Episode 29
SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu masih belum tahu
bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal
perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang
adalah lawan berat Nyai Betari Ayu. Malah di dalam
hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada
Bidadari Jalang, sebab pukulan 'Renggangpati' itu
diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.
Dulu, Betari Ayu adalah kekasih Datuk Marah Gadai.
Tetapi sang kekasih digoda terus oleh Bidadari Jalang,
hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari Ayu.
Perginya Datuk Marah Gadai meninggalkan bekas luka
yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak saat itu,
Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia
lebih suka mengasingkan diri dengan membentuk
pasukan tersendiri, yaitu dengan cara mendirikan
perguruan yang kebanyakan muridnya adalah
perempuan. Kelak, Betari Ayu punya cita-cita untuk
menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai
dengan mengerahkan murid-muridnya yang dianggap
pasukan tempurnya.
Andai saja Betari Ayu tahu, bahwa Suto adalah juga
murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin
Betari Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci
pula pada pemuda tampan itu, atau justru
melenyapkan dendam dan cita-citanya karena terpikat
oleh kemesraan Suto Sinting. Dan karena Suto tahu dua
hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto tetap
tidak mau menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di
depan Nyai Betari Ayu.
Suto memang jarang menyebutkan nama gurunya
yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan
nama yang banyak cacat di kalangan para tokoh
persilatan. Namun Bidadari Jalang seakan selalu
menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena
memang sebelum bertemu dengan Suto, tingkah
Bidadari Jalang selalu menghadirkan perselisihan,
terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai
murid jalang. Karenanya, ia lebih dikenal sebagai murid
si Gila Tuak, tokoh dari aliran putih yang namanya
tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh
yang sulit ditumbangkan itu.
Tak heran jika seseorang menyebutkan nama:
murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan
segera terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk
yang ke mana-mana membawa bumbung tuaknya itu.
Seperti halnya saat itu, saat sore mulai menua, seorang
perempuan berpakaian serba ungu muda yang ketat
dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang membawa
lari Peramal Pikun.
Tiba di suatu gua, tubuh renta Peramal Pikun yang
habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu
diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan
perempuan itu saling terkatup yang kiri dan yang
kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta
bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi
beberapa saat, kemudian kedua tangannya ditempelkan
di dada Peramal Pikun.
Kejap berikutnya, tubuh Peramal Pikun tersentak-
sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang
keluar dari kedua telapak tangan yang menempel di
dada Peramal Pikun itu ternyata bukan asap beracun.
Sebuah cara penyembuhan sedang dilakukan. Peramal
Pikun tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam
lemas dan terkulai. Ia bagaikan orang tertidur dengan
nyenyak.
Kala ia bangun di pagi hari, badannya sudah
kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar,
nyeri di dada sudah tak ada. Tapi perempuan yang
menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui di
mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya
sejenak.
"Seingatku dia seorang perempuan cantik," kata
hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian ungu
muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu
tanpa lengan, tapi rambutnya yang panjang sepunggung
acak-acakan, seperti orang gila. Ia menyandang pedang
di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan
gagangnya terbuat dari gading berukir. Seingatku, di
gagang pedangnya ada benang-benang berumbai warna
merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan
dirinya selama aku berkelana di rimba persilatan.
Mungkinkah dia siluman dari negeri seberang?"
Peramal Pikun yakin, perempuan berambut mirip
orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi. Gerakannya
begitu cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun
agar terhindar dari serangan jurus 'Tapak Dewa' milik
Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat dan mampu
disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang
berilmu tinggi. Peramal Pikun percaya, bahwa
perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga
melakukan pertolongan terhadap dirinya,
"Aku harus mencari perempuan itu. Paling tidak aku
harus mengucapkan terima kasih atas pertolongannya,"
pikir Peramal Pikun. Maka, ia pun keluar dari dalam gua
yang bau oleh kotoran kelelawar itu.
Peramal Pikun terkejut begitu tiba di mulut gua,
ternyata gua itu terletak di tebing curam, di bawahnya
laut yang bergolak dengan batu-batu karang runcing
mirip gigi ikan raksasa. Meleset sedikit, habis sudah
nyawa orang dihujam karang-karang runcing.
"Kucing kudis!" umpat Peramal Pikun. "Bagaimana
caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan setapak pun
untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada
dinding karang yang merupakan tebing curam. Gua ini
seperti tembok raksasa yang berlubang. Mencapai ke
daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut
juga dalam. Lalu aku harus lewat mana?"
Peramal Pikun garuk-garuk kepala. Matanya
memandang sekeliling mencari jalan untuk memanjat
tebing ke atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada
jalan sama sekali. Dinding tebing di samping kanan-kiri
gua sangat licin berlumut. Kalau memang harus
melompat ke laut, ujung-ujung karang runcing belum
tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi tubuhnya yang
tua renta itu menancap di salah satu karang runcing
itu.
"Monyet monyong!" Peramal Pikun umpatkan kata.
"Orang itu menolongku, tapi juga membunuhku kalau
begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa
gua-gua di tempat lain sudah penuh penghuninya? Dan
lagi, bagaimana caranya membawaku kemari? Apakah
ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di
pundak dan dia merayap turun dari atas sampai
mencapai mulut gua ini?"
Renggono sesalkan diri, mengapa saat ia dibawa ke
gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika
perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat
tubuhnya, ia masih bisa memperhatikan ciri-ciri
perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas
gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan.
Andai tidak pingsan, ia bisa melihat bagaimana caranya
perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal
lurus itu.
Wuusss...! Wuusss...!
Seekor kelelawar masuk ke dalam gua. Kejap
berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir
menyambar kepala Peramal Pikun. Mata tua itu
memandang ke langit-langit gua. Tak ada lubang keluar
di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar
menggantung dan mencicit menjelang petang. Peramal
Pikun gumamkan kata,
"Mati aku kalau begini! Apa mungkin aku harus
hidup bersama kampret-kampret ini?!"
Lelaki tua berkumis dan alis serba putih itu
termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-
tiba di mulut gua telah berdiri sosok bayangan
berambut mekar acak-acakan.
"Nah, ini dia!" Peramal Pikun ucapkan kata bernada
lega.
Perempuan berpakaian ketat warna ungu muda itu
datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat'
lelaki itu terlihat jelas terselempang di punggungnya.
Pedang bergagang dan bersarung dari gading ukuran itu
jelas menandakan bukan sembarang pedang.
Sisa cahaya sore masih merambah masuk melalui
mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih
tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat
putihnya. Perempuan itu mendekat, memandang tanpa
senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi
tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam
dirinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Peramal
Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi lama
tanpa diajak bicara.
"Aku tidak butuh terima kasihmu!" kata perempuan
berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.
"Jadi apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Peramal
Pikun.
"Aku mencari pemuda tanpa pusar."
Peramal Pikun terkekeh geli mendengarnya.
Perempuan itu cepat sentakkan kaki kanannya,
berkelebat menampar pipi Peramal Pikun.
Plakkk...!
Peramal Pikun hentikan tawa. Kalau ia tak ingat
bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu
dari jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah
membalas dan melawan saat itu. Tapi ingat ke sana,
Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya
cemberutkan wajah dan berkata,
"Kenapa kau menamparku? Kenapa pakai kaki?"
"Karena kau menertawakan diriku! Aku bertanya
sungguh-sungguh!"
"Aku juga tertawa sungguh-sungguh," balas Peramal
Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda tanpa pusar. Itu
sesuatu yang lucu bagiku!"
"Aku tidak sedang melucu!" sentak perempuan itu.
"Aku butuh pemuda tanpa pusar. Aku mencarinya."
"Pemuda tanpa pusar...?!" gumam Peramal Pikun.
Diam-diam, ia segera membuka kain penutup parutnya
sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam
hatinya, "Hmmm... yang ini ada pusarnya!"
Perempuan itu kembali sentakkan suara, "Kalau kau
tak mau menunjukkan, aku terpaksa meninggalkanmu
di gua ini sendirian!"
"Mengapa kau mengancamku begitu? Kau
memaksaku harus menunjukkan pemuda tanpa pusar,
sedangkan aku sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya
pusar, Jabrik!" geram hati Peramal Pikun.
"Aku tahu. Tapi aku mencari yang tanpa pusar!"
"Aku tidak tahu! Aku sendiri punya pusar! Apa harus
ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!"
Plakkk...!
Cepat sekali kelebatan kaki itu menampar pipi
Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya.
Tangan Peramal Pikun berkelebat namun telat. Dua kali
sudah pipinya ditampar perempuan. Ditamparnya pakai
kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya sendiri.
Tapi Peramal Pikun tetap sabarkan diri. Bahkan ia
sediakan diri untuk satu kali tamparan lagi.
Menurutnya, tiga kali tamparan pakai kaki sudah cukup
untuk membayar jasa pertolongan perempuan
berambut jabrik itu.
"Mengapa kau bertanya padaku, Jabrik? Mengapa
kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana
adanya pemuda tanpa pusar?"
"Karena kulihat kau lebih tua dari lawanmu di
telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang
tokoh tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya
banyak pengalaman!"
"Pengalaman bertarung memang banyak, tapi
pengalaman memeriksa pusar orang belum punya,"
jawab Peramal Pikun.
"Jangan kau coba mendustai aku, Tua renta!"
"Aku tidak mendustaimu, Jabrik! Aku benar-benar
tidak tahu."
Perempuan jabrik itu menatap mata Peramal Pikun
lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan
mata Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau
desak lagi orang tua renta itu. Ia duduk di sebuah batu
datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari
makin hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di
dalam gua jika tidak segera ia lakukan sesuatu.
Sebongkah batu diambilnya. Batu itu agak runcing
ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok
batu itu dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya
memperhatikan tanpa mau berucap kata. Dan mata
Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu
menyala dan kepulkan asap api.
Gua menjadi terang. Batu itu bagaikan obor besar
yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun
cuma sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat
tongkat, ia sodokkan ujungnya ke arah batu bernyala
itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala.
Blaap...!
Batu itu padam seketika bagai ditiup angin kencang
yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun.
Terdengar suara perempuan jabrik itu menggeram.
Terbayang dalam gelap sebuah kaki akan bergerak
menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat
angkat tongkat dan sodokkan ke arah tadi.
Buusss...!
Batu itu menyala kembali. Tampak wajah
perempuan jabrik menatap penuh kemarahan. Peramal
Pikun nyengir. Kemarahan di wajah perempuan itu pun
reda setelah melihat batu nyala kembali.
"Agaknya kita harus bermalam di sini," kata
Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.
Perempuan jabrik tidak beri jawaban apa-apa. Ia
panggangkan kedua tangannya di atas batu berapi.
Peramal Pikun pindah duduk agak dekat api. Lalu, ia
melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik.
"Menurut ramalanku, kau orang berilmu tinggi."
Perempuan cantik berambut jabrik hanya menatap
wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali
memandang api yang menyala, panggangkan kedua
tangannya.
"Menurut ramalanku, kau perempuan yang keras,
tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau
tidak punya suami!"
"Apakah kerjamu meramal?" suara serak-serak galak
itu terdengar tanpa irama. Datar-datar saja.
"Dulu, kerjaku memang meramal, itulah sebabnya
aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul
dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset.
He he he...!"
Perempuan jabrik menatap cepat. Tawa Peramal
Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang
dan menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.
"Boleh aku tahu namamu?" tanya Peramal Pikun
tanpa pandang.
"Tak perlu kau tahu namaku. Tapi kau perlu tahu
julukanku."
"Siapa julukanmu?"
"Perawan Sesat!"
"He he he...!"
Plakk...!
Tamparan ketiga pakai kaki mendarat tepat di pipi
Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat
menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke
arah perempuan itu sambil ucapkan kata,
"Sudah tiga kali. Impas! Aku tak punya hutang jasa
lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi, kubalas
dengan melemparkanmu ke laut sana!"
"Kalau kau bisa, lakukan sekarang!"
"Nanti saja!" sambil peramal sial itu bersungut-
sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan tadi, dan
perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya,
"Apa benar julukanmu Perawan Sesat?"
"Ya."
Peramal Pikun cepat tutup mulutnya dengan
telapak tangan, serta palingkan wajah membelakangi
Perawan Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak
diguncang tawa geli. Perawan Sesat tahu hal itu, tapi ia
tidak ambil peduli.
"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"
"Bukit Garinda," jawab Perawan Sesat tanpa
memandang Peramal Pikun.
"Bukit Garinda...?!" Peramal Pikun belalakkan mata
sedikit. "Bukankah itu wilayah Partai Perempuan Sakti?"
"Ya."
"O, jadi kau orang dari Perempuan Sakti?"
"Ya."
"Aku kenal dengan salah seorang anggota
Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya
karena salah paham, tapi sekarang sudah tak ada
masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah Asmara!
Apa kau kenal dengan nama itu?"
Perawan Sesat tatapkan mata tajam-tajam ke mata
cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia
ucapkan kata tegas-tegas.
"Itu nama guruku!"
"Ooo... jadi kau muridnya Nyai Lembah Asmara?!"
"Betul!"
Peramal Pikun angguk-anggukkan kepala dalam
senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia
ucapkan kata, "Cantik sekali dia...."
Plakkk...!
Satu tendangan kaki menampar kena di pipi
Peramal Pikun. Cepat ia angkat tongkatnya. Tapi hasrat
untuk mengibaskan tongkat ke kepala Perawan Sesat
terhenti dan hilang seketika, karena ia ingat, Perawan
Sesat murid Nyai Lembah Asmara. Perempuan cantik itu
dikenalnya sebagai perempuan berdarah dingin. Musuh
tak pernah lolos dari tangannya. Pasti mati sebelum
minta ampun.
Peramal Pikun ingat, dulu ia pernah terdesak
melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun
yang lalu. Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup
tinggi. Menurut ukuran Peramal Pikun, sangat tinggi. Ia
dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia
jadi jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan
itu. Karenanya, saat ia akan membalas tamparan
Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya
urusan dengan Nyai Lembah Asmara.
Peramal Pikun kendorkan ketegangannya, dan
lontarkan tanya,
"Apakah mencari pemuda tanpa pusar itu utusan
dari gurumu?"
"Ya."
"Hmmm...," Peramal Pikun manggut-manggut. "Aku
tahu sekarang maksudnya."
"Jika kau tahu, tunjukkan di mana tempat pemuda
tanpa pusar itu!"
"O, kalau tempat pemuda tanpa pusar aku tidak
tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma
tahu tujuan dari gurumu itu dan...."
"Kabar burung yang didengar oleh Guru,!" sahut
Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu telah diangkat
murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar
si Gila Tuak."
"Hah...?!" Peramal Pikun sentakkan suara,
belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila
Tuak dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada
Perawan Sesat.
"Jadi, menurut gurumu, pemuda tanpa pusar itu
muridnya si Gila Tuak?"
"Betul! Apa kau kenal dengan murid si Gila Tuak?"
"Kenal sekali. Dia yang bernama Suto Sinting,
bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu
apakah dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah
memeriksa perutnya!"
"Suto Sinting...?!" geram suara serak Perawan Sesat.
*
* *