"Haah… ini tak mempan."
Setelah menghilang selama beberapa detik, Night muncul lagi di depannya. Mahluk itu menyentuh bagian pipinya yang terbakar. Membuatnya mulus lagi seperti tak pernah tersentuh.
"Sepertinya makanan manusia juga bukan solusinya. Aku tetap saja terbakar."
Sementara itu Honey sedang duduk di meja sambil memainkan ponsel. Tampak mulai sangat terbiasa dengan kehadiran mahluk aneh ini, serta tindak-tanduknya yang janggal. Malah kini berulang kali ia merasa tak habis pikir dengan dirinya.
"Jadi itu yang kau cari? Solusi untuk bisa tetap hidup di bawah sinar matahari."
Night mengangguk lesu. "Ya begitulah. Kau tahu jawabannya?"
"Mana aku tahu. Emangnya aku mahluk sejenis dirimu."
"Siapa tahu saja." Night kini mendudukkan tubuh di sampingnya. Bibirnya tampak cemberut. Helaan napas terdengar berulang kali. "Aku benar-benar harus segera menemukannya. Soalnya kalau tidak… aku nggak akan bisa bertahan lama. Sekarang sih aku memang hanya perlu bertukar tempat saat siang menjelang. Tapi semakin lama kekuatanku akan melemah, lalu bahkan aku bisa saja mati."
Honey takt ahu harus bereaksi seperti apa. Bukannya mau mendoakan yang buruk, tapi bukankah kalau mahluk ini sirna maka hal itu adalah hal yang terbaik baginya? Hidupnya tak akan diteror lagi.
"Tch, dasar manusia rendahan. Saat keadaannya begini pun, kau malah mendoakanku untuk tetap meninggal. Apa-apaan ini? Kupikir kita sudah mulai berteman," omel Night sambil sedikit sinis padanya.
Honey hanya bisa tersenyum hambar. Tak berniat sekalipun untuk menolak tuduhan itu, karena memang benar itu adanya. Walau tentu saja… dipikir-pikir dia kejam juga mengatakan hal seperti itu langsung pada orangnya.
"Memangnya… kau tak punya teman vampir yang lain. Kau bilang kalau vampir bisa hidup dengan sangat lama. Bukankah berarti mereka seharusnya juga masih hidup?" tanya Honey mulai melempar topik lain.
"Maunya begitu… tapi aku tak ingat apapun. Sudah kubilang kan kalau aku benar-benar hampir melupakan seluruh ingatanku. Saat ini aku hanya ingat namaku saja."
"Oh iya." Honey kembali menyahut datar. "Terus apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan terus berusaha mencari-cari vampir lain di sekitar kamu untuk bertanya? Di dunia yang sebesar ini."
"Memang sulit. Tapi aku pasti akan menemukannya. Samoak sekarang saja aku tak percaya telah mati suri selama 400 tahun lamanya. Aku tak akan biarkan hal itu terjadi lagi, bahkan kalau sampai harus membuatku musnah."
Setelah mengatakan itu Night menghilang lagi. Menyisakan Honey sendirian di sofa ruang tamunya. Gadis itu hanya bisa menghela napas sambil lanjut memainkan ponselnya. Membiarkan Night menyelesaikan urusannya sendiri.
***
"Honey, bagaimana kalau malam ini kamu ikut party sama kami?"
Shaena bertanya dengan semangat begitu Honey menghampiri mereka di kantin kampus. Wajah semuanya tampak cerah, tentu saja kecuali teman kami yang tomboy Ariel. Gadis dengan rambut pendek berwarna hitam pekat itu hanya meladeni teman-temannya dengan setengah hati.
"Memangnya party apa?" tanya Honey tertarik.
"Ada anak orang kaya di kelas kami yang berulang tahun, dan dia mengadakan pesta yang cukup gila-gilaan di salah satu kelab malam di pusat kota. Dia mengundang semua anak jurusan Manajemen Bisnis satu angkatan. Jadi kita semua termasuk yang diundang."
Keren sekali sebenarnya. Pasti menyenangkan dapat merayakan ulang tahu dengan meriah dan dihadiri oleh banyak orang.
Sejujurnya Honey ingin pergi. Walau tak seperti Jessica, Shaena, dan Hana yang bisa sangat gila-gilaan clubbing. Dia juga begitu menikmati bersenang-senang dengan para sahabatnya. Namun bagaimana kalau hal ini malah membuatnya mendapat masalah dari Night.
'Apa kau segitu ingin perginya?'
Lagi. Tanpa peringatan, suara Night terngiang lagi. Kembali tanpa permisi dan wujud.
'Memangnya boleh?' Honey berbisik di dalam hati.
'Tentu. Dari awal aku tak pernah melarangnya untuk berhenti melakukan apa yang kau suka. Aku tak pernah memintamu untuk berhenti bersenang-senang. Yang aku inginkan agar kau tak memberitahukan pada siapapun soal diriku, karena hal itu tak gunanya. Selain itu kau harus kembali ke rumah dan tak perlu menghindar seperti orang bodoh.'
Sebenarnya nada bicara Night menyebalkan sekali. Kenapa kini ia malah bertindak sebagai orang tuanya begini? Kenapa Honey harus tunduk padanya, padahal ialah yang memiliki rumah? Namun dengan keadaan sekarang mau tak mau memang beginilah hubungan mereka.
'Oke. Tentu saja aku akan pulang, karena itu rumahku. Aku juga tak akan cerita masalah kita pada siapapun – karena memang hanya akan membuatku terlihat seperti orang bodoh. Yang jelas kamu tunggu saja di rumah. Lagipula kau sendiri sepertinya sibuk mencari rekan sesama vampirmu. Bagaimana? Sudah kau temukan?'
'Belum. Aku sudah berpindah dari banyak negara tapi tak ada kabar baik. Tak ada satu pun.'
'Wow. Hebat memang sekarang kau di mana.'
'Dari papan nama yang tertulis di sini, katanya ini ada di sebuah negara bernama Mexico.'
'Wahhh….'
Hampir saja Honey berseru takjub dengan apa yang didengarnya. Namun dengan cepat ditahan, agar tak mendatangkan keheranan dari teman-temannya yang kini asyik bercerita soal pesta.
'Ya sudah. Urus saja urusanmu di sana, aku juga akan mengurus hidupku. Kurasa ini akan lebih baik untuk kita berdua. Kalau begitu sampai jumpa nanti dirumah. Bekerja keraslah.'
'Ya. Sampai jumpa di rumah.'
"Honey? Kenapa diam saja? Jadi bagaimana pendapatmu? Kamu setuju atau tidak?" tanya Jessica kembali mengejutkannya.
"Ayo ikut saja. Ada banyak senior yang tampan, tahu? Siapa tahu kan kita semua akhirnya bisa dapat pacar? Jadi tentu saja aku tak akan melewatkannya," ucap Hana dengan sangat bersemangat.
Shaena juga terus membujuknya, sementara Ariel hanya duduk tenang sambil memberikan senyuman tipis.
Bagaimana mungkin Honey menolak permintaan mereka semua.
"Tentu saja aku ikut. Siapa coba yang tak suka bersenang-senang. Apalagi kita kan sudah lama tidak berpesta seperti ini."
Semua orang tersenyum lebar dan senang.
***
"Apakah populasi 2% dari jumlah manusia itu sangat sedikit? Kenapa sulit sekali menemukan vampir lain?"
Lelah mencari-cari, akhirnya Night menyerah. Ia memutuskan duduk bersantai di puncak gedung tertinggi, Burj Khalifa. Memandang kesibukan manusia di bawah sana.
"Atau… mungkinkah mereka masih hidup berkoloni? Yaitu tinggal di satu tempat yang sama seperti dulu? Sehingga itu sebabnya, mencari di seluruh belahan dunia begini tak akan berguna. Aku hanya perlu menemukan satu tempat yang tepat untuk menemukan mereka. Tapi di mana?"
Night mendesah lelah. Memandang segala hal di sekitarnya dengan tanpa bersemangat.
"Tapi bukankah ingatanku sangat aneh? Aku ingat nama dan sedikit soal kehidupan masa laluku, tapi tak ingat hal selain itu. Aku tak tahu dari mana asalku, di mana tempat tinggalku, ataupun siapa saudara maupun koloniku. Otakku kosong seperti langit tanpa awan." Night juga jeda begitu mengingat hal lain. "Juga… aku tak mengerti kenapa sekarang tiba-tiba aku dibangunkan setelah 400 tahun lamanya. Serta… kenapa Honey yang membukakan peti itu? Apa istimewanya gadis itu, sehingga bisa mengubah takdirku seperti ini?"
Semua jawaban itu, tak akan didapatkannya hanya dengan merenung seperti ini. Karena pasti suatu hari nanti waktulah yang akan memberitahukan padanya tentang semua yang terjadi di hidupnya kini.
***
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!