Victor masuk ke dalam kamar Stefano. Dia baru saja mengantar keluar Dokter yang baru saja memeriksa Fano.
Laki-laki dingin itu jatuh sakit setelah badai menerpa hidupnya. Tapi setidaknya pada akhirnya Rindi pulang, dan sekarang sedang memasak bubur di dapur.
Victor melihat Fano sedang memejamkan mata. Iseng Victor mendekatkan wajahnya pada Fano.
"Aku belum tidur, Vic. Jangan memandangiku sedekat ini, jantungku berdegup tidak karuan," ujar Fano santai dan tanpa ekspresi.
Victor membulatkan matanya kemudian reflek menjauh dari wajah Stefano. Dengan pelan Fano membuka mata lalu memandang ke arah Victor. Senyum tipis terukir di bibir pucat Fano. Dia kemudian berusaha bangun dan duduk bersandar.
"Kenapa Kau tidak tidur saja, Hyung? Kau pasti kelelahan makanya sampai demam," ucap Victor kemudian duduk di tepi ranjang.
Stefano menggelengkan kepalanya pelan kemudian memandang ke arah pintu yang tertutup. Dia sedang mencari keberadaan istrinya yang tidak ada di dekatnya saat ini.
"Mana Rindi? Dia tidak pergi lagi kan dari rumah?" tanya Stefano pada Victor.
Victor reflek tergelak kemudian memukul lengan Stefano pelan. Ternyata kalau sudah bucin, Hyung tertua ke dua di grupnya dulu ini bisa over thinking juga.
"Dia sedang memasak bubur untukmu, Dokter bilang ususmu meradang karena tidak ada makanan di dalamnya. Kalau sampai Kau lanjutkan mogok makan, Kau akan mati karena ususmu busuk!" sahut Victor berkelakar. Lagi-lagi Victor tergelak melihat ekspresi Stefano yang kesal padanya.
"Ususku busuk nanti bisa minta sedikit ususmu yang panjang dan banyak makan," timpal Stefano tanpa ekspresi dan kemudian mendengus kesal.
Ada di sekitar Victor saat sedang sakit, bisa-bisa semakin menambah parah penyakitnya.
Victor yang masih tertawa semakin keras saja tertawa mendengar kalimat savage Stefano. Keduanya berhenti melanjutkan pembicaraan random saat Rindi masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur.
"Itu...bidadarimu sudah datang. Aku pamit pulang dulu, kalau butuh apa-apa kabari Aku," ucap Victor kemudian berdiri.
"Kamu tidak makan malam sekalian di sini? Jay baru saja telephone Dia dan yang lain sedang menuju kesini," ujar Rindi kemudian meletakkan nampan di meja samping ranjang.
Mata Victor berbinar mendengar kata makan malam. Dia kemudian kembali duduk di ranjang, dan mengambil mangkuk yang ada di atas meja.
"Biarkan Aku menyuapi, Fano Hyung. Kalau Kau akan masak, pergi saja masak. Dia aman bersamaku," ucap Victor lalu menaik turunkan alisnya memandang Rindi.
Rindi tertawa kecil kemudian menganggukkan kepalanya. Dia sudah akan berjalan pergi meninggalkan kamar Fano, namun kemudian tangan Rindi di tahan oleh Fano. Rindi menoleh pada suaminya.
"Ada apa? Kamu butuh sesuatu selain bubur?" Tanya Rindi lalu mendekat ke ranjang Stefano. Victor sendiri memandang Stefano juga, Victor khawatir kalau Fano kesakitan.
"Jangan masak apa-apa, temani Aku di sini. Biarkan Dia saja yang membuat makan malam, Aku mohon!" Pinta Stefano manja.
Ini kali pertama Stefano merasa benar-benar butuh Rindi di sampingnya. Perutnya memang sedikit sakit, tapi Dia tidak butuh makanan. Yang Dia butuhkan ada Rindi di dekatnya.
Rindi dan Victor saling memandang sekarang, sikap manja Stefano ini membuat Rindi dan Victor sedikit tidak percaya kalau di depan mereka ini laki-laki yang biasanya bersikap dingin dan irit bicara.
***
Rindi meringsut pelan turun dari ranjang. Ini kali kedua mereka tidur dalam satu kamar. Belum juga Rindi benar-benar turun tangannya sudah di cekal Fano lagi.
"Jangan turun dulu, temani Aku tidur. Perutku sakit," lirih Fano masih dalam posisi mata terpejam.
Rindi mengurungkan niatnya untuk bangun. Rindi mendekat lagi ke arah Fano, tangan Rindi kemudian memegang tangan Fano. Rindi terbelalak merasakan suhu tubuh Fano yang panas.
"Kamu demam? Kenapa tidak bangunkan Aku dari tadi. Aku ambil kompres dulu buat Kamu," ujar Rindi yang kemudian memegang kening Fano yang panas.
Stefano menggelengkan kepalanya lalu menggenggam tangan Rindi kemudian.
"Tidak usah, Kamu disini saja temani Aku," lirih Fano lagi. Suaranya benar-benar lemah sampai-sampai Rindi kesulitan mendengar perkataan Fano. Rindi mengangguk patuh lalu meringsut mengambil posisi nyaman duduk di samping Fano.
Sedangkan Stefano sendiri semakin mendekatkan dirinya pada Rindi. Fano melingkarkan tangannya pada pinggang Rindi pelan. Fano menghela napas kemudian tersenyum tipis. Matanya tetap terpejam, Dia benar-benar merasa kesakitan sebenarnya. Tapi Dia tidak mau Rindi panik maka Dia menahannya berharap akan membaik secepatnya. Rindi menghela napas dan mengusap kepala Fano pelan, Dia benar-benar khawatir pada kondisi Stefano saat ini.
"Tidurlah! Kalau nanti tidak membaik juga, Kita ke rumah sakit," ucap Rindi pelan. Kepala Fano mengangguk mengiyakan.
Setelah beberapa waktu brerlalu, Rindi bisa turun dari ranjang dan sedang menghubungi Jay saat ini.
"Dia sudah bisa tertidur kembali, hanya saja suhu badannya tidak kunjung turun. Kita harus membawanya ke rumah sakit, Jay," ujar Rindi via telephone.
Jay membenarkan pemikiran Rindi. Jay bilang akan segera ke apartemen Rindi dan Stefano. Karena Dia tahu pasti Rindi tidak bisa mengendarai mobil. Lagi pula Rindi sudah pasti tidak tahu arah.
"Aku tunggu, Jay," tutur Rindi lagi kemudian memutus sambungan telephone.
Rindi menoleh ke arah ranjang, Stefano masih tidur dengan posisi menahan sakit. Keringat dingin membanjiri keningnya sekarang. Napasnya bahkan tidak teratur, Rindi berjalan mendekat kemudian duduk di tepi ranjang. Dengan telaten Rindi menyeka keringat dingin Fano.
"Maaf, ini semua karena Aku. Kalau saja Aku tidak pergi dari rumah, Kamu tidak akan sakit seperti ini," ucap Rindi penuh sesal.
***
Bang Hyu Sik berjalan beriringan dengan Hyu Jin anak gadisnya. Mereka berjalan sedikit tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Itu semua karena desakan Hyu Jin yang mengharuskan Ayahnya berjalan lebih cepat.
"Ayo, Appa lebih cepat sedikit," ucap Hyu Jin kemudian menyeret Ayahnya.
"Tenanglah! Dia hanya sakit biasa, bukannya sekarat. Ayahmu ini sudah tua kalau harus berjalan secepat ini," gerutu Bang Hyu Sik tapi tetap mengimbangi langkah anak gadisnya semata wayang ini.
Hyu Jin langsung menubruk memeluk Fano yang duduk bersandar di ranjang rawatnya. Rindi membulatkan matanya terkejut melihat kelakuan Hyu Jin. Dengan sopan Stefano mendorong tubuh Hyu Jin.
"Kau membuatku kesusahan bernapas," ucap Fano sambil melirik Rindi. Dia takut Rindi kembali sakit hati melihat kedekatan mereka berdua.
"Kau sakit kenapa tidak menelponku? Bukankah Kita sangat dekat, Kau bisa mengandalkanku, Fan," ucap Hyu Jin sedikit merajuk.
Bang Hyu Sik melirik Rindi lalu kemudian berehem pelan. Bang Hyu Sik kemudian beralih memandang Stefano.
"Sejak kapan Kau sakit? Jadi karena ini Kau beberapa hari ini tidak berangkat kerja?" tanya CEO di perusahaan Stefano bekerja itu.
Stefano mengangguk mengiyakan perkataan Bang Hyu Sik, walaupun tidak semuanya benar. Dia terlalu malas untuk menjelaskan semuanya pada atasannya itu.
"Maaf, Chan harus banyak istirahat. Apakah anda-anda semua bisa membiarkan, Chan istirahat tanpa gangguan?" ucap Rindi sedikit menambah volume suaranya.
Stefano memandang istrinya kemudian tersenyum terkulum. Ini kali pertama Rindi sedikit berani, berbicara dengan sedikit lantang.
Hyu Jin memandang Rindi tidak senang, sedangkan Bang Hyu Sik mendengus mendengar perkataan Rindi. Hyu Jin sudah akan menghampiri Rindi, tapi Bang Hyu Sik lebih dulu mendekat pada istri Stefano itu.
"Berani-beraninya Kau mengusir Kami, apa Kau lupa posisimu di sini? Bukankah waktu itu Aku sudah memperjelas posisimu," ujar Bang Hyu Sik penuh penekanan dalam kata-katanya.
Rindi memandang Bang Hyu Sik, Stefano sendiri mengerutkan keningnya bingung. Apa maksud dari perkataan Bang Hyu Sik baru saja. Stefano sudah akan membuka mulutnya tapi Rindi sudah lebih dulu membuka mulut.
"Aku disini sebagai istri Stefano Chan, Kami memang belum terdaftar di catatan sipil. Tapi di keyakinan Kami, ini semua sah. Sebelum, Chan mengucap cerai padaku. Aku tetap istrinya, terlepas Anda suka atau tidak," ucap Rindi memberanikan diri memandang Bang Hyu Sik saat berbicara.
"Apa maksudmu pernikahan kalian belum tercatat di sipil? Kalian belum mendaftarkannya sampai sekarang?"
Suara berat Ayah Stefano membuat semua orang menoleh ke arah pintu saat ini. Rindi sendiri tercengang karena tiba-tiba saja Ayah mertuanya itu sudah ada di ambang pintu.
"Aeboji," lirih Stefano memanggil Ayahnya.
***