Keadaan langsung canggung setelah kecupan singkat itu. Baik Night maupun Eliana sama-sama tak tahu harus bagaimana di menit selanjutnya. Mereka hanya saling berpandangan dengan gugup. Yang akhirnya membuat sang putri membalikkan badan. Membelakangi Sang vampir yang masih menyentuh pipinya.
"Ja-Jadi, sa-sampai nanti malam, T-Tuan. A-Aku akan menunggu," ujar Eliana sedikit terbata-bata.
"Y-Ya. Sampai jumpa nanti malam, Tuan Putri." Night menyahut cepat. Akhirnya tersenyum pada Eliana. "Saya pasti akan menjemput Anda lagi."
Setelah itu dengan kekuatannya yang cahaya, mahluk itu segera menghilang dari sana.
***
Senyuman tak kunjung hilang dari wajah Night bahkan sesampainya ia di kerajaannya. Pembicaraannya dengan Eliana tadi urung menghilang dari pikirannya. Senyuman wanita itu, tatapan, canda tawa, lalu ditambah dengan aksinya tadi.
'Semua itu membuatku bahagia.'
Awalnya ia berniat untuk mendalami perasaan ini lebih jauh. Rasanya dia ingin kembali keluar, duduk di atas bukit sambil memandangi istana kerajaan manusia itu hingga Eliana selesai menghadiri acaranya. Namun semua itu hanya menjadi sebatas rencana ketika ternyata seseorang sudah terlebih dahulu menduduki salah satu sofa di kamar tidurnya. Sosok itu kini menatapnya dengan pandangan yang dingin.
"Akhirnya kau kembali juga. Aku hampir menjadi batu menunggumu di sini," ucapnya dingin.
"K-Kevin?" Night bergeser mendekati sofa. Duduk menghadap suadara kembarnya itu.
Ketiga sosok di masa lalu itu sama-sama tertarik dengan kemunculan satu-satunya Pangeran yang sejak tadi tak terlihat.
"Kevin, tentu saja aku akan mengingat wajah dan suaranya…." Night bergumam pelan. Tatapan sendu juga terlihat setelahnya. "Tapi… apa benar kalau dia benar-benar sudah meninggal kini?"
Larry menghela napas berat dan menganggukkan kepalanya. "Begitulah, Yang Mulia. Beliau sudah tidak berada di dunia ini lagi.
Night menghela napas berat. Langsung merasakan sedih.
Kembali ke masa lalu….
"Apa yang membawamu kesini?" Night akhirnya bertanya lagi.
"Dari mana saja kau?" Kevin malah balas bertanya.
"Hum… aku keluar." Night tampak sedikit ragu menjawab pertanyaan itu. Ia tahu kalau Kevin malah makin tidak akan suka kalau ia berterus terang. "Mencari udara segar…" sambungnya mencari alasan.
"Sebagai seorang raja, bukankah kau seharusnya menghentikan kebiasaanmu yang suka meninggalkan istana itu? Semua orang terus membicarakan hal ini, apalagi sejak kau ditunjuk sebagai seorang pemimpin. Apa kau tak tahu kalau ada begitu banyak rakyat yang menentang kekuasaanmu?"
Night menghela napas. Tentu ia tahu tentang semua itu. Bahkan walau sebelum dirinya diangkat sebagai raja pun, sudah banyak pihak yang membicarakan kebiasaannya itu. Sama seperti anggapan dua saudara kembarnya yang lain, di luar sana masih banyak bangsa vampir yang menolak mengakuinya sebagai pemimpin yang baru. Mereka mengangapnya lemah dan tidak becus.
Namun masalahnya Night tidak tahu apa yang salah dengan hal itu. Ia hanya ingin bersenang-senang dengan mencoba mempelajari kehidupan bangsa manusia, apa hal itu terlalu salah untuk dilakukan? Lagipula semua konflik perebutan kekuasaan ini sungguh membuatnya pusing. Andai mereka tahu kalau saja bukan karena wasiat ayahandanya, maka ia akan dengan sukarela menyerahkan mutiara yang mereka perebutkan ini. Ia tak butuh sama sekali.
"Aku butuh waktu untuk membiasakan hal ini—"
"Sampai kapan kami harus menunggumu? Kau menunggu perang benar-benar pecah dulu?" Kevin memotong ucapannya. "Night, apa kau peduli dengan keadaan istana? Apa kau tahu tahu kekacauan seperti apa yang tengah terjadi saat ini."
"Aku—"
"Tentu kau tak tahu apapun, bukan? Padahal sebagai seorang raja, kau memiliki tanggung jawab untuk mengetahui apa yang terjadi dan tindakan yang perlu dilakukan. Namun kau seperti tak peduli."
Night tampak kehabisan kata-kata, tak mengatakan apapun. Karena di titik ini ia tahu bahwa ia telah melalaikan tugasnya, akibat mewujudkan keinginannya menghabiskan waktu bersama Eliana. Sebenarnya semua ini membuatnya bingung. Harusnya ia memakai otaknya, namun hati ini tak bisa diustai.
"Tolonglah. Ini semua juga tidak mudah bagiku…." Night akhirnya bersuara. Ia mendesah pelan sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sofa. "Aku hanya ingin menemukan jalan tengah dari permasalahan ini. Karena mulai dari sekarang kerajaan ini berjalan sesuai dengan kekuasaanku, maka aku juga ingin mengubahnya seperti yang aku inginkan. Aku tidak suka kehidupan yang terlalu kaku. Aku ingin diberi kebebasan—"
"Kebebasan? Kebebasan seperti apa lagi?"
"Aku ingin menjalani kekuasaan dengan caraku. Aku bisa kok menjalaninya dengan lebih santai. Maksudnya, aku tak perlu harus selalu berada di istana seperti Ayahanda. Aku bisa tetap memimpin negeri ini walaupun sesekali bermain-main di luar istana."
"Yang benar saja. Hal itu mustahil."
"Kenapa kau langsung berpikiran begitu? Padahal kita belum pernah mencobanya?" Night menyela ucapannya. "Kevin, aku masih dalam proses belajar dan membiasakan diri. Aku tak mungkin mantap dengan segera, tapi yang pasti aku pun merasa sangat bertanggung jawab dengan tugas ini. Ayahanda mempercayakannya langsung padaku, sehingga tak mungkin kusia-siakan begitu saja. Jadi… bisa kau memberi kepercayaan padaku? Tolong bantu aku. Tolong selalu berada di pihakku."
"Tentu saja kau bisa melakukan hal itu, tapi bagaimana dengan seluruh kekacauan ini?" Kevin terus menyampaikan opininya. "Namun satu hal yang pasti, terlebih dahulu kau harus mengumpulkan kepercayaan rakyat dulu terhadapmu, Night. Sejujurnya masih banyak yang meragukan kepemimpinanmu. Mereka belum menganggapmu sebagai raja. Karena bahkan hingga saat ini saja Justin dan Kris masih mnentangmu. Kalau dibiarkan mereka bisa saja melakukan hal yang nekat dan menghasut lebih banyak vampir untuk memerangimu sehingga pada akhirnya keadaan jadi semakin tak terkendali. Ingat Night, Ayahanda memilihmu sebagai pelindung kerajaan jadi jangan sampai kau malah menghancurkannya."
Night kembali terdiam kehilangan kata-kata.
"Oleh sebab itu, aku ingin kau mulai mengambil sikap, Night. Berhenti bermain-main seperti ini." Kevin kembali bersuara. Kali ini tampak bangkit kembali dan berniat meninggalkan tempat itu. Kembali ditatapnya Night dengan tatapan datar. "Kau tahu kalau aku selalu berada di pihakmu, bukan? Karena itu jangan buat aku menyesali keputusanku itu. Jangan sia-siakan itu," kata Kevin terakhir kalinya sebelum meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Night yang hanya bisa mendesah frustrasi.
Setelah ucapannya itu Kevin menghilang dari hadapannya, meninggalkan Night yang mendesah panjang dan kebingungan.
"Tapi untuk pertama kalinya aku menemukan kebahagianku, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkannya begitu saja? Tunggu saja. Aku berjanji akan menemukan jalan keluar terbaik untuk permasalahan ini," gumam sang raja sambil mengusap wajahnya.
***
Setelah meninggalkan pesta kerajaan tadi, Eliana kembali ke kamarnya. Dia menolak menanggalkan dandanan di tubuhnya, beralasan pada para dayang kalau dia akan melakukannya sendiri di kamar. Padahal nyatanya gadis itu ingin menemui Night dalam keadaan sangat cantik seperti sekarang. Malam ini dia ingin tampil menawan di depan sang vampir.
Kembali teringat olehnya perpisahan mereka tadi, dan hal itu langsung membuat jantungnya berdebar kencang. Satu langkah penuh keberanian tadi seakan telah merubah tekad di dalam dirinya. Mendorongnya untuk lebih mengungkapkan perasaan yang selama ini dirasakannya pada sang vampir.
"Kuharap walaupun orang lain menganggap perasaan ini salah, namun semoga langit tetap mendukungku. Aku bukan orang yang mementingkan pendapat orang lain. Menurutku asalkan Tuan Night merasakan hal yang sama, maka hal itu sudah cukup. Kami bisa tetap menjalin hubungan walaupun harus secara sembunyi-sembunyi seperti sekarang."
Eliana berbisik pelan sambil menengadahkan pandangannya ke langit. Bintang selalu bertaburan dan terlihat indah setiap kali dia memikirkan Night.
Tak berapa lama menunggu, samar-samar dia dapat mendengar suara kedatangan seseorang di kamar itu. Langkah memang itu datang tanpa suara, namun Eliana begitu hapal dengan aroma khas yang selalu tercium dari sosok sang vampir. Dia bahkan sudah sangat terbiasa dengan perasaan yang dirasakannya setiap kali Night menapakkan kakinya di sana.
Menepis perasaan gugup yang dirasakannya, sang putri mengumpulkan segala keberanian. Dengan senyuman terbaik di wajahnya, gadis itu berbalik. Bersiap menyambut orang yang ditunggunya.
"Tuan…."
Ucapannya menggantung. Karena bagaimana tidak? Di depannya kini bukanlah Night, melain ada sesosok mahluk asing memberikan seringan licik kepadanya.
***