"Kalau ingat yang kau bilang di pesawat, kupikir aku yang akan memegang tanganmu," bisik Ginnan. Meski separuh wajahnya tertutup syal tebal, tawa bahagianya tetap tertangkap jelas oleh kamera. Lampu flash dan microphone ada di mana-mana. Ckrek! Ckrek! Mereka menjepret, berisik, mengudarakan semua pertanyaan umat, namun Renji merangkulnya melewati awak media itu dengan tanpa lecet sedikit pun.
Wah! Keren! Sejak kapan ada bodyguard sebanyak itu?!
Ginnan hanya melotot saat jalan mereka dibukakan oleh berpuluh-puluh pria berjaskan hitam. Ada Furi dan Takano juga di sana. Ginnan bahkan silap (serius!) seandainya dia tak menatap mereka lebih jeli dengan penampilan serapi itu. Hei, apa Renji sudah memikirkan ini sejak dulu?
Kenapa Ginnan tidak pernah diberitahu apa-apa?
Sesaat memikirkan berbagai macam hal, Ginnan tidak sadar tubuhnya sudah di hadapan sebuah pintu mobil mewah warna perak. Dia hanya masuk mengikuti Renji malam itu. Ginnan duduk di sampingnya, menulikan telinga dari ricuhnya massa, barulah saat Furi menjauhkan mereka dari sana … Ginnan melihat majalah otomotif di sebelahnya.
Lamborghini Aventador. Sungguh—Ginnan tidak tahu spesifikasi mesin, tapi mengingat betapa seksi kilau badan mobil ini, dia lebih dari paham Renji tidak sedang mengajaknya naik kendaraan murah. Jadi ini pengganti audi hitamnya? Benar-benar berlebihan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Renji.
"Eh? Tidak. Memang aku kenapa?" Ginnan langsung meletakkan majalah itu begitu menoleh keluar. WUUAH! GILA! Dia langsung menyesal kenapa memutuskan melihat. Kawanan—bukan-bukan—maksud Ginnan para wanita berspanduk kini sedang memisah dari kerumunan. Mereka adalah fans Renji. Dengan merchandise bergemerincing dan lightstick bermacam warna, mereka menjerit histeris dan berlari layaknya zombi tak berakal untuk mengejar mobil. Percayalah, Ginnan sampai tidak mau menjelaskan seberapa tinggi lengkingan jeritan mereka karena dia memilih menyumbat kuping.
RENJI-SAMAAAAAAAAA!!!
RENJIIIIIIIIII!
SENSEIIIIIIIIII!
SENSEI LIHAT AKU!!!
SENSEIIIIIIIIII!!!
Renji hanya terkekeh pelan. "Takut? Kemari kau."
Ginnan menampik tangan Renji segera. "Ti-Tidak kok," sangkalnya. Mendadak tergagap lagi. Dia segera duduk tegak dan memandang jalanan dengan mata lurus-lurus. "Aku senang. Dan … menantikan apa besok pagi mukaku muncul di sosial media. Ha ha! Apa aku punya jerawat atau semacamnya?"
"Tidak."
"Yakin? Lihat lagi coba!" Ginnan segera mendekat ke Renji. "Bagaimana kalau aku tampak buruk di sampingmu? Arrghh! Rasanya menyesal sekali tidak facial dulu sebelum pulang! Terakhir kali aku melakukannya sebelum bertemu denganmu—"
"Kau tampan."
DEG
"Apa?"
"Dan cantik. Semua ada padamu. Tidak perlu khawatirkan apapun."
Ginnan berhenti mengacak-acak rambutnya.
"Sudah cukup. Furi akan membawa kita pulang segera," kata Renji sambil mengecek arloji. "Ini sudah jam makan malam. Kau ingin sesuatu untuk dibawa serta?"
"Hmm, martabak? Tapi fans-mu bisa keranjingan kalau tahu kita turun," kata Ginnan, keningnya mengernyit sejenak. "Ngomong-ngomong aku baru kepikiran. Kok kabar kita pulang tersebar? Tadi ada bodyguard juga. Memang ada yang tahu kita di Belanda?"
"Hm, begitulah."
"Kenapa bisa?"
"Aku akan ceritakan kapan-kapan," kata Renji. "Banyak yang terjadi waktu kau sakit dan tidur beberapa hari."
"Ah, oke."
Bohong bila Ginnan tidak kecewa. Namun untuk saat ini dia memilih tidak memancing Renji ingat dengan kejadiaan saat dirinya tersayat di punggung. Dia pun menunjuk kucing-kucing lucu di tepi jalan untuk mengalihkan topik.
"Coba lihat, Ren! Itu cantik!" tunjuk Ginnan. Cengirannya terpantul di jendela kaca saat melihat dua gadis berlarian ke arah mereka. Pie! Katty! "Ohh… jadi mereka pemiliknya."
"Itu jenis Ragdoll dan Birman," kata Renji. "Kau suka yang seperti itu?"
"Tunggu—Rag apa itu jenis kucing?"
"Hm."
"Oh…" Ginnan sampai menoleh ke belakang dan membuka jendela sedikit saat mobil mereka sudah berlalu lewat. "Iya, suka. Yang bulunya putih lebat mengingatkan aku dengan Gee."
"Ragdoll memang tidak buruk," kata Renji. "Bulunya sulit rontok dan sangat penurut. Kapan-kapan kubelikan dengan anjing yang kau mau."
"Hah?" Ginnan segera menjauh dari jendela. "Tidak-tidak. Aku kan hanya bilang kalau suka. Tidak perlu membelinya."
"Kenapa?"
"Yeah, memang kalau aku curhat suka pabrik cokelat kau akan belikan juga? Haha… gila."
"Semua kemungkinan bisa terjadi—"
"Hei, lihat kita sudah dekat!" Ginnan sengaja menyela. Apapun yang berubah soal Renji, pria ini masih tidak ada tapi kalau sudah berniat memanjakan dirinya. Ah sudahlah! "Rasanya ingin segera memeluk Nushen. Dia sudah dipaketkan pulang kan?"
"Hm."
"Ayo turun! Sebelum ada orang-orang dari sana ikut menyusul kita. Ha ha…" Ginnan pun menggandeng Renji masuk ke hotel. Untung hanya beberapa wartawan yang berlari ke arah mereka di sana. Tapi aman (sepertinya mereka lengah dengan kedatangan Renji). Furi segera membantu mereka masuk sebelum para wartawan itu bisa menjangkau. Mungkin mereka hanya berhasil memotret sebelum Renji dan dirinya tenggelam di dalam hotel. Ginnan sudah tak terlalu peduli. Dag dig dug di dalam dadanya serasa terlalu nyata—bahkan jika dia menganggap itu hanyalah mimpi.
"HA HA HA HA HA HA HA!"
Bagai buronan yang berhasil sembunyi, Ginnan menabrak peluk Renji di dalam lift yang naik tinggi. Tidak ada jajanan dari luar malam ini. Namun dia puas. Saat kakinya kembali menginjak ke dalam area penthouse mewah itu, dia langsung berganti peluk ke Nushen.
"Nusheeeeen! Apa kau rindu denganku? Iya? Aku juga!"
Ruangan itu sangat rapi dengan tatanan yang Furi dan Takano siapkan. Semua oleh-oleh yang Ginnan pilih dari perjalanan ditata dalam boks-boks susunan. Luar biasanya, semua barang pribadi di tempat itu kini sudah menjadi dua. Sepasang. Miliknya dan Renji. Sandal lantai, cangkir favorit, sikat gigi, lemari dan sebagainya—Ginnan jadi ingin berterima kasih kepada mereka jika bertemu lagi.
Ini bukan sihir, sungguh. Namun Ginnan merasa sangat takjub hingga rongga dadanya ingin terbang saat melihat Renji lepas-lepas jaket dinginnya ke sofa. Pria itu tampak rileks. Dia menyeduh kopi di mesin sebelah vas raksasa, mengaduknya, dan menyesapnya sembari menunggu secangkir lagi yang baru dibuat.
Pasti untuk Ginnan.
Ginnan pun melepaskan Nushen setelah menyadari ranjang yang ada di sana berubah dari saat pertama kali dia diseret kemari. Ukurannya lebih lebar. Lebih tinggi. Ginnan tak menyangka bisa benar-benar diterima Renji setelah dulu memberotak dan memaki-maki pria itu.
"Ren?"
"Tunggu sebentar untuk kopimu," kata Renji. "Hampir jadi."
Ginnan benar-benar nyaman saat menghirup aroma wangi dari cangkirnya sendiri. "Terima kasih."
Renji duduk di sebelahnya. "Kau tidak melepas jaketmu? Kedinginan?"
"Tidak kok. Tidak juga," kata Ginnan. "Oh iya, jika besok ada keributan lebih besar, langsung beritahu aku. Aku tidak mau percaya sosial media apapun. Aku tidak mau membuka ponsel. Aku hanya ingin dengar semua kabar darimu. Boleh?"
"Hm."
"Sip," Ginnan nyengir, lalu menoleh ke Renji saat sudah kepikiran lagi. "Satu lagi…"
"Hm?"
"Setelah ini, kau… akan mencari Haru sungguhan kan?"
Renji berhenti menghirup kopinya. Dia meletakkan cangkir itu di meja. "Apa menurutmu aku tipe yang akan mengingkari janji?" tanyanya.