung. Alasannya satu; Saheera tidak akan bersalaman dengan lawan jenis. Kebingungan gadis itu adalah kebingungan bersama.

Aslinya seperti mudah saja, tinggal mengatakan bahwa Saheera tidak mau bersalaman. Tapi Deni itu terlalu berbeda 'dunia' dengan Saheera.

Nalesha melirik situasi dari bukunya. Baru saja hendak menepis tangan Deni, tiba tiba Jerry datang, "Apakabar Bang Den? Makin item aja Lo," ledeknya, menjabat tangan Deni yang tadinya ditujukan untuk Saheera. Seketika semua orang lepas dari rasa bingung, terutama Saheera. Jerry menjadi penyelamat tepat waktu, tidak kesiangan, tidak kepagian.

"Rasis bener nih anak. Item-item gini artinya pekerja keras, tau?" protesnya, membuat Jerry mencibir geli, "Gaya Lo. Gimana tesis Lo?" tanyanya.

"Yaelah make ngangkat topik sensitif mahasiswa abadi aja Lo Jer," celetuk Leon yang disahuti gelak tawa. Deni hanya geleng-geleng kepala dramatis sembari mengelus dada, "Parah Lo Yon, suka bener," ujarnya semakin mengundang tawa.

"Kerjain tesis Lo Bang, berapa kali ditagih Bunda Lo lulus segera hah?" sambung Jerry intimidatif. Semangat sekali kalau urusan membenarkan pendidikan orang lain. Ya, pasalnya dia selalu menjadi yang terbaik soal itu kan? Wajar saja.

"Mungkin Lo ada kesibukan lain atau apa gitu Bang sampe ketunda tesisnya? Ada proyek yang dipegang di sipil atau apa gitu?" Iqbaal masih berusaha membela seniornya yang dibully para junior.

Deni mengangguk antusias, "Ini nih, bener Bal, Guys, jadi Gue itu ada terlibat di pembangunan jalan tol di Kalimantan. Proyek pemerintah ..."

"Whoooaaaaa!" Semua berdecak kagum. Pasalnya bau uang sudah tercium, itu ladang 'basah'. "Terus-terus Bang? Kok bisa gak ada ijazah gitu?" tanya Noer kemudian.

"2042 perusahaan lebih lihat skill di lapangan kadang. Bukannya ijazah gak penting, tapi bisa gak jadi konsiderasi di dunia kerja. Perusahaan butuhnya yang in practical terbukti bisa kerja gitu, whether in the technical field or managerial. Itu yang lebih dilihat Noer," jawab Deni.

Semua orang mengangguk paham, termasuk Jerry yang sejak awal memprovokasi. Pikirannya lebih terbuka kini, "Jadi Lo ... belum sidang belum apa langsung got in a job gitu Bang? Keren sih," pujinya.

Deni mengangguk-ngangguk, "Betul. Tapi sebenarnya itu still beban moral sih. Contohnya ya kayak gini nih, ditanya tanya mulu Gue. Gak sama dosen, keluarga, Ayah, Bunda, Lo pada. Sebelas dua belas sama pertanyaan kapan nikah," ujarnya setengah tertawa.

"Gak apa-apa Kak. Jelasin aja, do your best," ujar Saheera kali ini, kembali menarik perhatian. Deni hanya mengangguk-ngangguk, tersenyum sangat manis padanya. Apalagi tatapan mata itu? Sangat berbeda ketika berbicara pada yang lain. "Makasih loh sarannya," ujarnya.

"Sama-sama."

Mereka lanjut berbincang sampai sekian lama, hingga tak terasa akhirnya adzan maghrib berkumandang. Kerumunan itu bubar, baik yang muslim atau bukan. Sudah kesepakatan bahwa tidak akan membuat kebisingan jenis apapun dari pukul 18.00 sampai jam makan malam di jam 19.30.

Mereka sebut itu sebagai 'silent time', pun di waktu-waktu sakral beribadah lima agama yang dianut para penghuni SP yang lain. Toleransi sangat dijunjung tinggi, ketaatan sangat dituntun rapi.

****

Saheera di kamarnya sejak waktu maghrib tadi, namun kebetulan dirinya sedang berhalangan shalat. Gadis itu duduk di meja belajarnya, memutar-mutar diri di atas kursi sembari melihat layar MacBook yang menyala, menampilkan dua dokumen. Seharusnya dokumen itu membuatnya senang, berbangga hati, namun Saheera justru sebaliknya. Gadis itu bingung nyaris sedih kala menggulirkan dokumen itu keatas dan kebawah dengan mousenya.

Kedua dokumen itu membawanya selangkah lebih dekat pada mimpi besarnya menjadi seorang dosen dan peneliti di bidang Teknik Kimia.

Letter of Acceptance (LoA) for Student Exchange. Satu LoA di TU Delf University, Netherland, satu lagi LoA ke University of Colombia, USA.

Saheera bingung. Dana dan izin sekolah sudah di tangan, tapi satu yang belum di tangan; izin orangtuanya. Saheera tidak bermaksud membuat dirinya bingung, karena Ia mendaftar dua program beasiswa exchange enam bulan itu awalnya karena coba-coba. Begitu diterima dan siap berangkat, izin orangtua itu menjadi sesuatu hal yang sangat menghalangi.

Keluarga Saheera terutama Ayahnya itu sangat konservatif. Keras mendidik anak-anak perempuannya. Syariat Islam diberlakukannya dengan ketat, termasuk melarang bepergian jauh tanpa mahram seperti pertukaran pelajar ke luar negeri. Saheera saja perlu berusaha keras agar diizinkan sekolah di SMA Kimia Bogor, terlebih lagi di asrama. Padahal asalnya hanya dari Jember, tidak bisa dikatakan jauh.

Saheera yang sangat menyayangi dan menghormati sang Ayah tentu tidak bisa membantah, atau begitu saja mengutarakan pendapatnya sendiri bahwa seorang wanita harus mandiri, independen, cerdas, dan relevan di perkembangan zaman. Meskipun, dalam hati Saheera geli sendiri ingin mengatakan dengan lantang kalimat sederhana seperti 'Abi, ini 2042!'

Itu sulit.

Pemikiran yang mengarah pada liberalisme, feminisme, dan kapitalisme diblokir terang-terangan di keluarga dengan latar belakang pesantren itu.

Namun Saheera tidak bermental mudah menyerah, Ia selalu mengatakan setidaknya pada dirinya sendiri bahwa dirinya harus 'breaking the mould', dalam batasan penghormatan dan syariat Islam itu sendiri.

Saheera menghela nafasnya dalam, sebelum akhirnya meraih ponsel hendak mengirim beberapa pesan pada Ayahnya. Masalah ini harus kembali dibicarakan, tidak boleh dirinya bingung sendiri. Negosiasi alot siap dihadapinya di depan.

[iMess]

(Abi)

Assalamualaikum Abi

Bagaimana kabarnya?

Saheera mau bicara panjang sama Abi. Kapan bisanya ya?


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C14
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login