"Silakan duduk." Ujarku sambil tersenyum ke arah sosok yang sama sekali tidak aku kenal.
"Terima kasih." Ujarnya sambil duduk di sofa ruang tamu.
"Aku ambilkan minum dulu." Ujarku sambil tersenyum.
Belum sempat aku melangkah Raymond menahanku. Pergelangan tanganku digenggam erat olehnya.
Aku meringis, "Raymond, kamu menyakitiku." Gumamku.
Raymond melepaskan genggamannya. "Maaf." Ucapnya pelan.
Aku memegang kedua pundak Raymond dan kemudian mendudukkannya berdampingan dengan laki-laki tadi. Aku memandang keduanya bergantian.
"Aku rasa kalian perlu bicara, biar aku saja yang ambil minumnya."
Setelah menyelesaikan kata-kataku, aku pergi berlalu meninggalkan mereka berdua dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan. Hatiku sakit, dadaku sesak oleh emosi.
Sebelum mengambil air minum, aku mengeluarkan ponselku dari saku sweatpants yang aku kenakan. Dengan cepat aku mencari nama Lyra dan kemudian mengirim pesan untuk bertemu di luar. Aku juga mengirimkan pesan yang sama kepada Louise. Setelah mengirimkan pesan, aku meletakkan ponselku di atas kitchen counter.
Aku kemudian mengambil dua gelas kosong yang kemudian aku isi penuh dengan air hangat. Tadinya ingin membuat teh, tapi pasti akan memakan waktu lama. Jadi aku putuskan menyajikan air hangat saja.
Aku kemudian membawa kedua gelas yang berisi air hangat tersebut dan kemudian menyajikannya di atas meja kaca ruang tamu.
"Silakan, maaf hanya menyajikan air hangat."
Setelah menyajikan air hangat itu, aku membungkuk dan pamit. Meninggalkan mereka berdua.
Aku berjalan menuju dapur dengan Raymond yang ternyata mengekor di belakangku. Aku yang menyadari keberadaan Raymond langsung berhenti dan membalikkan badan. Kami saling berhadapan. Raymond baru akan membuka suara.
"Shiii..." Aku meletakkan telunjukku di depan mulutnya. "Kamu bisa menjelaskan nanti, sekarang kembalilah. Aku rasa dia membutuhkanmu saat ini." Ujarku sambil tersenyum paksa.
Raymond menatapku sayu. Aku bisa melihat kesedihan terpancar di matanya. Akupun sama, aku merasa sedih dan juga marah. Tapi entah kenapa aku merasa Raymond harus kembali ke sana. Omega itu menunggunya.
"Kembalilah." Ucapku sambil mendorong tubuhnya menjauh.
Setelah Raymond kembali ke ruang tengah, aku segera masuk ke kamar dan mengganti pakaianku. Aku memakai t-shirt hitam, kemudian melapisinya dengan sweater hitam yang sebelumnya kupakai dan terakhir di tutupi dengan coat abu-abu tebal. Aku mengganti sweatpantsku dengan celana chino berwarna khaki.
Setelah selesai dengan pakaianku, aku langsung keluar kamar, tidak lupa menggapai tote bag putih dibelakang pintu kamar kami - aku dan Ray
Aku berjalan menuju dapur, mengambil botol minum dan mengisinya, tidak lupa juga mengambil wadah kecil yang berisi potongan buah-buahan dari dalam kulkas. Aku memasukkan botol minum dan wadah berisi buah ke dalam tote bag tadi. Kini aku benar-benar siap pergi bertemu dengan saudaraku, entah itu Lyra ataupun Louise. Tergantung, siapa yang lebih dulu datang menjemputku.
Aku berjalan melewati ruang keluarga dan kemudian berjalan menuju ruang tamu. Kini omega itu sedang terisak dalam pelukan Raymond. Aku yang melihat kejadian ini hanya bisa diam. Dadaku bergemuruh, tapi aku tidak bisa meluapkannya. Tidak, aku tidak boleh.
Akupun hanya berlalu. Berpura-pura tidak melihat mereka berdua yang sedang berada di sana. Aku mengambil winter bootsku dari rak sepatu dan kemudian memakainya.
"Lennox, kamu mau kemana?" Tanya Raymond.
Aku berbalik, padangan kami bertemu. "Aku ada janji dengan Lyra." Jawabku sambil tersenyum.
"Dia menjemputmu?"
"Kami bertemu di butiknya, jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."
Raymond melepaskan pelukannya dari omega yang masih tetap terisak dan bangkit dari duduknya.
"Tidak perlu mengantarku ke bawah, aku bisa sendiri." Ucapku sebelum dia beranjak dari posisinya. Aku melambaikan tanganku padanya sambil tersenyum, "See you later Ray."
Akupun membuka pintu dan kemudian menutupnya dengan cepat. Dadaku semakin sesak. Aku ingin menangis, ingin sekali. Tapi aku harus kuat, aku tidak boleh menangis atau bayi-bayi dalam perutku juga akan menangis.
.
.
.
Sudah sepuluh menit aku berjalan, kini aku sedang berada di depan taman yang berada tak jauh dari gedung apartemen yang aku tinggali. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman yang saat ini sedang sepi. Ya, siapa yang akan bermain di taman dengan cuaca sedingin ini.
Aku mendongak dan mentap langit yang berwarna putih seutuhnya. Aku tidak tahu harus kemana. Aku lupa membawa ponsel dan juga dompetku.
Kepulan asap keluar ketika aku menghela nafas. Setiap keluar aku selalu mengenakan pakaian seperti saat ini, tapi entah kenapa hari ini terasa sedikit berbeda. Entah ini perasaanku saja atau memang hari ini lebih dingin dari hari-hari sebelumnya.
Aku kembali menghela nafasku. Pikiranku kembali mengingat omega yang kini sedang bersama Raymond di penthousenya. Siapa omega itu? Apa hubungannya dengan Raymond? Apa sebaiknya aku kembali? Tapi itu urusan mereka, bukan urusanku. Tapi aku dan Ray adalah pair, harusnya itu juga menjadi masalahku. Aku benar-benar tidak tahu.
"Uncle, kenapa duduk sendiri?" Sebuah suara mengejutkanku.
Aku tidak sadar dengan keberadaan bocah kecil yang kini sedang berjongkok menatapku. Akupun membetulkan posisiku.
"Hey, anak kecil. Siapa namamu?" Tanyaku.
Dia berdiri, namun tidak menjawab pertanyaanku. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dia sedang berpikir saat ini.
"Kamu tidak tahu siapa namamu?" Tanyaku sambil menggodanya.
"Kata Mama, tidak boleh menyebutkan nama kepada orang asing."
Aku tersenyum dan kemudian mengacak-acak rambutnya. "Anak pintar. Tapi sekarang kenapa kamu sendirian, anak manis?"
Dia kemudian menoleh dan menunjuk ke arah sebuah toko roti dengan telunjuknya. "Mama sedang beli roti di sana." Ujarnya.
"Sini, duduk di sebelahku." Ujarku sambil menepuk space kosong di sebelahku.
Anak kecil inipun menurut dan duduk di sebelahku. Dia menatap ke depan sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
"Jadi, kenapa uncle sendirian di sini?"
"Aku sedang menunggu teman." Jawabku asal.
"Aku juga sedang menunggu Mama." Dia menjawab sambil menoleh ke arahku dan tersenyum.
Menggemaskan sekali. Ingin rasanya ku gigit pipinya yang terlihat kenyal dan menggemaskan. Ah, aku ingat aku membawa potongan buah di dalam tote bagku. Akupun mengeluarkannya dan kemudian membuka tutup wadah dan menyodorkannya kepada anak kecil di sebelahku.
"Ambilah." Ujarku sambil menawarkannya.
Dia terlihat bingung, sepertinya dia ragu untuk menerima tawaran dariku. Aku yang melihat tingkah lakunya hanya bisa tersenyum.
"Aku tidak akan menculikmu, tenang saja. Aku orang baik-baik."
Bocah kecil itu akhirnya menerima tawaranku. Dengan garpu kecil di genggamannya, dia memakan potongan buah dengan lahap sambil bercerita mengenai sekolahnya dan juga teman-temannnya. Dia juga memperkenalkan diri, namanya Isaac.
Ngiing..
Tiba-tiba kupingku berdenging dan kepalaku terasa sedikit sakit. Aku meringis sambil menutup telingaku sebelah kiri.
"Isaac!" Terdengar suara teriakan seorang wanita memanggil nama anak kecil yang duduk di sebelahku.
Isaac kemudian melompat dan berlari menuju wanita yang tadi memanggilnya. "Mama." Isaac kemudian memeluk wanita tersebut.
Wanita itu menggenggam tangan Isaac dan kemudian berjalan menuju ke arahku. Sambil menggenggam tangan Mamanya, mulut mungil Isaac terus menggumamkan sesuatu. Aku yang menyadari akan di hampiri Mamanya Isaac, dengan gerakan cepat langsung menutup wadah buahku, memasukkannya kembali ke dalam tote bag.
Aku kemudian berdiri. Wanita itu sedikit membungkuk sambil memberikan salam dan kemudian mengulurkan tangannya.
"Saya Mamanya Isaac, Viona, Viona Wilson. Maafkan saya jika Isaac merepotkan."
Aku menyambut uluran tangan tersebut, "Lennox, Lennox Selim." Ujarku memperkenalkan diri. "Tidak merepotkan sama sekali, Isaac anak yang manis." Ujarku sambil tersenyum.
"Nah Isaac, bilang terima kasih pada uncle Lennox." Ujarnya menyuruh Isaac untuk mengucapkan terima kasih padaku.
Isaac yang tadi tidak menunjukkan rasa malu sama sekali, kini bersembunyi di balik tubuh mamanya, "Terima kasih uncle Lennox." Ujarnya sambil malu-malu.
Aku pun berjongkok dan mengacak-acak rambutnya. "Terima kasih kembali."
"Oh, Lennox, maaf, aku sedang terburu-buru. Terima kasih telah menemani Isaac. Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Tidak apa-apa, senang bertemu dengan kalian berdua."
"Bye-bye uncle." Ucap Isaac sambil melambaikan tangannya.
Viona kemudian membungkuk dan berpamitan denganku. Aku masih dalam posisi berjongkok kini perlahan bangkit untuk berdiri. Tapi entah kenapa kepalaku terasa pusing sekali. Aku seperti akan pingsan. Tidak, aku tidak boleh pingsan disini. Batinku.