Ravi bersembunyi di belakang tembok ketika dia tiba-tiba melihat sekelebatan bayangan Daniel yang lewat tepat di depan matanya. Ravi menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, semakin dia menjadi panik hal itu menarik sekujur tubuh Ravi semakin terasa sakit. Dia merosot ke lantai ketika detak jantungnya memompa cepat, lehernya seolah diikat kuat oleh tali tak kasat mata.
Sakit dialami Ravi tidak pernah menentu akan menimpa tubuh bagian mana, dia bahkan lebih sering merasakan sekujur tubuhnya kesakitan. Ravi meringkuk di sudut jalan yang sepi, menutup wajahnya di atas lututnya. Entah mengapa di setiap denyut rasa sakit yang mengikat di tubuhnya, Ravi bisa merasakan kebencian Daniel hadir di sana pada dirinya.
Di sudut jalan yang redup sendirian dan sekali lagi Ravi menyesal tidak mengajak Raymond bersamanya, dia pikir tidak akan terjadi apapun ketika Ravi hanya sekadar pergi ke minimarket yang tidak terlalu jauh.
Ravi tiba-tiba tersedak dengan cepat memuntahkan sesuatu yang mendobrak keluar, untuk kesekian kalinya dia memuntahkan darah kental itu lagi. Dia menyeka sudut mulutnya dan berdecak ketika melihat darahnya tanpa sengaja mengotori lengan bajunya yang putih.
Ravi masih belum yakin dia bisa pulang, Daniel bisa ada di mana-mana. Memikirkan itu membuat Ravi mendorong dirinya semakin rapat menempel dinding kasar itu.
Tubuhnya tanpa sengaja bergetar, dia menggigit kuat bibirnya agar suara desisan rasa sakit tak keluar dari celah bibirnya.
"Ravi?"
Mendengar suara itu ketakutan Ravi semakin menjadi, kukunya menancap erat di kulitnya dan dia menenggelamkan kepalanya lebih jauh lagi. Seharusnya Ravi tidak mengambil semua uang di bank itu, Daniel sekarang menemukannya.
"Ravi? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa yang terjadi?"
Ravi ingin menutup telinganya, dan melupakan semuanya ketika bayangan Daniel yang menampar dirinya berputar-putar dalam ingatannya yang jernih.
"Ravi? Ini aku, aku minta maaf." Daniel berbicara, tetapi semakin Daniel berbicara rasa sakit itu memelintir organ tubuh Ravi erat-erat. Dia tak ingin berurusan dengan orang ini lagi, Daniel adalah orang asing yang berpura-pura bahwa dia tidak membencinya. Pastilah ada tujuan lain dan Daniel ingin membawanya kembali agar Ravi bisa mencapai tujuan itu yang tertunda.
Ravi tersentak merasakan sebuah sentuhan, tetapi sentuhan itu lebih seperti bara api yang membakar lengannya. Dia tanpa sadar menggeram dan bangkit berdiri dengan goyah, menatap Daniel tajam. "Jangan menyentuhku, pergi dari sini."
Selintas dia menyesali berbicara dengan nada tinggi, lehernya seperti ditusuk-tusuk dengan jarum. Dia bahkan harus bertopang pada sebuah kotak besar di sana, agar tak jatuh tiba-tiba.
"Ayo pulang, Ravi. Aku akan mengobati."
Pulang? Rivi bahkan tak pernah benar-benar punya rumah untuk tempatnya pulang. Dia tak punya keluarga, Ravi hanyalah esensi yang berdiri sendiri.
Ravi hanya tertawa hambar. "Mengobati? Orang yang menciptakannya ingin menghilangkannya?"
Ravi bisa melihat ekspresi Daniel yang turun, dia tidak akan tertipu lagi dengan wajah sedih itu.
"Maafkan aku Ravi, aku tidak sengaja melakukannya. Ayo pulang ke rumah, semua akan baik-baik saja. Jika tidak itu akan semakin parah."
Ravi mendengus, tetapi dia rasanya ingin mati sekarang karena tenggorokannya yang tercekik seolah dia meminum timah panas. "Bagus, aku akan mati dengan ini. Semoga itu cepat terjadi."
"Ravi! Jangan mengatakan itu."
Beraninya! Beraninya Daniel membentaknya lagi, ini bahkan bukan di rumah itu atau bahkan Daniel akan menamparnya kembali tadi.
Ravi menatap Daniel menantang, dia menyeret semua harga dirinya yang tersisa untuk menghadap Daniel, wajah Ravi diangkat tinggi dengan matanya yang mengarah tajam. "Kamu siapa? Hanya orang asing. Lebih baik kamu pulang dan tunggu kabar kematianku."
Dia mengerjap merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya dan cepat-cepat menyekanya. Ravi hanya menatap datar karena lagi-lagi menemukan darah di sana.
"Ravi ayo kita pulang cepat!" Ravi tersentak saat sebuah tangan telah melingkar di lengannya, dia segera menepisnya dan bergerak menjauhi Daniel.
"Jangan berpura-pura kamu peduli. Pergi, jangan temui aku lagi." Ravi mengucapkan kata-kata itu dengan susah payah. Dia berdiri dengan badan yang melengkung karena rasa sakit pada dadanya yang seolah dicengkeram kuat-kuat.
"Ravi, aku benar-benar peduli. Aku minta maaf, aku—"
"Diam! Jika kamu peduli kamu tidak akan melakukan ini semua. Aku mohon pergi dari hidupku." Ravi memohon dengan nada rendah sudah tidak sanggup dengan dirinya sendiri. Kepalanya sekarang berputar seolah dia akan tumbang dalam hitungan menit.
"Jangan pernah katakan itu Ravi—"
Ravi tidak tahu apalagi yang Daniel katakan dia menutup telinganya kuat karena dengung suara memekakkan telinganya tiba-tiba muncul mengagetkan Ravi. Sekujur tubuh Ravi bergetar dengan kekacauan yang berkecamuk seperti tak berkesudahan.
Hingga Ravi seolah ditarik kembali ke dalam kesadarannya ketika sebuah lengan melingkar di tubuhnya dengan suara familiar itu.
"Ravi, ini aku. Tidak ada yang bisa menyakiti Ravi lagi." Itu adalah suara yang datang untuk merengkuhnya. Ravi tidak tahu bagaimana caranya Raymond hingga dia bisa sampai di sini, akan tetapi Ravi percaya bahwa dengan kedatangan Raymond maka semua akan baik-baik saja.
"Bawa aku pergi ke manapun, aku tidak ingin melihat dia lagi." Setelah mengatakan serentetan kalimat panjang itu, Ravi benar-benar tidak dapat merasa lagi karena ditelan oleh kegelapan yang kian pekat menyelubunginya.
***
Ravi terbangun ketika dia merasakan sesuatu yang menggigit bibirnya. Dia segera membuka mata dan terkejut saat langsung di hadapkan dengan wajah Raymond sangat dekat dengannya tengah mencium Ravi tanpa permisi.
Ravi segera mendorong Raymond menjauh dan langsung bangkit duduk dengan napas yang terengah. "Apa yang kamu lakukan?"
"Membuat Ravi bangun," kata Raymond pelan, kepalanya tertunduk dengan pria itu sekarang tengah memperhatikan jari-jarinya yang bergerak di pangkuannya.
"Membangunkanku tidak dengan seperti ini, Raymond."
"Ravi pingsan, hanya itu satu-satunya cara."
Ravi menghela napasnya kasar. Tubuhnya tidak begitu sakit lagi sekarang, hanya ada samar-samar di atas permukaan kulitnya. Dia kemudian kembali mengingat bagaimana dia bisa berada dalam posisi seperti ini sekarang. "Apakah dia sudah pergi?"
Raymond pada awalnya tidak langsung menjawab, alisnya berkerut dengan tanya sehingga , tetapi pemahaman mulai datang di wajahnya. "Iya, Daniel sudah pergi. Aku tidak ingin Ravi bertemu dia lagi."
Dia untuk sesaat terdiam dengan apa yang Raymond katakan dan pada akhirnya Ravi tidak mengatakan apa-apa.
"Ravi, apakah aku melakukan hal benar dengan Daniel?" tanya Raymond yang membuat Ravi mengangkat wajah untuk melihatnya.
"Ya, tetapi bisakah kita tidak membahas dia lagi?" Walaupun pada awalnya Ravilah yang mengungkitnya, dia tak ingin rasa sakit itu kembali lagi ketika mereka tengah membicaraka Daniel.
Pria itu mengangguk dan membuat Ravi sedikit lega. Dia melihat ke luar jendela di mana hari sudah semakin larut, tetapi Ravi sudah cukup untuk tidur, Raymond bahkan tidak begitu memiliki kebutuhan untuk tidur dan sekarang dia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ravi kemudian bertanya asal pada Raymond, "Apa lagi yang sebaiknya kita lakukan sampai pagi datang?"
Raymond tepat menatap mata Ravi dengan sebelah mata emasnya yang bersinar cepat. Dia menggeser tubuhnya mendekat pada Raymond bersamaan senyuman yang timbul semakin lebar. "Apakah kita bisa bermain seperti kemarin-kemarin saat Ravi naik ke atas badanku?"
Ravi terbangun dari tidurnya karena beban berat yang menekan tubuh bagian depannya, dia hendak bergerak menyamping, tetapi tidak ada yang terjadi. Ravi diam-diam membuka matanya dan dia justru di hadapkan dengan dada telanjang dari Raymond tengah memeluk Ravi erat.
"Ravi sudah bangun?" Ravi kembali ditarik pada kenyataan dia hendak mendorong Raymond menjauh, akan tetapi tampaknya hal itu hanya sebuah hal yang sia-sia.
"Apa yang kamu lakukan Raymond?" Ravi mendongak menatap Raymond yang sekarang justru tersenyum lebar dengan matanya yang berseri terlalu banyak. Hal ini justru membuat Ravi bertanya-tanya apa yang sebenarnya Ravi lakukan sebelumnya sehingga membuat dia terperangkap dalam kondisi seperti ini.
"Memeluk Ravi. Ravi kedinginan, kita tidak punya selimut lagi."
"Kita punya dua, di mana itu sekarang?" tanya Ravi yang kali ini telah lolos dari pelukan Raymond dan menyadari bahwa Ravi tidak mengenakan apapun sekarang sementara Raymond mengamati Ravi dari ujung ke ujung.
"Selimutnya jatuh ke lantai, jika aku mengambilnya, Ravi akan kedinginan." Raymond berkata sambil menggeser badannya mendekati Ravi. Ravi tidak ingat apa yang dilakukannya semalam dan dia takut jika Ravi melakukan perbuatan itu kembali. Dia bahkan tidak mabuk sama sekali hingga membuatnya lupa seperti ini.
Ravi menahan diri untuk tidak memutar matanya, dia bangkit berdiri untuk segera menuju kamar mandi dan terkejut mendapati pangkal pahanya yang terasa lengket saat sesuatu mulai ke luar dari sana.
Mata Ravi melebar, mengarahkan pandangannya pada Raymond dalam gerakkan kaku. Jantungnya telah berdetak cepat seperti telah berlari berkilo-kilo meter jauhnya. "Apa yang sebenarnya kita lakukan sebelumnya?"
Raymond seperti tidak merasakan kecemasan yang tengah Ravi alami, pria dewasa itu justru tersenyum makin lebar, ikut bangkit berdiri menuju ke hadapan Ravi. "Tengah malam, Ravi bangun karena kesakitan. Aku mencium Ravi, ternyata rasa sakit Ravi tidak berkurang, jadi aku melakukannya danRavi tidak sakit lagi. Itu sangat enak."
Ravi tercengang mendengarnya, dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan Raymond tampak mudah dan juga tak bersalah. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tetap diam. "Bagaimana kamu melakukan hal itu tanpa persetujuanku lebih dahulu, Raymond?"
Mata Raymond membesar tangannya hendak menjangkau Ravi, tetapi langsung berhenti di udara. "Ravi mengizinkannya, aku tidak akan melakukannya jika Ravi melarangku. Maaf, Ravi."
Raymond menunduk setelah sebelumnya Ravi melihat matanya yang telah dipenuhi air mata. Dia tidak mengingat apapun, tidak merasakannya saat itu, serta sekarang perasaan lelahlah yang mendominasi. Perasaan penuh di bagian bawahnya dan cairan itu terkadang masih mengalir di sana membuat Ravi berpikir telah berapa banyak dan lama mereka melakukan itu. Dia malu untuk bertanya, tetapi kecurigaan tiba-tiba melintas di dalam kepalanya.
Seperti hal yang suda-sudah, Ravi menduga bahwa itu adalah karena seseorang lain yang selama ini mengusiknya. Tidak salah lagi. Seseorang yang membuat Ravi kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Namun, Ravi tidak mengatakan apapun pada Raymond saat ini membiarkan hal itu berlalu sekali lagi.
"Raymond, lupakan apa yang terjadi semalam pada kita." Ravi berkata sangat pelan, mungkin memang tidak masalah untuk hanya melakukannya dengan Raymond. Dia bukan orang asing lagi baginya, Ravi tahu bahwa dia masih normal dengan melakukan ini tidak akan mengubah apapun dari dirinya. "Itu adalah sebuah kesalahan."
"Melupakannya?" tanya Raymond seperti bisikkan lirih. "Jadi itu adalah salah?"
"Benar, itu salah," jawab Ravi mantap dan juga tegas. Sisi lain dari dirinya menyesali itu apalagi ketika melihat kekacauan di mata Raymond. Pria itu bahkan tidak mengatakan apapun lagi dia hanya berdiri kaku di sana, membiarkan air matanya yang jatuh begitu saja.
Ravi berbalik, berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan berharap apa yang terjadi padanya hanyalah sebuah mimpi yang tak benar-benar menjadi kenyataan seperti sekarang.
***
Raymond masih berada di depan jendela setelah Ravi mandi dan mengenakan pakaian, dia sendiri telah mengenakan pakaiannya tampak tidak terganggu dengan udara dingin yang masuk ke kamar mereka. Ini masih terlalu pagi untuk bertemu dengan Liam.
"Raymond, apakah kamu ingin ikut denganku untuk sarapan di luar?" tanya Ravi berjalan mendekat ke arah Raymond. Dia untuk sekian kali bersikap seperti tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.
Raymond menoleh ke arahnya, pria itu menutup mulutnya, lantas mengangguk. Ravi merasakan keanehannya, tetapi dia berjalan pergi membuat Raymond mengikuti di belakang.
"Kamu ingin makan apa?" Tidak ada jawaban apapun dari Raymond. "Apakah kamu ingin roti?"
Raymond masih bungkam, tetapi Ravi masih bisa mendengar langkahnya.
"Kamu tidak bisa berjalan jauh di belakangku seperti itu?" Ravi menoleh ke belakang, dia berjalan mendekat untuk berada di sampingnya.
Namun, Raymond justru masih mengambil langkah untuk menjauhi Ravi. Dia berjalan mendekat kembali, tetapi lagi-lagi Raymond menjauhinya seperti Ravi terkena virus mematikan dan takut tertular. "Mengapa kamu menjauhiku sekarang?"
Raymond masih setia untuk mengunci mulutnya, Ravi menghela napas kasar. "Jadi, kamu tidak suka untuk berjalan di sebelahku?"
Raymond tidak menjawab apapun, dia bahkan tidak menatap Ravi kembali. "Baiklah, lakukan seperti yang kamu inginkan."
Ravi berjalan cepat meninggalkan Raymond, dia tahu bahwa Raymond akan mengikutinya. Marah tidak benar-benar bisa menyatu dalam kehidupan Ravi, kepalanya terasa sakit dengan lonjakan itu. Rasa sakit yang sebelumnya menghilang kini muncul kembali untuk mencengkeram dada Ravi kuat-kuat hingga membuat Ravi terhenti sejenak, tangannya bertumpu pada dinding kokoh di sampingnya. Saat tahu bahwa Raymond semakin dekat dengannya Ravi segera bejalan kembali menjauhinya, tidak ingin Raymond tahu bahwa dia kesakitan sekarang.
Sesuatu yang basah mengalir menyentuh bibir Ravi, dia telah menduganya hingga cepat-cepat mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka darah yang keluar dari hidung. Kepalanya semakin sakit dari waktu ke waktu, tetapi dia tidak bisa begitu saja pulang tanpa membelikan Raymond sesuatu untuk sarapannya.
Ravi melihat penjual scotch eggs yang merupakan makanan kesukaan Ravi, dia berjalan mendatanginya, membeli satu porsi untuk Raymond. Tiba-tiba saja napsu makan Ravi menghilang, dia tidak bisa makan dengan semua rasa sakit di tubuhnya. Dia berbalik, tetapi sebelum kembali pada Raymond untuk memberikan bungkusan yang berada di tangannya, dia membeku sambil menoleh ke kanan juga kiri dengan kaku.
Dia segera melesat ke arah Raymond memberikan bungkusan itu padanya. "Makan itu. Kamu bisa pulang jika kamu mau atau jika kamu benar-benar muak padaku pergilah kemanapun yang kamu inginkan."
Ravi bergerak cepat menjauhi Raymond, tujuannya buyar. Dia tidak mengira bahwa Raymond ternyata tidak mengikutinya, tetapi bukankah itu yang Ravi inginkan sekarang? Mengapa terasa mengecewakan? Ravi tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti, tetapi dia yakin itu pastilah sesuatu yang buruk.
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT