Episode 30
SINAR matahari pagi menerobos mulut gua. Peramal
Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat
mencari Suto Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak
tahu ke mana arahnya. Suto bisa ada di mana saja,
menurutnya.
Satu hal yang membuat Peramal Pikun bingung,
bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak
lurus itu. Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia
ingat pada Perawan Sesat di sampingnya, tentunya
Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.
"Naiklah ke punggungku," kata Perawan Sesat.
"Aku...?!" Peramal Pikun menepuk dadanya sendiri.
"Iya. Kamu naik ke punggungku. Kugendong
memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat sambil
menyentak.
Sambil tetap memegangi tongkat, Peramal Pikun
mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang
oleh Perawan Sesat.
"Pegang yang erat!"
"Ya," jawab Peramal Pikun sambil membayangkan,
mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh Perawan Sesat
ke dalam gua itu.
"Hei, ada yang mengganjal di punggungku dengan
keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua renta!"
"Tongkatku yang mengganjal!"
"Tongkat yang mana?!"
"Tunggu kucabut sebentar," dan Peramal Pikun
membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar
diunjukkan kepada Perawan Sesat.
"Tongkat yang ini maksudku!"
"Ya sudah! Pegangan yang kuat. Jatuh tidak
kutanggung!"
Peramal Pikun sangka dirinya akan dibawa terbang
oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu.
Dengan menggunakan ilmu aneh, Perawan Sesat
merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan
cepat. Kaki dan tangannya bagaikan mengandung
perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat seperti
seekor cicak menggendong makanannya.
Crap... crap... crap... crap...!
Dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah sampai
di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan
punggungnya ke depan, dan tubuh Peramal Pikun
terlempar jatuh telentang dengan meringis.
"Uh...! Patah tulang pinggangku kalau begini
caranya!"
"Cepatlah bangkit! Jangan seperti bayi yang belum
disapih!" perintah Perawan Sesat dengan tegasnya.
Peramal Pikun berjingkat bangkit dalam satu
sentakan pinggang. Jleeg...! Kejap berikutnya ia sudah
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah.
Lalu, kedua kaki itu ditegakkannya. Ia berkata kepada
perempuan yang punya keahlian merayap dinding itu.
"Aku tak tahu arah mana yang pertama kali harus
kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana
saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan
tempatnya."
"Baik. Kalau begitu kita berpencar. Kau ke utara
dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.
"Kalau aku temukan Suto, bagaimana aku harus
menghubungimu?"
"Tahan napasmu, panggil namaku tiga kali,
hembuskan napas ke atas. Paham?"
"Paham. Kalau itu kulakukan, kau pasti akan
datang?"
"Kalau tidak, untuk apa aku memberi tahu
caranya!"
Setelah ucapkan kata itu, Perawan Sesat melesat
pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan. Peramal
Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya.
"Siapa saja kalau mendengar namanya dipanggil ya
akan datang!" sambil ia segera langkahkan kaki ke arah
utara.
Perawan Sesat tiba di sebuah desa. Desa itu pernah
disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di
rumah keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan
kisah kependekaran. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Darah Asmara Gila"). Didesa itu ada
kedai, dan di kedai itu Suto pun pernah singgah untuk
mengisi tuak dalam bumbungnya. Di sana, ia pun
pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan
berbadan besar, tinggi, jari tangannya sebesar pisang
dalam arti kiasannya. Lelaki itu bernama Singo Bodong.
Kedai itu sekarang dalam keadaan ramai pembeli.
Perawan Sesat sengaja datang bersinggah di kedai itu.
Sekadar minum adalah alasan yang tepat untuk
bertanya ke sana-sini tentang Suto Sinting. Ia duduk di
bangku pojok, sementara di bangku sudut
berseberangan ada pula perempuan yang ikut
nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan
trisula terselip di pinggang kanannya.
Kehadiran Perawan Sesat menjadi pusat perhatian
para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan
dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap
orang. Pedang gading berukir itu pun membuat banyak
mata mengaguminya.
"Minum...!"katanya kepada pemilik kedai, seorang
perempuan berbadan kurus.
"Kopi atau teh panas, Nona?"
"Arak!" jawab Perawan Sesat.
Wajah cantik yang sangar sempat bikin gemetar
pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu
pun segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan
Sesat memperhatikan dengan tajam, berkesan liar dan
ganas.
Minggirnya pria muda itu, lelaki berikat kepala
putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat
jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan
Sesat serukan tanya,
"Hei, kau kenal dengan lelaki bernama Suto
Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya.
Aku perlu bertemu dengannya!"
"Hmmm... anu... saya... saya tidak mengenalnya,
Nona!"
"Bodoh!"
"Iya. Hmmm... memang bodoh saya ini!" lelaki
berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah
pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya
sudah langsung serupa dengan mayat.
Arak pesanan disediakan oleh pemilik kedai.
Perawan Sesat meneguknya dengan rakus. Dua orang
pemuda berseberangan arah dengannya saling ber-
kasak-kusuk,
"Sayang sekali, cantik-cantik tapi rakus, ya?"
"Ssst...! Bukan begitu. Yang benar, sayang sekali
rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung
perasaannya kalau dia mendengarnya."
"Ih, eh... rambutnya habis terkena racun apa ya,
kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia habis
diperkosa?"
"Ssst...! Jangan bilang begitu. Yang benar,
rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan
menyinggung perasaannya...."
Wuuut...! Sepotong jadah atau ketan bakar tiba-
tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang
bicara. Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa
berucap kata apa pun kecuali,
"Uhmm... uhhmmm... uuhmmm...!'' sambil tuding-
tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan
temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang
melesak masuk ke mulut. Tapi temannya berlagak tidak
mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani
berkutik.
Perawan Sesat serukan kata, "Siapa di antara kalian
yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau tidak?!"
Tak ada yang menjawab. Semua diam dan
ketakutan. Perawan Sesat lemparkan pandangan ke
pemilik kedai. Perempuan tua yang kurus kering itu
buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya.
Perawan Sesat sentakkan suara kepada lelaki yang
tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat
ketan bakar di mulutnya.
"Hai, kau tahu tentang Suto Sinting?! Hei... aku
tanya padamu, Baju kuning!"
Orang itu merasa ditanya, tapi tak berani jawab
apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau
tatapkan matanya ke arah perempuan berambut awut-
awutan itu. Sikap takutnya bikin hati Perawan Sesat
makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu
dilemparkan ke orang itu. Wuuttt...!
Tapp...!
Ada tangan yang bisa menangkap lemparan cepat
pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan
berpakaian hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang
perempuan itu tatap mata Perawan Sesat dengan
berani.
Entah apa yang ada di benak Perawan Sesat, yang
jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam
dan meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu
perempuan yang pegang pisang goreng lemparan
Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat-
cepat. Pisang itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan
belatung menjijikkan. Beberapa orang di dekatnya
tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan.
Perawan Sesat hanya melirik sekejap sambil
bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada
pemilik kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan
langkah-langkah tegasnya.
Perempuan yang berpakaian hitam segera
mengikuti Perawan Sesat secara diam-diam. Bulu
kuduknya merinding sebentar membayangkan gumpalan
belatung yang terpegang oleh tangannya tadi. Jelas
belatung itu bikinan dari perempuan berambut jabrik.
Ia tahu hal itu, sehingga ia makin penasaran
mengikutinya.
Perawan Sesat bukan tidak tahu dirinya diikuti. Ia
sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya
sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon.
Perawan Sesat pura-pura tak tahu.
Tapi pada satu tikungan jalan, penguntitnya
terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang
diikutinya itu hilang bagaikan asap tersapu angin begitu
membelok di gugusan cadas yang menjadi bagian dari
salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan
pandangan mata ke mana-mana sampai ke atas bukit
kapur itu.
"Oh, dia sudah di sana?!" gumam hati perempuan
bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.
Perawan Sesat sengaja berdiri di atas bukit kapur
menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan
telunjuknya memanggil si penguntit dengan sikap
menantang. Perempuan berpakaian serba hitam merasa
ditantang dan segera sentakkan kaki. Wesss...!
Tubuhnya melompat ke salah satu lereng pendek,
melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai
akhirnya sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur
yang tak seberapa tinggi itu.
"Sejak dari warung matamu sudah menguntitku
terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin. "Apa
perlumu mengikutiku?!"
"Aku tak suka kau menyebutkan nama kekasihku!"
"Siapa kekasihmu?"
"Suto Sinting!"
Wajah dingin Perawan Sesat sunggingkan senyum
yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya.
"Suto Sinting amat bodoh kalau mau jadi kekasih
orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di
dunia ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung
untuk menjadi kekasihnya?"
"Bangsat kau! Jaga mulutmu, Perempuan busuk! Di
dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas jadi
kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."
Perawan Sesat perdengarkan tawanya yang
mengikik penuh kesan hinaan. Perempuan yang
berpakaian serba hitam itu geletukkan giginya.
Perawan Sesat tak tahu, bahwa Dewi Murka saat itu
sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan.
Karena, Dewi Murka baru beberapa hari yang lalu
terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman
seperguruannya.
Mereka bertarung di sebuah pantai karena perasaan
iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra
bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada
Suto Sinting. Sampai-sampai Dewi Murka tega
memfitnah teman seperguruannya dan mendesak
Selendang Kubur untuk segera pulang ke padepokan
dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu Nyai Betari
Ayu. Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk
menyingkirkan Selendang Kubur dari sisi Suto Sinting.
Pertarungan itu membuat keduanya sama-sama terluka
berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk
menunggu waktu penyembuhan tiba. Setelah itu
keduanya sama-sama akan bertarung lagi sampai mati.
(Untuk jelasnya baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Darah Asmara Gila").
Kini dalam perjalanan pulangnya, Dewi Murka
memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia
mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu
penduduk desa tadi. Mestinya Dewi Murka masih harus
beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan
penyembuhan terhadap dirinya. Tapi, kehadiran
Perawan Sesat membuatnya panas hati dan merasa
tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak-
acakan itu. Pikirnya,
"Perempuan ini harus kusingkirkan juga, supaya
kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang
mengganggu lagi!"
Itulah sebabnya dia menguntit Perawan Sesat dan
melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun
kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah
merasa gentar beradu tanding dengan Perawan Sesat.
"Dewi Murka! Tak peduli siapa dirimu, yang jelas
kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku
tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"
"Jangan anggap diriku kecil, Perempuan Jabrik!
Gunung pun bisa kuhancurkan apalagi kepalamu yang
mirip landak itu!"
"Jahanam!" geram Perawan Sesat dengan kedua
tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau
berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali
berkoar di depan Perawan Sesat!"
"Berkoar di depanmu sama saja berkoar di depan
orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi Murka
tersenyum sinis.
Panas hati Perawan Sesat tak bisa dikendalikan
lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor
macan, lalu kakinya menghentak satu kali ke tanah.
Duuggg...!
Buurrr...!
Bukit kapur itu bergetar. Bagian bawahnya rontok
sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di
bagian bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka
merasakan bukit kapur itu sedikit rendah dan menyusut
dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah
bukit itu melesat ke dalam tanah atau hancur di
beberapa bagian.
Dewi Murka berkata dalam hatinya, "Gila! Bukit ini
menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan kakinya
terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk
seonggok bukit kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu
gentar menghadapinya. Dia belum tahu jurus-jurus
dahsyatku!"
Terdengar suara Perawan Sesat menghentak,
"Tunjukkan kesaktianrnu kalau kau benar-benar bisa
meruntuhkan sebuah gunung!"
Dewi Murka tersenyum tipis. Berkesan lebih kalem
dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki
kanannya ke tanah dengan keras. Duugg...!
Krakk...! Tanah bagian atas bukit terbelah retak.
Terpisah bagian tengah jarak antara Dewi Murka
dengan Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki
pula, Perawan Sesat kembalikan posisi retaknya tanah
itu. Duug...! Kreep...!
Terkesiap mata Dewi Murka melihat keretakan
kembali merapat dan pulih seperti sediakala.
Sepertinya tak pernah terjadi keretakan.
Di sisi lain, jauh di bawah bukit kapur itu, sepasang
mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon.
Sepasang mata itu berulang kali terbelalak melihat
kedua perempuan tersebut beradu kesaktian ilmunya.
Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkumis yang
memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu
yang lalu dengan nama: Singo Bodong.
Percakapan Perawan Sesat di kedai itu
didengarnya, karena kebetulan ia sedang buang air
kecil di belakang kedai. Mestinya ia ada di kedai itu.
Tapi karena ingin buang air kecil, ia minta izin kepada
pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau
keluar kembali, ia dengar suara Perawan Sesat
menyebutkan nama Suto Sinting. Ia tak jadi keluar,
karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan
berambut jabrik itu. Dan diam-diam ia pun menguntit
kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh Dewi Murka
sampai di bukit kapur.
Dari tempat persembunyiannya Singo Bodong
membatin, "Kedua perempuan itu manusia atau iblis
sampai punya kekuatan tenaga dalam seperti itu. Aku
saja yang berbadan sebegini besar belum tentu bisa
gerakkan bukit kapur itu, eh... mereka yang jenisnya
perempuan dengan badan selangsing itu bisa bikin bukit
retak dan menjadi rendah sedikit dari asalnya. Gila itu
dua perempuan."
Mata Singo Bodong yang lebar itu kembali
mengikuti peristiwa di atas bukit kapur. Agaknya kali
ini Perawan Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya.
Melihat lawannya tidak merasa gentar sedikit pun,
Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan
tubuhnya pun melesat terbang bagaikan seekor harimau
hendak menerkam mangsanya.
Pada saat itu Dewi Murka pun melompat
menyambut tubuh lawan yang melayang. Kedua
perempuan itu saling beradu kecepatan pukulan di
udara.
Plak, plak, plak...! Buugh, bugh...!
"Heegh...!" terdengar suara Dewi Murka memekik
tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh
bagai karung basah.
Brukkk...!
Perawan Sesat sudah sejak tadi daratkan kakinya
dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak
dengan tegarnya, memandang lawannya yang jatuh
terkulai dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
Bahkan dari telinga dan hidung Dewi Murka juga
mengeluarkan darah hitam kemerah-merahan.
Dewi Murka berusaha untuk bangkit. Ia mencabut
trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan
sedikit membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit,
ia sudah kembali jatuh terkulai. Tubuhnya terjajar di
tanah berkapur. Telantang menghadap langit.
Semburan darah hitam kemerahan itu kembali keluar
dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang
satu kali.
Perawan Sesat hempaskan napas lega, lalu
tinggalkan tempat itu tanpa mengucap sepatah kata
pun. Ia tampak tidak peduli sekali dengan keadaan
lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia melesat
hilang.
Singo Bodong kehilangan jejaknya. Bingung mencari
ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok
perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak
tangannya tadi. Karena tak bisa mengejar dan
mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki
berkumis tebal melintang itu segera naik dengan susah
payah ke bukit kapur. Tepat ketika ia sampai di sana,
Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.
*
* *