Download App
35.41% Let Go (Omegaverse) / Chapter 17: Best Friend

Chapter 17: Best Friend

Setelah memberikan tontonan kartun pada Nuri, Eckart menyeretku ke halaman belakang untuk berbicara. Gelagatnya sudah aneh sejak aku dan Nuri pulang ke rumah tadi. Mulai dari menunggu di depan rumah dengan tangan terlipat di dadanya, menatap sinis Raymond, hingga berbicara ketus padanya.

Aku mengerti Eckart tidak suka dengan keberadaan Raymond dan aku sebenarnya ingin protes, tapi aku sedang malas untuk memulai protesku padanya. Aku sedang tidak ingin berdebat. Tapi sepertinya tidak dengan Eckart, wajahnya yang sejak kepulanganku dengan Raymond sudah masam kini semakin ditekuk.

Eckart dan aku sedang duduk bersebelahan, dengan aku yang tertunduk lesu dan Eckart yang menatap lurus ke depan dengan tatapan yang tidak dapat aku deskripsikan. Sesekali aku melirik Eckart, dia tetap diam. Seperti tidak bergerak sama sekali. Pun tidak juga berbicara.

Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran bangku taman sambil menghela nafas, "Kalau cuma buat diam aku mending masuk."

"...."

Eckart tidak juga merespon. Ku putuskan untuk bangkit dan meninggalkannya sendiri. Tapi belum sepmat melangkah, pergelanganku ditangkap oleh telapak tangannya yang kokoh. Aku menoleh kebelakang, Eckart sedang menundukkan kepalanya.

"Apa lagi?"

"Duduklah."

Aku pun duduk kembali, genggaman pada tanganku pun di lepas.

"Sekarang apa?" Tanyaku sambil menatap wajah Eckart yang masih dengan emosi yang tidak bisa ku baca.

"Kenapa harus pergi dengan Raymond padahal kamu bisa memintaku untuk menemanimu dan Nuri?"

Aku mengernyitkan keningku, "Kenapa? Karena kamu kerja dan aku tidak mau mengganggu jadwal kerjamu."

"Jadwalku pulang cepat hari ini."

"Eckart, kita sudah bahas ini tadi pagi. Dan lagi, Raymond itu teman dekatku."

"Tidak ada teman dekat yang akan menandai temannya dengan feromonnya sendiri. Tidak juga melakukan sex dengan teman dekatnya."

"Eckart!" Bentakku. "Jaga ucapanmu kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang aku dan Raymond."

"Aku memang tidak tahu. Tapi jika aku adalah Raymond, aku tidak akan melakukan itu pada teman baikku sendiri. Dia membuatmu seperti omega murahan."

Dadaku bergemuruh, hatiku mulai memanas menahan emosi yang sudah sejak tadi pagi aku bendung. Aku mengepalkan tanganku. Tingkah Eckart yang seperti ini membuatku semakin emosi. Aku tidak mempermasalahkan jika hanya cemburu biasa. Tapi aku tidak suka jika dia berbicara buruk tentang Raymond.

Dan tadi apa dia bilang? Aku terlihat seperti omega murahan? Bukankan dia sudah keterlaluan?

"Hanya karena kamu bilang suka, bukan berarti kamu bisa mengatur dan mengomentari kehidupanku. Dan jangan sekali-sekali kamu berbicara seperti itu tentang Raymond, kamu tidak tahu apa yang sudah dia lakukan untukku."

Ya, Eckart tidak tahu berapa banyak waktu, tenaga dan juga materi yang sudah di korbankan Raymond untukku.

Di saat Ralph tunanganku sendiri meninggalkanku, bukan keluargaku yang gigih mencarikan informasi tentangnya, tapi Raymond yang membantuku. Ketika pertengkaranku dengan papa mencuat, Raymond yang mengusir bodyguard kiriman Selim tua yang hampir setiap hari datang untuk menyeretku pulang. Dan ketika Selim tua itu memutus semua aliran dana untuk biaya kehidupanku, Raymond yang bersedia membantuku.

Raymond selalu ada disaat dimana aku membutuhkannya. Aku ingat ketika aku selalu terbangun tengah malam karena mimpi buruk, Raymond ada disana memelukku dan menenangkanku.

Masih banyak hal-hal lain yang tidak bisa aku sebutkan. Raymond terlalu banyak berkorban untukku.

Jelas ini berbeda sekali dengan Eckart, dia baru saja mengenalku. Bahkan tidak tahu seluk-beluk kehidupanku. Tapi justru dia melarangku untuk dekat ataupun bergantung pada Raymond. Sikap posesif Eckart membuatku muak.

"... Dan tadi kamu bilang apa? Aku omega murahan?" Aku mendengus kesal. "Tolong jaga ucapanmu tuan alpha yang terhormat. Jika aku omega murahan, bukankah itu artinya seleramu sangat rendah sekali karena menyukai omega murahan sepertiku?"

Setelah menyelesaikan kata-kataku. Aku berdiri dan bergegas meninggalkan Eckart sendirian di sana. Hatiku terlalu sakit, tidak cukup dengan pertemuanku dengan Ralph yang membuat hari-hariku tidak tenang, Eckart yang aku kira akan memberikan warna baru dalam hidupku justru berbicara hal-hal seperti itu.

Aku mengunci diriku di kamar dan mulai menumpahkan air mata yang sudah sejak tadi kutahan.

Kemana Eckart yang beberapa hari yang lalu memelukku, menciumku mesra dan menyatakan dia menyukaiku? Kenapa justru dia bertingkah seperti tadi? Bukankah cemburunya sudah keterlaluan? Beribu pertanyaan muncul di kepalaku namun aku tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu.

Aku sudah terlalu lelah dengan kembalinya Ralph, sekarang ditambah dengan sikap Eckart yang semakin posesif dan membuatku muak.

Drrt.. Drrt...

Getar ponsel menghentikan pikiranku yang sudah berlari-lari entah kemana. Aku mengatur emosiku dan menghentikan tangisku. Aku meraih benda hitam itu dan langsung menerima panggilan tersebut.

"Ray, jemput aku sekarang juga." Ujarku tanpa memberi kesempatan Ray berbicara.

"Kamu gila? Aku baru sampai di restoku."

"Please."

"Kamu kenapa Len?"

Mendengar pertanyaan dari Ray membuat mataku kembali memanas, kejadian di halaman belakang tadi kembali terulang. Aku sudah siap memuntahkan air mataku lagi, tapi aku sadar dengan keadaanku sekarang, aku harus menahannya.

"Aku tidak bisa cerita sekarang." Jawabku dengan suara yang mulai bergetar.

"Okay, okay, tunggu aku. Jangan menangis, ku mohon." Terdengar suara langkah tergesa-gesa dari sana.

Aku tidak ingin menangis, tapi entah kenapa setelah mendengar suara Raymond air mataku keluar lagi. Aku mulai terisak. Dadaku semakin sesak.

"Lennox, jangan membuatku khawatir. Jangan tutup telponnya okay?"

Aku mengangguk begitu saja, padahal percuma saja karena Raymond tidak akan melihat anggukanku.

"Hey, jawab aku."

"Ya.." Jawabku lirih.

Deru mesin mobil yang di pacu dengan kecepatan penuh terdengar dari sambungan telpon. Ray tidak berbicara apa-apa, begitu juga denganku. Telpon yang tadi menempel di telingaku kini kuletakkan di atas kasur dalam keadaan loudspeaker yang menyala.

Aku mencoba mengatur emosi sambil meraih ranselku yang berada di atas meja kerja kecil tak jauh dari tempatku terduduk tadi. Aku merapikan beberapa pakaian dan beberapa keperluan pribadi, memasukkannya ke dalam ransel. Menginap di apartemen Raymond, itulah rencanaku saat ini.

"Keluarlah, aku sudah di depan."

Normalnya butuh sekitar empat puluh atau tiga puluh menitan. Tapi berhubung dia mengendarai dengan sangat cepat, Ray sampai hanya dalam waktu dua puluh menit.

"Baiklah." Aku mematikan sambungan telpon dan kemudian berjalan menuju pintu kamar.

Sebelum membuka pintu kamar, aku berdiri mematung sambil memantapkan hatiku untuk benar-benar pergi meninggalkan rumah Eckart untuk beberapa hari.

Cklek..

Aku menutup pintu kamarku. Sambil mengendong ransel hitam di punggungku, aku berjalan melewati kamar mandi, lalu dapur dan kemudian ruangan yang sangat tidak ingin aku lewati, ruang keluarga. Eckart duduk disana bersama Nuri.

"Aku mau pergi dulu." Ujarku dengan nada yang sialnya tetap saja bergetar meski sudah ku tahan sedemikan rupa.

Eckart menatapku dengan tatapan tidak percaya, "Kamu mau pergi kemana?" Tanyanya sambil bangkit dari duduknya.

"Bukan urusanmu." Jawabku asal.

Nuri yang sepertinya mengerti bahwa aku akan pergi, berlari dan kemudian memeluk kedua kakiku dengan erat.

"Lenny jangan pergi." Ujarnya sambil menangis.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C17
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login