Download App
52.63% TERBIASA / Chapter 20: Dua puluh

Chapter 20: Dua puluh

jika hati suda bicara

akal sehat tak lagi berguna

Jam-jam sibuk mempengaruhi keadaan dan kondisi lalulintas. Banyaknya kendaran yang berlalu-lalang, membuat mobil yang dikendarai oleh Eza, tidak bisa berjalan cepat.

Di tengah kegelisahannya, Eza teringat akan tanggung jawabnya di kantor. Pemuda itu tidak bisa lari begitu saja meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, ini adalah hari pertamanya masuk kantor--setelah libur selama beberapa hari. Ia tidak ingin menimbulkan tanya, dari orang-orang kantor atas ketidakhadirannya bersama Arga dan juga Tias.

"Ga, tolong ambilin HP ku di kantung celana." pinta Eza pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Kedua tangan nya sedang sibuk mengemudi. Jalan yang terlalu padat membuat ia tidak ingin melepaskan pegangannya pada stir mobil.

Tanpa banyak bertanya, Arga merogoh kantong celana milik Eza--mengambil HP yang terselip di sana.

"Cari nomor kantor ya, telfon bagian resepsionis."

Lagi-lagi tanpa banyak berbicara, Arga melakukan sesuai perintah. Setelah menemukan nomor telfon yang dimaksud, Arga menempelkan HP itu ke telinga kekasihnya.

"Halo Dewi," ucap Eza setelah panggilannya tersambung. "Saya Reza Ramadhan manager bagian pemasaran. Tolong sampaikan sama pak direktur, hari ini saya, Arga dan Tias datang terlambat. Ada urusan mendadak yang harus diselesaikan."

"..."

"Terima kasih Wi."

Arga menjauhkan phonsel dari telinga Eza, lalu memasukan kembali pada saku celananya.

"Jangan panik," ucap Arga mencoba menenangkan kekasihnya.

Eza membuang napas gusar. Jalanan yang semakin macet membuat pemuda itu semakin terlihat gelisah.

***

Tias masih duduk bersilang di kursi taman, kedua tangannya ia lipat diparut, dan tatapan nya kosong menghadap ke arah depan.

"Ti-tias."

Suara berat dan sedikit terbata dari arah belakang, membuat Tias memutar tubuh, lalu mendapati dua pemuda yang sedang berdiri sambil merundukkan kepalanya.

Arga dan Eza tidak berani menunjukan wajahnya di hadapan Tias.

Tias menghela napas panjang sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan perlahan mendekati dua pemuda itu.

Gadis itu mematung, menatap secara bergantian wajah pemuda yang terlihat salah tingkah. Melihat jakun mereka yang terlihat naik turun, sepertinya dua pemuda itu sedang menelan ludah.

"Tias."

Plak...!!

Tamparan keras yang mendarat kuat di pipi Eza, membuat Arga tersentak kaget. Ia menatap kasihan pada pemuda yang sedang memegangi jejak tamparan di pipinya.

Arga dan Eza kembali merunduk, seolah takut menatap wajah Tias. Wajah yang biasanya selalu terlihat ceria, imut dan menyenangkan, namun hari ini wajah itu terlihat sangat menyeramkan.

Manik mata Tias melirik telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menampar sahabatnya. Tamparanya sangat kuat, membuat ia juga merasakan sedikit sakit pada telapak tangannya.

Lalu bagaiman dengan Eza? Pasti lebih sakit. Rasa penyesalan terlihat jelas di raut wajah Tias. Ini adalah kali pertamanya ia memberikan tamparan pada sahabat yang paling disayanginya.

Mengabaikan rasa penyelasanya, Tias menatap marah pada sahabatnya.

"Sejak kapan...?" Pertanyaan itu Tias tujukan untuk sahabatnya. "Sejak kapan kamu kayak gini Eza...?"

Eza hanya terdiam, sambil merundukkan kepala. Sementara Arga hanya mampu menelan ludah.

"Kenapa kamu jadi kayak gini si Za...?" pada ujung kalimat suara Tias dibarengi dengan isakan. Wajahnya berkerut menatap prihatin kepada Eza.

Hal itu tentu saja membuat Arga merasa bersalah. Ia jadi merasa jadi penyebab atas perubahan Eza.

"-kalian sadar nggak si apa yang kalian lakukan?" Tias kembali menatap bergantian dua pemuda itu. "Eza jawab!" Tegas Tias saat tatapannya berhenti pada sosok Eza.

"Tias aku__"

"Kamu itu menjijikan Eza." Potong Tias dengan nada pedas. "Apa kamu lupa kalau kamu itu udah tunagan. Kamu selingkuh, tapi sama laki-laki?"

Kedua telapak tangan Eza mengulur, meraih pundak Tias. Ia harus merundukkan kepala menatap Tias yang tidak lebih tinggi dari tubuhnya. "Tolong tenang Tias, biar aku jelasin semuanya."

Tias menghela napas, wajahnya masih berkerut menatap Eza. "Kamu nggak kasihan sama Mira?"

"Tias please..." bujuk Eza dengan wajah yang memohon. "Biar aku jelasin."

"Oke." Tias menelan ludah. "Apa yang mau kamu jelasin."

Akhrinya Eza bisa bernapas dengan legah. Ia memutar tubuh sahabatnya, lalu menuntunnya berjalan ke arah kursi.

Sedangkan Arga tetap pada posisinya. Ia diam mematung menatap Eza dan Tias yang sudah duduk berdampingan. Hati dan perasaannya semakin gelisah. Apa yang ia takutkan, sepertinya akan benar-benar terjadi.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Eza hembuskan secara perlahan. Ia menelan ludah sebelum akhirnya membuka suara. "Kamu sudah melihat semuanya Tias. Apa yang kamu lihat tadi aku sama Arga, itu karena kami saling menyayangi."

Pengakuan Eza membuat Tias tersentak kaget, menatapnya heran. "Sayang yang bagaimana maksud kamu Eza? Tolong pakai akal sehat kamu. Kalian sama-sama laki-laki. Dan kamu harus inget, nggak lama lagi kamu mau nikah."

Jarak Arga berdiri tidak terlalu jauh dari Eza dan Tias duduk. Kata menikah yang baru saja terucap oleh Tias dapat terdengar jelas di telinganya. Hal itu membuat ia tersadar, seperti sedang ditampar kenyataan pahit. Ia hanya mampu menelan ludah.

"Aku juga enggak tau, perasaan itu datang sendiri, dan aku nggak bisa ngindar. Dari Arga aku bisa dapetin semuanya. Dia baik, perhatian, peduli sama aku. Perhatian dan perduli itu enggak pernah aku dapetin dari Mira__"

"Tapi Za," potong Tias. "Tolong pikirin baik-baik. Jangan menyalahartikan perasaan itu. Kamu sadarkan kalau kalian__"

"Aku tahu," serga Eza. "Walaupun sama-sama lelaki," Eza menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, "tapi, kami saling mencintai."

Deg!

Pengakuan yang terdengar begitu tulus membuat bola mata dan mulut Tias terbuka lebar. Ia masih belum percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

"-aku juga enggak nyangka, kalau kebersamaan kami selama di Jogja, bisa bikin kami jadi saling sayang." Lanjut Eza kemudian. "Kami saling mencintai Tias."

"Eza..." tangisan panjang keluar dari mulut Tias. Perasaan yang campur aduk, membuat wanita itu tidak tahan untuk menghamburkan tubuhnya--memeluk erat sahabatnya. "Jangan ngomong gitu Eza. Kamu tahu, kamu akan menyakiti semuanya. Kamu bisa nyakitin Mira, kamu juga pasti akan menyakiti Arga." Tias mengeratkan pelukannya, dan suara tangisannya terdengar semakin panjang.

"Aku tahu," telapak tangan Eza mengusap puncak kepala Tias. "Aku cuma mau jujur Tias."

"Tapi kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Tolong hentikan sebelum semuanya jadi lebih parah. Kamu nggak bisa ngejalanin semuanya."

"Kalau udah waktunya, dan aku udah siap, aku pasti akan milih." Putus Eza.

Tias mengurai pelukannya, bola matanya yang masih berkaca menatap seirus kepada Eza. "Kalau kamu pilih Arga, kamu bakal ngancurin diri kamu sendiri. Kamu juga akan akan bunuh mama. Mama udah tua Eza, dia pengen kamu cepet nikah. Mama tiap hari nggak berhenti ngomong, kalau dia pengen punya cucu."

Deg!

Lagi-lagi kalimat Tias sukses membuat hati Arga terasa nyeri. Apa yang ia dengar barusan memang benar, tapi tetap saja ia merasa sakit. Tidak ingin merasakan sakit yang lebih, secara diam-diam Arga berjalan mundur. Setelah langkahnya sudah menjauh dari Eza dan Tias, pemuda itu berlari cepat meninggalkan taman, membawa sakit yang membuat bola matanya berkaca-kaca.

"-astaga mama." Ucap Tias kemudian. "Aku nggak bisa bayangin gimana kalau mama sampai tau."

"Aku sayang sama mama, biar aku yang jelasin sama dia."

"Jadi, kamu_?"

Eza mengangguk. "Yah, aku yakin, aku nggak bisa hidup tanpa Arga. Lagian, hubunganku sama Mira enggak pernah baik."

Tias menghela pasrah, rasanya apa yang sudah ia sampaikan, air mata yang sudah ia keluarkan--semuanya sia-sia.

"-Aku nggak tahu apa benar Mira cinta sama aku. Aku rasa Mira nerima lamaran keluargaku, cuma karena orang tua kami bershabat, aku ragu sama Mira."

Lagi, Tias menghela napas. Secara refleks ia memutar kepalanya menoleh ke arah dimana Arga berdiri. Namun tiba-tiba keningnya berkerut saat pandangannya tidak melihat sosok Arga, berada di sana.

"Lho, Za... Arga mana?"

Eza menoleh cepat, ia tersentak kaget saat menyadari tidak ada Arga di tempat itu. "Kemana dia?" Dengan perasaan gelisah, Eza beranjak dari tempat duduknya.

Tbc


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C20
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login