Keesokan harinya, Nadia bersiap untuk pergi ke sekolah seperti biasanya. Berusaha melupakan kejadian semalam. Ia berharap Bianca sekarang juga sudah merasa lebih baik. Mungkin Bianca terlalu marah padanya karena ia bersama dengan Rafandra.
Seperti biasanya, Nadia menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sebelum berangkat ke sekolah. Setelah semuanya sudah ia pastikan rapi dengan baik, barulah Nadia berangkat ke sekolah dengan tenang.
Gadis itu berjalan santai menyusuri koridor sekolah. Senyuman manisnya tidak pernah ia lupakan, dan ia juga selalu menyapa siswi lain yang berpapasan dengannya karena Nadia memang terkenal dengan keramahannya.
Saat asyik berjalan dan bersenandung kecil, gadis itu tiba-tiba ter-pelonjat kaget, sebab ada tangan kekar yang tiba-tiba menyender di punggungnya, lalu merangkul punggung sempit itu.
"Rafa?!" pekik Nadia saat tersadar siapa pemilik tangan itu.
Dengan segera, Nadia menepis tangan Rafa. Gadis itu tidak mau menambah masalah lagi dengan Bianca. Tidak lagi untuk saat ini dan seterusnya.
"Kenapa?" tanya Rafa tidak paham. Remaja laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Apanya yang kenapa?" tanya Nadia balik.
"Kenapa melarang ku merangkul mu?" jelas Rafa.
Nadia terdiam sejenak dan berpikir alasan apa yang tepat supaya Rafa tidak sakit hati ataupun salah paham.
"A-aku hanya tidak suka. Aku risih," ucap Nadia tanpa melihat siapa yang mengajaknya berbicara.
"Ck, kamu ini..." decak Rafa.
Tidak menghiraukan Rafa, Nadia berjalan begitu saja meninggalkan remaja itu. Membuat Rafa menggelengkan kepalanya takjub dengan sifat Nadia yang berubah-ubah dalam sekejap. Kemarin Nadia menurut, lalu marah dan dingin. Sekarang seperti itu lagi, hanya saja gadis itu masih berusaha untuk berbicara dengan sopan.
Rafa sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Nadia. Mungkin itu semua karena Rafa hanya mengenal Nadia dari sisi luarnya saja. Sebab tidak ada yang tau bagaimana sisi dalam Nadia yang sebenarnya penuh luka tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya.
"Hei, Nadia. Tunggu aku!" teriak Rafa memanggil gadis cantik yang sudah berjalan cepat semakin meninggalkan dirinya.
Nadia tidak menghiraukan panggilan Rafa, ia terus berjalan cepat bahkan sampai berlari kecil untuk menghindari siswa baru yang selalu membuntutinya itu. Nadia risih juga takut, ia segera masuk ke dalam kelasnya secepat mungkin.
Gadis cantik itu menghela nafas lega ketika melihat Yeri sahabatnya sudah duduk manis di bangkunya. Setidaknya ada yang akan membantu nya untuk menghindari Rafa pagi ini. Nadia berjalan perlahan menghampiri Yeri dan duduk di bangku kosong samping siswi berpipi chubby itu.
Beberapa saat kemudian, Nadia sadar dengan raut wajah Yeri yang tidak seperti biasanya. Gadis gembul itu terlihat lesu dan tidak bersemangat. Merasa tidak biasa, Nadia tersenyum tipis dan menatap sahabatnya itu dengan lekat. Namun tidak ada pergerakan dari Yeri yang masih diam menyenderkan kepalanya di atas mejanya.
"Kamu kenapa?" Nadia memberanikan diri untuk bertanya Yeri.
Yeri menghela nafas berat dan hanya menggeleng pelan sebagai respon dari pertanyaan Nadia. Merasa tidak puas dan tidak percaya, Nadia bertanya lagi.
"Kamu kenapa? Jawab aku," kini Nadia sedikit memaksa Yeri untuk menjawab.
Yeri mengangkat kepalanya dan menatap Nadia dengan sendu yang mana membuat Nadia terheran-heran karena tidak biasanya Yeri yang galak berubah menjadi seperti gadis lemah.
"Apa aku sangat gemuk ya?" Yeri menatap Nadia dengan tatapan semakin sendu, bahkan bibirnya pun mengerucut.
"T-tidak, tidak gemuk sama sekali. Apa yang kau tanyakan ini?" Nadia menatap Yeri sambil tersenyum, tangannya menggenggam tangan Yeri.
"Aish, jangan mengatakan itu untuk menenangkan aku saja. Jawablah dengan jujur, Nadia," gerutu Yeri.
Nadia menggeleng. "Aku sudah jujur. Kau tidak gemuk, Yeriee..."
"Ck, tapi lelaki menyebalkan itu mengatakan kalau aku gemuk. Bahkan katanya aku menghalangi jalannya ... Huwaaa~~..."
Seketika Nadia panik, Yeri tiba-tiba merengek seperti bayi. Dengan cepat Nadia membekap mulut gadis gembul itu, sebab anak-anak yang lain sudah melempar tatapan tak suka dengan suara mengganggu Yeri.
"Sssttt... Apa kamu tidak malu? Di kelas banyak anak-anak yang lain," ucap Nadia berusaha menenangkan sahabatnya itu (lagi).
"Huem, mulai sekarang, aku tidak akan makan. Aku ingin kurus," sahut Yeri sambil sedikit terisak dan mengusap ingusnya yang sedikit keluar.
"Jangan menyiksa dirimu. Katakan padaku siapa laki-laki yang mengatai dirimu. Akan ku habisi dia," Nadia berkacak pinggang, berakting seolah-olah ingin mengajak baku hantam.
Yeri mendengus kasar. "Aku tidak mengenal nya. Aku hanya bertemu di toserba kemarin malam," jujurnya.
"Sudahlah, jangan seperti ini, kau itu sudah cantik apa adanya. Yang terpenting kan kau sehat, jangan insecure. Mengerti?" tutur Nadia membuat Yeri mengangguk-anggukkan kepalanya seakan menurut.
Nadia tersenyum lega ketika sahabatnya itu sudah tenang. Ya, cukup beruntung jika Yeri tidak melanjutkan aksi merengek manjanya. Terlebih lagi Nadia sudah cukup pusing karena harus menghindari Rafa yang bahkan saat ini masih memandangi dirinya dari bangkunya.
"Beruntung nya jika aku jadi dirimu,"
Perkataan Yeri membuat Nadia mengerutkan keningnya. Nadia tidak paham dengan apa yang baru saja di katakan oleh sahabatnya itu.
"Apa alasan mu bilang seperti itu?" tanya Nadia.
"Kamu cantik, wajahmu sempurna dan juga tubuh mu indah. Semua orang menyukai mu. Bagaimana pun juga, kau beruntung bukan?" jawab Yeri sambil menundukkan wajahnya.
"T-tapi, aku tidak pernah mendapatkan cinta seperti apa yang selama ini orang lain dapatkan, Yer," lirih Nadia.
Yeri seketika mendongakkan kepalanya. Gadis itu tau apa yang di maksud oleh Nadia, sebab selama ini hanya ia yang mendengar segala keluh kesah dari gadis cantik sahabatnya itu. Yeri merasa sangat bersalah karena secara tak langsung ia berpikir sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Nadia.
"Maaf Nadia. A-aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu tentang itu. Maaf," ucap Yeri panik.
Nadia tersenyum teduh dan menggeleng. Nadia sebenarnya juga tau kalau sahabatnya itu tidak mungkin memiliki pemikiran seperti itu. Nadia paham bahwa yang di inginkan oleh Yeri hanya fisiknya, namun itu benar-benar bertolak belakang dengan keinginan Nadia yang selama ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang tulus dari semua orang di dekatnya.
"Ah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku mengerti maksud mu," sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung Yeri lembut.
Yeri tersenyum canggung. "odohnya aku mengatakan ini!" batinnya.
Sementara Nadia mulai sibuk mengeluarkan buku-buku dari tas sekolahnya. Menata buku pelajaran itu rapi di atas meja nya. Kemudian, ia melamun dan kembali bersedih. Semua orang mengira hanya karena memiliki fisik sempurna membuat dirinya bahagia dan mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Namun pada kenyataannya itu adalah kesalahan yang besar.
Nadia tidak pernah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan mudah. Harus ada usaha yang lebih untuk segalanya yang ia inginkan. Belum lagi jika Bianca atau Mama tirinya yang menghalangi keinginannya.
Sejak dulu, Bianca ingin menyerah pada keadaan karena ia merasa tidak sanggup untuk menjalaninya. Namun karena dukungan dari Yeri dan karena ia juga menunggu janji dari Bunda nya membuat ia harus berpura-pura tegar untuk waktu yang lama.
Kebahagiaan yang selama ini Nadia inginkan hanya menjadi sebuah angan-angan belaka bagi gadis berusia 17 tahun tersebut. Cukup beruntung baginya memiliki sahabat seperti Yeri yang mau menerima dirinya dengan baik tanpa memandang apapun dari sisi baik buruk dirinya.
Jika bukan karena Yeri, mungkin Nadia sudah menjadi korban bully anak-anak yang lain sebab tidak ada yang mau berteman dengannya secara tulus karena kebanyakan dari mereka hanya menaruh perasaan iri pada Nadia.
Sungguh menjadi sebuah keprihatinan tersendiri bagi gadis cantik itu.
"Jika kalian iri pada fisikku, apa aku juga boleh iri pada kebahagiaan kalian? Jika aku boleh memilih, aku hanya ingin di hargai karena apa adanya diriku. Aku tidak ingin di hargai karena fisik atau belas kasihan. Sungguh, ini membuatku semakin merasa tidak berguna sudah di lahirkan di dunia ini!" batin Nadia. Kemudian ia tersenyum kecut.
..
Jam pelajaran ke 2 adalah olahraga. Semua murid kelas 12 IPA-1 itu keluar dari kelas menuju ruang ganti dan segera berkumpul di lapangan olahraga.
Nadia dan Yeri berjalan menuju titik kumpul. Semua pandangan beralih pada Nadia yang memakai kaos putih polos dan menguncir rambut nya dengan gaya ponytail.
"Apa ada yang salah denganku? Kenapa anak-anak menatap ku seperti itu?" bisik Nadia pada Yeri.
Yeri menggeleng. "Entahlah, aku sendiri juga tidak tau," sahutnya.
Tiba-tiba, Rafa datang entah darimana. Anak itu menarik kuncir rambut yang di pakai oleh Nadia dari arah belakang, membuat rambut indah Nadia jadi tergerai. Hal itu sukses membuat Nadia terpelonjat kaget.
"Apa yang kamu lakukan?" geram Nadia sebal.
"Jangan menguncir rambut mu seperti itu. Kamu jadi kelihatan sangat jelek," sahut Rafa.
"Apa urusannya denganmu? Kembalikan!" seru Nadia kesal.
Gadis itu melompat-lompat kecil berusaha mengambil kuncir rambut yang di pegang Rafa. Tubuh Rafa yang tinggi membuat Nadia tak sampai untuk menggapai nya.
Rafa tak menghiraukan Nadia yang terus memintanya untuk mengembalikan kuncir rambut nya itu. Rafa justru membuang kuncir rambut Nadia ke tempat sampah.
"Rafa, kamu itu nyebelin banget sih. Berhentilah mengganggu ku," sungut Nadia yang sudah tidak tahan lagi.
Gadis bertubuh mungil itu mengerutkan keningnya sambil memanyunkan bibirnya lucu. Rafa membungkuk kan badannya menyamakan tingginya dengan Nadia.
Wajah Rafa terpampang jelas di depan manik cantik Nadia. Ini benar-benar membuat jantung Nadia berdetak tidak karuan.
"Aku suka melihat mu kesal seperti ini. Jangan tunjukan raut wajah seperti ini pada anak laki-laki yang lain," ucap Rafa tepat di depan wajah Nadia.
"Kenapa?" tanya gadis itu.
"Mereka akan jatuh hati padamu!" sahut Rafa sambil menegakkan kembali tubuh nya.
Kemudian, Rafa berlalu begitu saja meninggalkan Nadia. Wajah Nadia merah merona karena perkataan yang di lontarkan oleh Rafa.
"Aish, ada apa denganku.." decak Nadia sambil menghentak-hentakkan kakinya gemas. Gadis cantik itu salah tingkah hanya karena perkataan Rafa.
Sementara Yeri hanya diam melihat pemandangan yang ada di depannya tadi. Gadis gembul itu menyunggingkan senyumnya.
"Kamu sudah bertemu dengan nya, Nadia.." batin Yeri.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara riuh di lapangan. Semua anak berkumpul menyaksikan dua orang siswa dan siswi yang berdiri di tengah kerumunan.
Dua murid itu adalah Bianca Arsa Wijaya dan Kapten tim basket SMA Pelita Bangsa, yaitu Dilan Arkananta.
Dilan berdiri tepat di hadapan Bianca, sambil membawa buket bunga mawar dan juga boneka beruang berukuran sedang berwarna putih tulang.
"Bianca, aku selalu ingin mengatakan ini setiap melihat mu," ucap Dilan sambil menatap dalam manik cantik Bianca.
"Karena sangat berharga, aku menyimpan nya untuk ku katakan di saat yang tepat--" Dilan mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan nafasnya perlahan. "dan ku rasa, ini adalah saat yang tepat..."
Dilan duduk berjongkok di bawah Bianca. Kepalanya mendongak melihat Bianca yang sedari tadi menatapnya dengan wajah datarnya, benar-benar tanpa ekspresi sama sekali.
"Aku menyukai mu, Bianca. Apa kamu mau berpacaran dengan ku?" tanya Dilan dengan serius dan penuh harap dalam pandangannya.
Suasana semakin riuh. Semua murid yang melihat itu langsung berteriak meminta Bianca untuk menerima ajakan kencan itu.
"Terimaa !! Terimaa !! Terima !!" sorakan dari para siswa siswi yang ada di lapangan.
Bianca mendengus pelan.
"Hei, mau bertaruh denganku?" bisik Yuna pada Lia.
"Untuk?" sahut Lia.
"200 ribu, Bianca akan menerima Dilan!" seru Yuna.
Lia mengernyit. "Baiklah. 200 ribu, Bianca akan menolak Dilan..."
"Deal!!" ucap Yuna sambil menyeringai.
Sementara itu, Bianca melihat ke arah Nadia yang dari tadi menatapnya tanpa berkedip. Melihat Bianca mengarahkan pandangan ke arahnya, Nadia tersenyum canggung. Ia tak mengerti maksud adiknya itu.
"Hei, terima saja, Bianca. Kalian cocok!!" seru salah seorang siswi yang ada di situ.
Bianca merotasikan kedua bola matanya malas. Lalu menatap Dilan yang masih duduk berjongkok di depannya itu.
Gadis itu menampilkan senyuman manis nya.
"Maaf. Aku tidak bisa," ucap Bianca singkat dan tegas.
Semua anak langsung terdiam mematung mendengar jawaban tidak terduga dari Bianca.
Yuna melongo di buatnya. Sementara Lia mengadahkan tangannya di depan Yuna.
"200 ribu!!" ucap Lia santai.
Yuna merogoh saku celananya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Ck, beruntung lo kali ini." cebik gadis itu.
Lia terkekeh penuh kemenangan.
"Lo yang ngajak, lo juga yang kalah... Ckckck..." Lia menggelengkan kepalanya pelan.
Dengan senyuman yang memudar, Dilan berdiri menatap Bianca dengan tatapan sendu. Tidak menyangka gadis yang sangat ia harapkan itu akan mempermalukan dirinya seperti ini.
Benar, selama ini Dilan dan Bianca memang cukup dekat. Ya, tentunya sebelum Rafa pindah ke sekolah mereka. Bianca sering mengatakan bahwa dia nyaman dan tenang jika bersama dengan Dilan. Maka tidak salah bukan, jika Dilan mengira bahwa Bianca menaruh rasa padanya?
"Kenapa? Kenapa kamu menolak ku? Apa alasan mu?" tanya Dilan yang masih tidak percaya dengan penolakan dari Bianca.
"Aku tidak menyukai mu, Dilan. Maaf..." sahut Bianca tenang.
"Kamu bilang tidak menyukai ku?!" Nada bicara Dilan meninggi seketika.
Nadia mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat adik nya di bentak oleh orang lain. Namun, gadis itu masih mengamati keadaan, dan berusaha untuk tetap tenang.
"Iya, aku tidak menyukai mu.." ucap Bianca memperjelas jawaban yang ia lontarkan.
"Lalu, apa kamu anggap selama ini aku mainan mu? Kamu bilang, kamu nyaman dekat dengan ku, kamu tenang saat bersama ku. Kenapa kamu pandai sekali mempermainkan perasaan orang lain, ha?" tukas Dilan di penuhi oleh amarah.
"Aku tidak pernah bilang padamu jika aku nyaman dan tenang saat bersama mu itu seperti layaknya seorang perempuan dan laki-laki. Aku nyaman dekat dengan mu karena aku menganggap mu sebagai temanku," jawab Bianca dengan tatapan dinginnya.
"Hentikan semua ini, dan jangan berharap berlebihan padaku.." sambung Jaemin.
Gadis itu kembali melirik ke arah kakaknya. Lagi-lagi sosok yang di liriknya itu tersenyum canggung.
Bianca kemudian menghela nafas berat. Memantapkan apa yang akan ia ucapkan.
"Karena aku sudah menyukai seseorang!" pungkasnya, dan berlalu begitu saja meninggalkan lapangan.
Dilan benar-benar di buat malu oleh Bianca. Anak itu membanting buket mawar dan boneka yang ada di tangannya, kemudian menginjak-injak nya dengan kasar.
"Gadis nggak tau diri. Kamu lihat aja nanti apa yang bisa aku lakukan padamu. Tidak akan aku biarkan kamu pergi begitu saja. Aku akan membuat perhitungan padamu karena sudah mempermalukan diriku," umpat Dilan dengan senyuman iblis nya.
***
Nadia dan Yeri duduk berdua di tangga dekat gudang olahraga. Ini saatnya jam istirahat, tetapi kedua siswi itu masih belum berganti pakaian dan lebih memilih untuk istirahat sejenak sambil berbincang kecil.
Sementara Rafa hendak keluar dari gudang olahraga. Ia baru saja mengembalikan beberapa peralatan olahraga yang tadi ia gunakan.
"Bukankah Bianca sedikit keterlaluan pada Dilan?"
Itu Yeri yang bertanya pada Nadia. Mendengar percakapan dua siswi itu, Rafa menghentikan langkahnya yang hendak keluar dari gudang olahraga itu.
Nadia menggeleng pelan. "Menurut ku tidak," sahut gadis cantik itu.
"Kenapa? Kamu mau bela dia lagi?" gerutu Yeri.
"Tidak. Aku tidak membelanya kali ini. Yang di lakukan Bianca itu benar, jika kamu tidak menyukai seseorang lebih baik jujur dan mengatakan nya," jelas Nadia pada teman gembul nya itu.
"Tapi, selama ini dia dekat dengan Dilan. Ck, bisa-bisanya dia bilang kalau dia tidak menyukai Dilan," cebik Yeri.
"Dekat bukan berarti memiliki rasa, Yeri..." sahut Nadia tersenyum tipis.
Yeri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tapi, aku akui Dilan sangat berani. Bukan begitu?" tanya Yeri.
"Ya, kamu benar. Tidak semua anak laki-laki berani mengambil resiko seperti itu," sahut Nadia.
"Apa suatu saat, kamu juga mau diperlakukan seperti itu jika ada yang ingin mengungkapkan perasaannya padamu?" tanya Yeri dengan serius.
Saat mendengar Yeri yang bertanya seperti itu pada Nadia, Rafa semakin serius mendengarkan percakapan mereka. Telinganya ia tempelkan ke dinding gudang olahraga itu agar bisa mendengar lebih jelas.
"Tidak perlu. Jika memang ada yang ingin mengungkapkan perasaannya padaku, tidak perlu melakukan hal seperti itu. Cukup ungkap kan saja dengan tulus. Jika memang dia berhasil menyentuh hatiku mungkin aku akan langsung menerima nya," ucap Nadia sambil cengengesan.
Karena dinding gudang itu berhimpitan dengan rak bola, Rafa tak sengaja mendorong rak itu dengan tubuh bongsornya.
*Grubyakkk!!!
Suara riuh terdengar dari dalam gudang membuat Nadia dan Yeri terkejut. Rak bola itu ambruk karena senggolan tubuh Rafa.
Nadia dan Yeri masuk ke dalam gudang untuk mengecek apa yang terjadi. Pasang manik kedua gadis itu terbelalak melihat Rafa yang cengengesan memunguti bola-bola yang berjatuhan.
"Rafandra?!" ucap Nadia dan Yeri bersamaan.
"Ehehe..." Rafa menyengir tak berdosa.
"Bantu aku..." sambung siswa berhidung mancung itu.
.
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT