Download App

Chapter 3: Akibat Nilai Merah di Raport

Beberapa hari berlalu. Tibalah saatnya pemerimaan raport. Chika mendapatkan nilai yang bagus hampir di semua mata pelajaran. Bahkan, di raportnya semua nilainya di atas 70. Sedangkan Mayang, juga mendapat nilai yang bagus, namun terdapat nilai merah di raportnya.

Siang itu di rumahnya, ibunya yang melihat nilai raportnya tampak kecewa.

"Mayang. Bagaimana bisa kamu mengalami penurunan nilai? Dan … mengapa ada nilai merah di raportmu?" tanya ibunya dengan nada kecewa.

Mayang kebingungan. Dia memang bermasalah dengan guru yang memberinya nilai merah.

"Ugh! Brengsek! Pasti ini ulah Pak Rony yang sentimen sama aku," bathinnya.

Mayang hanya menunduk. Ibunya kembali bertanya.

"Mayang! Ada apa? Kenapa kamu diam?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Uhm … anu, bu. Mayang … mayang …," katanya dengan nada gugup sambil mencari alasan yang bagus.

Ibunya yang makin tak sabar menggebrak meja. Brak! Dia menatap Mayang dengan sorot mata tajam.

"Cepat jawab!" bentaknya.

Mayang sempat tersentak. Dia tahu tabiat ibumya jika marah.

"Mayang lemah di hafalan, Ma. Mayang kurang suka dengan anthropologi," jawab Mayang kemudian.

Ibunya terdiam. Dia pandangi wajah Mayang sambil mengamati nilai-nilai di raportnya. 

"Mama tahu kelemahanmu, Mayang. Tapi gak harus dapat nilai merah kan? Harusnya minimal.kamu dapat nilai C jika memang kamu fokus sekolah," kata ibunya dengan nada tinggi.

Mayang hanya diam. Dia tak mampu menyangkal perkataan ibunya.

Kamu pasti sering pacaran ya, sampai kamu lupa dengan sekolahmu. Ck … ck … ck … ." 

Sambil menatap tajam pada Mayang, ibunya menggelengkan kepalanya. 

"Oke. Sekarang kamu harus kurangi main, dan lebih fokus ke sekolahmu. Mulai tahun ajaran baru, kamu harus ikuti bimbel. Mengerti?" kata ibunya dengan nada tinggi.

Mayang tak berani membantah. Dia hanya mengangguk.

Sementara itu, Bu Anggi tak kalah marahnya ketika melihat nilai raport Raymond. Bersama suaminya, Robby mereka memarahi Raymond.

"Ya ampun, Raymond! Kamu ini bagaimana sih? Koq nilai raportmu begini?" tanya ibunya.

Raymond hanya diam mendengar ibunya mengomel. Dia menundukkan wajahnya.

"Raymond! Kamu ini mau jadi apa, hah?!" bentak ibunya sambil membanting raport Raymond di depannya.

"Nak! Kamu ini sudah naik kelas 11. Pelajaran makin sulit. Kurangi waktumu bermain," kata ayahnya menasehati Raymond.

Raymond tetap diam. Ketika handphonenya bunyi, Raymond tak mengambilnya. Dia hanya diam sambil menundukkan kepalanya.  Dilihatnya temannya tengah mengajak balap liar.

"Tuh akibatnya kalo kamu terlalu dekat dengan si Damar. Jadi makin liar kamu!" kata ibunya dengan nada tinggi.

Raymond terap diam. Ayah dan ibunya tetap memarahinya, namun Raymond hanya diam tertunduk.  Setelah sekian lama mereka memarahi Raymond, perasaan aneh menghampiri mereka.

"Loh, Ma. Koq anak kita diam saja dari tadi?" tanya Robby keheranan.

Anggi yang kelelahan setelah marah begitu terkejut. Dia melihat anaknya dari dekat. Dan alangkah terkejutnya mereka setelah tahu Raymond ternyata tertidur.

"Ya ampun, Pa! Dari tadi kita ngomel, ternyata dia tidur," kata Anggi dengan nada kaget.

Robby terkejut. "Apa?! Dia tidur?!" 

"Iya, Pa! Bener-bener nih anak. Uhft! Awas aja. Udah, Pa. Tinggalin aja. Mama ada rencana lain buat beri dia pelajaran," kata Anggi sambil mengajak Robby beranjak. 

Robby hanya menggelengkan kepalanya. Mereka beranjak dari duduknya dan pergi ke kamarnya.  Di dalam kamarnya mereka akhirnya bermusyawarah.

Malam harinya, Raymond begitu kebingungan. Ada jadwal latihan band malam itu. Namun, karena nilai raportnya jelek, papa dan mamanya tak mungkin memberinya ijin. Di kamarnya, dia menjawab telepon teman bandnya dengan suara lirih.

"Raymond. Kita udah nungguin lu nih. Ayo sebentar lagi waktunya kita latihan," kata Romi melalui teleponnya.

Raymond menutupi speaker hpnya.

"Psst! Bentar. Gue lagi siap-siap nih," balas Raymond dengan suara lirih.

Raymond mencari cara untuk kabur dari rumahnya. Perlahan, dia buka pintu kamarnya. Dilihatnya ayah dan ibunya tengah menonton tv di ruang keluarga. Raymond kembali menutup pintu kamarnya.

Romi yang tak sabar kembali berbicara.

"Bhro, lo gak mangkirkan? Please … jangan mangkir dong. Kita udah patungan nih bayarnya," kata Romi dari balik telepon.

Dengan suara lirih, Raymond kembali membalasnya.

"Yaelah! Kagak. Udah deh, tunggu bentar. Gue pasti datang," balasnya berbisik.

Raymond mengatur guling nya dan selimut di kasurmya seolah dia terlelap. Dia buka jendela kamarnya perlahan-lahan, lalu dia keluar dari kamarnya melalui jendela itu. Dengan mengendap-endap, dia berjalan ke halaman depan rumahnya. 

"Uhft! Akhirmya, gue bisa kabur nih," bathinnya.

Dilihatnya motor kesayangannya di parkir do garasi. Dengan langkah mengendap-endap, dia tuntun motornya keluar rumah. Setelah agak jauh, dia hendak menyalakan motornya.

"Jreg! Jreg! Jreg!" Terdengar suara stater kaki di tekan, namun mesin motor tak menyala. 

"Nah loh! Motor gue kenapa?" bathinnya.

Raymond mencoba menyalakannya sekali lagi. Dia tekan stater kakinya, namun motor tetap tak mau menyala. 

"Loh! Motor gue kenapa? Perasaan tadi nggak rusak?" pikirnya dalam hati.

Dia mengecek busi motornya. Dilihatnya kabel businya terbuka. 

"Yah! Pantes gak mau nyala. Nih siapa sih yang ambil busi motor gue?" tanya Raymond.

Tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya.

"Mas, cari busi motor? Coba pake ini," kata orang di belakangnya.

Orang itu memberikan busi motor pada Raymond dari belakang. Tanpa pikir panjang, Raymond mengambilnya dan memasangkannya pada motornya.

"Wah, businya cocok, mas. Thanks ya," kata Raymond sambil menoleh ke belakang. 

Dan, ternyata Robby sudah ada di belakangnya. 

"Papa?" Raymond begitu terkejut melihat papanya ada di belakangnya.

Keringat dingin bercucuran. Dengan senyum simpul, Robby menjewer telinga Raymond.

"Kamu kira, papa gak tahu kalo kamu mau kabur?" kata Robby dengan senyum kemenangan.

"Aduh, Pa. Ampun … ampun …!" rintih Raymond kesakitan.

"Ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Robby sambil memjewer telinga Raymond.

Namun, dasar Raymond badung, dia langsung mengajak ayahnya negosiasi.

"Pa  … please. Raymond mau ikut festival," katanya memohon.

"Festival apa? Festival teriak-teriak?" ejek Papanya.

"Yah, Papa. Festival musik dong. Kalo menang nanti papa kebagian deh,"  kata Raymond merayu ayahnya.

Raymond tahu betul kesukaan ayahnya. Dia tahu ayahnya suka menonton film biru. Raymond menggunakan alasan itu untuk merayu ayahnya.

"Pa, nanti kalo Raymonnd menang, papa dapat film biru terbaru. Di jamin tokcer," rayu Raymond.

Mendengar rayuannya, Robby menjadi goyah. Rupanya  Raymond menyentuh kelemahan ayahnya. Robby melihat sekelilingnya. Dilihatnya, sang istri tidak ada. Robby mulai tergoda.

"Psst! Ayo ikut papa!" ajaknya.

Raymond mengikuti langkah ayahnya. Di tempat sepi, ayahnya memberikan sebuah list film biru yang di kehendakinya. Dia tunjukkan foto bintang panas yang dia idam-idamkan. 

"Mond. Cariin yang artisnya ini ya. Kalo kamu dapat nanti papa atur deh supaya kamu bisa ngeband. Tapi, papa minta satu. Ikuti aja mau mamamu," bisik Robby.

Raymond tersenyum manis. 

"Beres, Pa. Nanti deh setelah latihan aku bawakan," kata Raymond sambil tersenyum manis.

Karena tergiur dengan bujukan Raymond, Ribby lupa dengan misinya. Raymond pun akhirnya berhasil pergi ke studio bang Boim. Sesampainya di rumah, Anggi yang melihat Robby pulang sendirinan keheranan.

"Pa. Mana Raymond?" tanya Anggi pada Robby.

Deg! Robby tersadar jika dia tadi berjanji pada Anggi untuk mencegah Raymond pergi. 

"Uhm … anu. Raymond … ," kata Robby dengan takut.

Keringat dingin menetes melihat Anggi yang marah besar. Anggi menatap curiga pada Robby. 

"Owh, rupanya kalian sekongkol ya?" kata Anggi dengan nada curiga.

"Ng--Nggak. Nggak, Ma!" Robby yang ketakutan berusaha menyangkalnya.

Anggi yang melihat kebohongan di mata Robby langsung memangkasnya.

"Papa bohong! Rupanya, Papa tak bisa Mama percaya," kata Anggi dengan nada marah.

"Ma, gak gitu. Tadi Ray … ," kata Robby hendak menjelaskan.

Namun, Anggi yang sudah marah justru masuk ke kamarnya  dan mengunci Robby yang masih di depan kamarnya. Robby yang hendak masuk terkejut ketika pintu kamarnya di kunci dari dalam.

"Ma! Buka pintu. Ma, please … buka pintunya," kata Robby sambil menggedor pintu rumahnya.

Anggi tak menggubrisnya. Dia biarkan saja Robby menggedornya. Setelah kelelahan menggedor dan tak diperdulikan Anggi, Robhy hanya duduk termenung di ruang tengah.

"Sial! Malam ini, alamat nih kesepian. Nasib ... nasib. Bini gue kejam amat sih. Sukanya ngediskon jatah mulu," keluhnya dalam hati.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login