Download App
11.11% Biarkan Cinta Memilih / Chapter 32: Tiga Puluh Satu

Chapter 32: Tiga Puluh Satu

"Capek gue kalo gini terus, Sha."

Aldi memasuki rumah Salsha dan melemparkan tasnya secara asal di sofa. Aldi melangkahkan kakinya menuju dapur dengan perasaan kesal. Aldi tidak pergi sekesal ini sebelumnya selama di Jakarta. Bagaimana bisa ia menunggu tanpa tujuan selama kurang lebih lima jam.

"Capek gimana maksud lo?" tanya Salsha sembari mengikuti langkah kaki Aldi.

Aldi membuka kulkas dan mengambil air dingin dari dalamnya. Menuangnya di gelas dan menenguknya hingga kandas. "Capek kalo harus ngumpet-ngumpet kayak tadi."

"Baru sekali udah ngeluh aja lo," Salsha menatap Aldi sinis. "Gue dari tadi bingung mikirin alasan biar Dinda cepat pulang. Pusing otak gue mikirinnya. Sementara lo cuma santai, bebas ngelakuin hal di luaran sana."

"Lo pikir enak nunggu hampir lima jam di cafe sendirian kayak orang gila?" Suara Aldi mengeras. Ia terbawa emosi. "Gue nggak kenal siapa-siapa disini. Gue cuma pendatang yang nggak punya teman disini, trus di suruh nunggu berjam-jam. Otak lo taro dimana?"

"Emangnya gue tau kalo Dinda bakal main kerumah gue atau gue tahu kalo Dinda bakal lama mainnya?" Salsha tak ingin di salahkan sepenuhnya. "Gue juga nggak diam aja. Gue putar otak buat ngusir dia secara halus dari sini. Lagian kan lo cowok, harusnya lo cepat beradaptasi sama orang. Makanya jangan cuma dekat sama satu orang aja. Saat orang itu udah punya pacar, punya kehidupan baru jadi orang dongo kan, lo!"

Aldi meletakkan gelas kosong di atas meja dengan sedikit keras menyebabkan bunyi nyaring yang membuat Salsha kaget.

"Lo kok jadi bawa-bawa Bella, ya?" Aldi menyunggingkan senyum sinisnya. Emosinya benar-benar ingin meledak sekarang. "Belum bisa nerima kenyataan lo?"

"Gue nggak bawa-bawa dia. Gue cuma ingatin lo buat nggak temenan sama satu orang aja. Temenan sama banyak orang. Biar lo punya relasi dimana-mana. Jadi kalo lo sendirian, lo punya orang bisa lo hubungi." Salsha tak habis pikir dengan Aldi. Lelaki itu menyalahkan dan membesar-besarkan masalah.

"Kok lo jadi nyalahin gue?" tanya Aldi kesal. "Disini lo yang salah. Lo nyuruh gue buat nggak pulang kesini sebelum Dinda pulang!"

"Gue nyuruh lo nggak pulang sebelum Dinda pulang biar dia nggak tau kalo kita tinggal serumah!" kata Salsha juga mulai ikut terbawa emosi. "Kenapa lo jadi marahin gue?"

Aldi menghela nafasnya. "Capek ngomong sama orang ngak punya otak kayak lo!"

Aldi melangkahkan kakinya untuk menyudahi perdebatan merek. Aldi hanya tak ingin terbawa emosi dan jadi lupa diri. Sementara Salsha belum puas, ia tak terima di salahkan seperti itu. Maka, Salsha mengikuti Aldi dari belakang.

"Lo kalo ngomong di jaga, ya. Jangan asal ceplas-ceplos mulut lo!"

Aldi berhenti, membalikan tubuhnya dan menatap Salsha datar. "Lo nggak terima sama ucapan gue? Harusnya lo sadar, lo emang cewek nggak punya otak!"

"Dinda sahabat lo, 'kan? Apa salahnya kalo dia tahu kita di jodohin dan tinggal serumah. Dia juga pasti nggak bakal bilang ke siapa-siapa soal ini, biar gue nggak perlu ngumpet-ngumpet lagi kalo dia kesini." tambah Aldi.

Salsha menghela nafasnya, terlalu lelah berdebat dengan Aldi. "Ada jaminan kalo Dinda nggak bakal cerita sama orang? Atau minimal dia kecoplosan bilang sama orang."

"Dia sahabat lo, nggak mungkin..,"

"Nggak ada yang nggak mungkin!" potong Salsha cepat. "Nggak ada yang bisa di percayai di dunia ini termasuk sahabat sendiri. Gue udah pernah ngerasain gimana rasanya di khianatin sama sahabat yang kita percayai!" Suara Salsha bergetar menahan tangis. Salsha pernah merasakan pengkhianatan dari sahabatnya. Makanya sekarang Salsha lebih selektif memilih apa yang harus ia bagi atau tidak kepada sahabatnya. "Lagian di jodohin sama lo itu aib buat gue, bukan kebanggaan yang harus gue umbar-umbar sama orang!"

"Pemikiran lo yang sempit ini yang bikin lo nggak maju-maju." Aldi geleng-geleng kepala mendengar ucapan Salsha. "Lo terlalu berpikiran negatif sama orang, bahkan sama orang terdekat lo. Sama orang terdekat lo aja lo nggak percaya, apalagi sama orang."

Salsha lagi-lagi menghela nafasnya. Selalu pemikirannya yang salah. Bahkan saat hal tersebut sudah pernah ia rasakan, tetap saja ia salah. Salsha tersenyum miris. Tidak ada yang bisa mengerti dirinya. Tidak seorang pun.

"Terserah lo aja!" kata Salsha pasrah. "Atau biar lo nggak capek-capek lagi kalo Dinda mau kesini, gimana kalo lo pergi aja. Cari kostan yang layak buat lo. Gue bisa kok ngurus diri gue sendiri."

Setelah mengatakan itu, Salsha melangkahkan kakinya menuju kamarnya meninggalkan Aldi yang kini menimang-nimang ucapan Salsha tadi.

"Bagus juga idenya."

*****

Salsha menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan menenggelamkan wajahnya di bantal. Salsha kembali menangis. Ntah mengapa sekarang Salsha menjadi gadis yang lemah dan mudah menangis. Dulu, apapun masalah yang Salsha hadapi ia selalu kuat dan tak pernah menangis.

Salsha menangis sejadi-jadinya. Merenungi nasibnya sekarang. Hidupnya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat semenjak adanya perjodohan konyol ini. Salsha harus di tinggal oleh Mamanya. Belajar hidup mandiri dan melakukan semua hal sendiri. Itu semua tentu saja hal yang tak mudah bagi Salsha.

"Aldi bangsat!" makinya. "Bisanya cuma ngatain gue doang. Anjing!"

Salsha bangkit dari tidurnya dan mengusap airmatanya kasar. Untuk apa Salsha menangisi hal konyol ini. Menangisi Aldi yang selalu menyakiti hatinya dengan ucapan kasar lelaki itu. Tak seharusnya Salsha seperti ini.

"Bego banget gue nangis cuma karena cowok brengsek kayak dia."

Mulai saat ini, Salsha tidak akan terpengaruh tentang semua perkataan jahat yang Aldi lontarkan tentangnya. Mental Salsha tidak selemah itu.

****

Dinda menghempaskan tubuhnya ke sofa dan melihat sepupunya tengah bermain game di ponsel dengan santainya. Dinda melirik sepupunya itu sinis. Dari dulu, Dinda tidak pernah menyukai sepupunya itu. Sepupunya itu sangat brengsek. Selalu gonta-ganti pasangan. Bahkan tak jarang, korban dari sepupunya itu meneror Dinda.

"Pulang lo. Betah banget dirumah gue," kata Dinda sinis.

"Pulangnya nanti kalo masalah gue udah kelar," jawab sepupu Dinda sembari fokus dengan gsme di ponselnya.

Dinda membuka sepatu dan kaos kakinya dan melemparkannya asal ke arah sepupu kurang ajarnya itu. "Masalah lo itu cuma sama cewek-cewek yang lo sakitin. Kapan tobatnya, sih."

Sepupu Dinda kembali melempar kembali kaos kakinya. "Nanti kalo ada satu cewek yang bikin gue jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama dia."

Dinda menarik sudut bibirnya ke atas. "Yang ini korban lo lagi, 'kan? Taruhan apalagi lo?"

"Motor!" jawab sepupu Dinda cuek. "Kalo gue tembus, ntar gue teraktir, deh."

Dinda berdiri dan menentang tasnya. Tak ada gunanya berbicara dengan sepupu laknatnya itu. "Tobat woy, tobat! Gue nggak mau, ya, karma lo nyakitin cewek nurun ke gue!"

Sepupu Dinda tertawa kencang. Tak ada kata tobat baginya. Selama gonta-ganti pasangan bisa menghasilkan pundi-pundi baginya, ia akan dengan senang hati melakukannya.

"Nanti kalo udah mau kiamat, gue tobat!"


Chapter 33: Tiga Puluh Dua

"Sha, lo sama Aldi udah siapin makalahnya?" tanya Dinda kepada Salsha.

Deadline tugas dari Bu Mira tinggal tiga hari lagi tetapi belum ada kejelasan tentang tugas mereka itu. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing dan melupakan tugasnya.

Salsha melirik Aldi yang tengah duduk di kursinya. Salsha menggeleng singkat. "Belum."

"Kok belum?" tanya Dinda lagi. "Deadlinenya tinggal tiga hari lagi. Belum juga kita hapal gerakan nari sama lagunya. Kalo nggak siap gimana?"

"Tanyain sama Aldi, jangan sama gue, mulu," kesal Salsha. Seolah-olah makalah itu hanya menjadi tugasnya saja, padahal Aldi juga ikut andil.

Dinda tersenyum sumbringah. Dengan senang hati Dinda akan bertanya kenapa Aldi. Dinda bergerak dari kursinya dan duduk di hadapan Aldi.

"Aldi, makalah lo sama Salsha gimana?" tanya Dinda dengan senyum lebarnya.

"Belum siap," jawab Aldi cuek.

"Trus gimana? Tugasnya tinggal tiga hari lagi, loh." Dinda memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Dinda beralih menatap Bella. "Bel, tugas kelompok Bu Mira gimana?"

Bella menatap Dinda dan Aldi bergantian. "Makalahnya belum siap?"

Aldi menggeleng pelan. Benar-benar malas membahas soal tugas itu. Hubungan Aldi dan Salsha juga belum membaik setelah perdebatan tadi malam. Keduanya masih perang dingin.

"Belum. Tapi tenang aja. Tugasnya biar jadi urusan gue sama Salsha." Aldi melirik Salsha sebentar. Sedangkan yang dilirik malah membuang wajahnya. "Masalah gerakan tarinya gimana kalo lo bertiga latihan. Kalo lagunya biar gue sendiri. Kita bagi tugas biar gampang."

"Jadi lo yang nyanyi, kita yang nari?" tanya Bella memastikan.

Aldi mengangguk. "Iya."

Bella memikirkan ide Aldi sejenak. Sepertinya ide Aldi bagus juga. Jadi mereka tidak perlu menghapal gerakan tari dan lagu berbarengan. "Gue setuju. Yang lain gimana?"

"Gue juga setuju!" seru Dinda menyetujui.

"Tinggal Salsha doang berarti," kata Bella sembari menanyakan pendapat Salsha tetapi Aldi buru-buru berbicara.

"Kayaknya nggak perlu pendapat dia. Kita tiga orang sementara dia cuma sendiri. Dia harus setuju sama keputusan kita. Lagian biar simpel juga kan." Wajah dan nada bicara Aldi datar. Menandakan Aldi sedang tidak mood.

Bella manggut-manggut. "Yaudah kalo gitu."

Merasa perbincangan mereka telah selesai. Aldi berdiri dari duduknya dan berjalan keluar. Aldi perlu menyegarkan pikirannya.

Aldi berjalan di koridor sekolah dan melihat Farel tengah berbincang dengan kedua sahabatnya, Dimas dan Bisma. Aldi merasa sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang serius. Aldi melangkahkan kakinya mendekat ke arah Farel untuk mendengar pembicaraan mereka. Tetapi tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Lo mau ngapain?"

Aldi berbalik dan menemukan Dhika lah orang yang menepuk pundaknya. "Nggak ngapa-ngapain"

"Lo mau nguping pembicaraan Farel sama teman-temannya, 'kan?" tebak Dhika. "Dari gelagatnya sih, iya."

"Sok tau, lo!" Aldi menoyor kepala Dhika. "Tapi gue pengen tanyak sesuatu sama lo."

"Apa?" tanya Dhika.

Aldi menatap Dhika serius. "Nggak disini. Ke lapangan basket aja."

Dhika mengangguk. Keduanya pun melangkahkan kakinya menuju lapangan basket. Setelah sampai, Aldi dan Dhika duduk di pinggiran lapangan.

"Lo mau tanyain apa sama gue?" tanya Dhika.

Aldi menatap Dhika serius dan menimang-nimang tentang apa yang ia tanyakan. Tapi sepertinya Aldi perlu menanyakan hal ini kepada Dhika.

"Lo teman Farel di basket, 'kan?" tanya Aldi.

Dhika mengernyitkan keningnya. "Iya. Tapi nggak dekat, sih. Kenapa?"

"Farel brengsek?" tanya Aldi tanpa basa-basi.

Dhika terdiam sejenak. Yang Dhika tahu Farel memang sering bergonta-ganti pacar. Tetapi untuk yang lainnya Dhika tak tahu. "Nggak tahu."

"Nggak mungkin lo nggak tahu," desak Aldi. "Kasih tahu gue apa yang lo tau tentang Farel."

"Kenapa lo kepo banget?" tanya Dhika penasaran.

"Farel pacaran sama Bella." Aldi menatap lurus ke depan. "Dan gue rasa Farel bukan cowok yang baik."

Dhika menatap Aldi dengan tampang polosnya. "Lo suka sama Bella?"

Aldi mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Dhika. Aldi tidak menyukai Bella, ia hanya peduli kepada gadis itu. "Nggak."

Dhika memicingkan matanya. "Yakin?"

"Lo cuma cukup bilang Farel brengsek atau nggak. Nggak usah tanyak balik gue." Aldi menatap tajam Dhika.

Dhika menelan ludahnya melihat tatapan tajam Aldi. "Brengsek atau nggaknya, gue nggak tau. Tapi yang gue tahu Farel suka gonta-ganti pacar."

Aldi menaikkan keningngnya ke atas. "Gonta-ganti pacar?"

Dhika mengangguk. "Farel bisa bawa dua cewek dalam seminggu saat latihan basket. Itu sih yang gue perhatiin."

Dan sepertinya dugaan Aldi benar, Farel bukan lelaki baik-baik. Asumsi-asumsi Aldi selama ini tidak pernah meleset. Dan secepatnya Aldi harus menjauhkan Bella dan Farel.

*****

Salsha, Bella dan Dinda tengah berada di ruang musik. Ruang musik ini akan mereka jadikan tempat latihan menari daerah untuk tugas mereka.

Bella menyambungkan loud speaker dengan ponselnya. Sementara Salsha memasang wajah malasnya.

"Cepat dong, gerah, nih!" Salsha mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya.

"Sabar, Sha," kata Bella.

"Yang hapal gerakannya siapa?" tanya Salsha lagi.

Dinda menghendikkan bahunya asal. Ia belum melihat bagaimana gerakannya. Hanya Bella yang mencari tarian daerah Sumatera Utara itu.

"Bukan gue," kata Dinda.

"Kita belajarnya dari sini aja." Bella memajang ponselnya di atas meja yang menampilkan sebuah video tarian daerah itu. "Kita nari tortor aja biar mudah."

Salsha memutar bola matanya malas. "Terserah lo aja."

Musik pun di mulai. Bella berada di paling depan sedangkan Salsha dan Dinda berada di belakang. Alunan-alunan musik mulai terdengar merdu dan mereka bertiga pun melakukan contoh tarian seperti yang ada di ponsel milik Bella itu.

"Duhh ribet, tangannya di gimanain, sih," keluh Salsha. Sedari tadi ia tidak bisa meniru seperti tarian di layar itu. Salsha kesusahan.

"Gini, Sha." Bella memperagakan gerakan jemari lentiknya kepada Salsha.

"Nggak ada yang lebih gampang?" keluh Salsha lagi.

"Ngampang, kok. Tangan lo aja yang kaku," komentar Dinda. Bahkan Dinda pun bisa menirukan gerakannya dengan mudah.

Salsha berhenti dan duduk di kursi. "Kalian latihan aja dulu. Ntar gue ikutan. Capek."

Bella ingin mengatakan sesuatu tetapi keburu ada yang membuka pintu ruangan. Semua mata tertuju ke pintu. Disana ada Farel yang datang dengan membawa air mineral di tangannya.

Farel mendekat dan berdiri di depan Bella. "Aku bawain buat kamu."

Bella dengan senang hati menerima air mineral tersebut. "Makasih, sayang."

Salsha yang mendengar ucapan Bella mendadak mual. Bagaimana bisa Bella bersikap sok manis seperti itu di depannya. Rasanya Salsha ingin mengeluarkan isi perutnya.

Salsha mendengus kesal dan berdiri duduknya. Tak ingin berlama-lama berada di ruangannya yang sama dengan Bella dan Farel. "Gue cabut. Hawanya udah panas."

"Lah kok, cabut. Latihannya belum selesai," peringat Dinda.

Salsha tak memedulikan ucapan Dinda itu. Ia malah melangkahkan kakinya. Sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu Salsha berkata. "Videonya kirimin aja ke gue. Gue bisa belajar sendiri."

Dinda mendengus kesal dan ikut pergi dari tempat itu meninggalkan Farel dengan kebingungannya.

"Lah malah pergi."

Bella tersenyum dan menggandeng tangan Farel. Ia ingin bermanja-manja dengan orang yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya itu.

"Nggak papa," kata Bella. "Kita ke kantin, yuk. Lapar."


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C32
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT