Suara burung hantu memecah malam bulan purnama di atas bukit kecil, di kaki gunung Ciremai. Nadanya lambat dengan ketukan dua dua. Awan hitam ramping berenang pelan di depan rembualan yang bulat sempurna. Angin berbisik mengabarkan dingin pada dua sosok lelaki yang sedang berdiri berhadapan. Keduanya berbadan tegap, tingginya hampir sama. Yang satu berkaus hitam, satunya lagi bertelanjang dada.
Sehelai daun melayang jatuh di antara mereka. Kemudian mereka hampir serentak memasang kuda-kuda. Suara burung gagak menimpali suara burung hantu dua kali. Dua lelaki itu tampak siap saling menyerang.
Detik berikutnya, setelah suara gagak berteriak sekali, lelaki yang bertelanjang dada melancarkan pukulan tangan kanannya ke arah wajah lelaki yang berkaus hitam. Namun, tidak kalah cepat, leleki yang berkaus hitam menangkis serangan itu dengan tangan kirinya sambil balik menyerang dengan pukulan tangan kananya ke wajah lelaki yang bertelanjang dada. Lelaki yang bertelanjang dada itu melindungi wajahnya dengan tangan kirinya.
Angin menjadi sedikit kencang. Mereka saling jual-beli pukulan dan tendangan. Tampak dari gerakanya, mereka memang menguasai ilmu bela diri. Untuk beberapa saat lamanya, pertarungan mereka tampak imbang. Suara burung hantu berketuk dua dua seperti menyoraki mereka.
Lelaki yang berkaus hitam melompat berputar melayangkan tendangan mengarah ke kepala lelaki yang bertelanjang dada. Lelaki yang bertelanjang dada merunduk memutar menyapu tanah mengarah kaki lelaki yang berkaus hitam. Serangan mereka sama-sama memakan angin.
Baru saja lelaki berkaus hitam menapak di atas tanah, lelaki bertelanjang dada sudah melayang mengarahkan dengkulnya ke wajah lelaki berkaus hitam. Lelaki berkaus hitam segera melompat ke belakang sambil menangkis lutut lelaki yang bertelanjang dada dengan kedua tangannya. Tapi siku kanan lelaki yang bertelanjang dada tidak terelakan mengenai kepala lelaki yang berkaus hitam.
Lelaki yang bertelanjang dada menapak di tanah dan langsung melompat kembali mengincar wajah lelaki yang berkaus hitam yang sempoyongan sambil mengusap-usap kepalanya.
"Peace...! peace...!" teriak lelaki yang berkaus hitam sambil jongkok.
Lelaki yang bertelanjang dada menghentikan seranganya. "Yah, gitu aja nyerah." ujarnya meledek lelaki yang berkaus hitam.
"Udah, ah. Laper nih."
"Makan mulu, otak lo."
"Bertempur itu, perlu power. Kalo gak makan, gimana mau menang?"
"Ngeles."
Lelaki yang berkaus hitam berjalan santai dan berdiri di bibir tebing bukit kecil itu. Lelaki yang bertelanjang dada mengikutinya dan berdiri di sampingnya. Meraka menatap pada nyala lampu sebuah rumah yang tampak tidak terlalu jauh dari atas bukit kecil itu.
"Sekarang jam berapa, ya?"
"Jam 8 sih, ada kali."
"Kayaknya makan malam udah mateng, nih."
"Gue gak yakin."
Tiba-tiba lelaki yang berkaus hitam memukul kepala lelaki yang bertelanjang dada dengan telapak tangan kananya.
"Aduh sue, lo!" teriak lelaki yang bertelanjang dada sambil mengusap-usap kepalanya.
Lelaki yang berkaus hitam melompat dari atas tebing bukit kecil setinggi lima meter itu.
"Satu sama, bro!" teriaknya.
"Tempe, lo!" lelaki yang bertelanjang dada melompat menyusul lelaki berkaus hitam.
Lelaki bertelanjang dada mengejar lelaki berkaus hitam. Mereka berlari membelah hutan kecil di ujung sebuah desa, di kaki gunung ciremai. Di bawah sinar bulan purnama, mereka melesat menuju sebuah rumah yang tidak terlalu jauh dari bukit kecil itu. Rumah yang juga sedikit terpencil dari kerumunan rumah lainya di desa itu.
Seekor burung gagak menclok di salah satu batang pohon randu yang agak besar.
"KAAAKK....! KAAAKK...!" si gagak bersuara dua kali. Matanya menangkap dua lelaki yang sedang berlari beradu kecepatan itu.
Sebentar kemudian gagak itu melompat mengepakan sayapnya, dan melayang terbang seperti menuju rembulan.
Si gagak meluncur dengan kepakan sayap pasti menuju sebuah rumah yang tidak jauh dari bukit kecil itu.
Dalam waktu yang tidak lama. Si gagak bermanufer dan mencakarkan kakinya mencengkram sebuah dahan dari salah satu pohon yang tidak jauh dari rumah itu. Kemudian mata si gagak mengawasi rumah yang tidak jauh dari bukit kecil itu.
Mia sedang menata meja makan di teras samping rumah milik neneknya yang telah lama tiada.
"Hmm... Wangi..." ujarnya sambil menghirup aroma masakan yang terbawa angin dari dapur. "Lo tuh lengkap ya, ni." lanjutnya.
"Lengkap apanya?" tanya Irni dari dalam dapur sambil sibuk memasak.
"Gak, ini, aroma masakan lo, bikin laper."
"Jangan ketipu sama wanginya. Dagingnya masih keras nih."
"Percaya..."
"Jujur ya, kalo dibandingin sama masakan lo. Masakan gue pasti kalah."
"Kata siapa?" Mia masuk ke dapur.
"Kata Nedi." Irni melirik pada Mia.
"Dia ngomong apa soal masakan gue?" tanya Mia sambil menempatkan beberapa masakan yang sudah matang di atas baki besar.
"Katanya, lo cocok kalo jadi istrinya. Masakan lo pas di lidahnya." kata Irni sambil mengaduk rendang sapi yang sebentar lagi matang.
"Ah, abang lo tuh, suka gombal." Mia keluar membawa beberapa masakan di atas baki yang siap di hidangkan.
"Jujur aja, lo juga suka kan ma abang gue?"
"Lumayan." Mia menyusun hidangan di meja makan itu.
"Call... Dong. Dia udah meluncur, belom?"
"Biarin, ah. Tar juga nongol."
Tiba-tiba HP Mia berdering. Ia mengambil HP-nya dari kantong celananya. Panggilan dari Nedi.
"Pasti abang gue." Irni keluar dari dapur.
Mia tersenyum "Hai...." ia menjawab panggilan Nedi.
"Cie... Jawabnya aja udah mesra." Irni duduk di salah satu kursi meja makan.
"Irni, Ned." bibir Mia dimanyunkan meledek Irni. "Dua atlet kita belum belum datang."
"Bang, buruan...! Mia kangen." teriak Irni.
"Apaan, sih...!" Mia berbisik tajam pada Irni. Wajahnya agak memerah. "Iya... Oke... Dah...!" Mia menutup telpon-nya.
"Udah sampe mana katanya?" tanya Irni.
"Sampai di hati mu." jawab Mia sedikit ketus.
"Jangan gitu, dong. Gue kan calon adik ipar lo yang baik hati."
"Bang Nedi, baru mau meluncur." Mia tersenyum meledek.
"Baru mau...? Wah... Ada rindu yang tertunda nih."
"Semakin lama tertunda, semakin hangat ketika bertemu." kata Mia sambil masuk ke dapur.
"Cie... Emang dia lagi dimana sih?"
"Mau ziaroh dulu katanya sebentar ke makam kakek-nenek kita." Mia keluar sambil membawa hidangan yang lain lagi. "Calon adik iparku yang baik hati, bantuin dong."
"Oh, iya, kakak. Maaf..." Irni kemudian membantu Mia melanjutkan menyiapkan hidangan di meja makan.
Mia dan irni membawa beberapa hidangan ke meja mekan di teras samping rumah itu. Lelaki yang berkaus hitam melompat melewati pagar setinggi 180 cm dengan gaya prkur. Lelaki yang bertelanjang dada menapakan kaki di atas pilar pagar itu, lalu melompat salto mengejar leleaki yang berkaus hitam. Mia dan Irni yang sedang menyusun hidangan di meja makan berehenti sebentar melihat mereka.
Lelaki yang berkaus hitam melesat cepet berlari hendak menaiki tiga anak tangga teras itu. Tapi lelaki yang bertelanjang dada tidak mau kalah. Ia melompat seperti harimau yang hendak menerjang mangsanya. Lelaki yang berkaus hitam berhasil mencapai teras dan cepat bergerak meraih salah satu kursi meja makan. Lelaki yang bertelanjang dada berguling di lantai teras. Lelaki yang berkaus hitam memutar kursi sedemikin rupa untuk ia duduki. Namun, lelaki yang bertelanjang dada itu mendahului duduk di kursi yang di putar lelaki yang berkaus hitam itu.
"Hei, hati-hati...!" teriak Mia sambil memegangi maja makan.
"Gue menang." leleki yang bertelanjang dada menyandarkan tubuhnya di kursi itu sambil meledek pada lelaki yang berkaus hitam yang masih memegangi senderan kursi itu.
"Gitu dong, sekali-kali harus menang. Masa kalah terus dari gue." ujar lelaki yang berkaus hitam tidak mau kalah sambil berjalan menuju kursi dekat Irni yang tengah melanjutkan menyusun hidangan.
"Kampret, lo." ketus lelaki yang bertalanjang dada sambil menuangkan air bening ke gelas yang telah diambilnya di meja makan.
"Udah gede masih pada becanda aja." kata Irni.
"Latihan, cantik, Bukan becanda." ucap lelaki yang berkaus hitam sambil duduk di kursi dekat Irni.
"Kalo hidangan ini berantakan, gue hajar lo berdua." bentak Mia.
"Usss... Galak bener..." ledek lelaki yang bertelanjang dada.
"Jangan galak galak, bentar lagi juga ketemu." kata lelaki yang berkaus hitam.
"Sialan, lo." Mia menimpuk lelaki berkaus hitam itu dengan lap tangan sambil melangkah masuk ke dapur.
"Lo, bedua tuh, gak ada kerjaan ya. Malem malem begini nyari keringet." kata Irni.
"Ini kerjaan serius, sayang. Aku bantuin Oban latihan buat kompetisi tingkat nasional minggu depan." tutur lelaki yang berkaus hitam itu sambil menunjuk ke lelaki yang bertelanjang dada yang dia panggil dengan nama Oban.
"Iya, Ni. Gue perlu bantuan Bayeng buat latihan." ujar Oban.
Irni melirik pada lelaki yang berkaus hitam itu yang di panggil Bayeng oleh Oban.
Bayeng tersenyum menatap Irni. Kemudian ia menuangkan jus jeruk dari teko kaca ke gelas yang baru diambilnya.
"Emangnya gak ada hari esok?" Irni melenggang masuk ke dapur untuk membantu Mia.
"Besok kita gak tau masih bisa melihat matahari atau enggak. Jadi lakuin aja apa yang bisa lo kerjain hari ini." kata Oban penuh semangat.
"Tumben, encer otak lo." ledek Bayeng pada Oban.
Oban mengambil sebuah jeruk yang tersusun rapi di piring bersama jeruk lainya, lalu melemparnya pada Bayeng. Bayeng menangkap jeruk itu.
"Gue mandi dulu." Oban berdiri. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah lewat pintu depan.
"Thank you." Bayeng mengupas jeruk itu.
Irni dan Mia keluar dari dapur membawa beberapa hidangan untuk di sajikan bersama hidangan lain yang sudah tersusun rapih di meja makan. Bayeng menaruh jeruk yang baru dikupasnya, ia berdiri untuk membantu Mia dan Irni yang handak menyusun hidangan itu.
Angin malam terasa menyegarkan. Suara kodok bersahutan dan rombongan jangkrik yang bernyanyi membuat suara deras air anak sungai yang tidak jauh dari tempat itu membangun suasana yang membuat otak jadi santai.
Mata si gagak berkedip dua kali. Gambaran aktifitas para pemuda dan pemudi di rumah itu lenyap dari matanya. kemudian si gagak melompat dan kembali mengepakan sayapnya terbang membelah langit malam.