Download App
4.64% GIVE ME LOVE / Chapter 11: Apa yang ku rebut darimu?

Chapter 11: Apa yang ku rebut darimu?

Rafa mengernyit bingung ketika membaca pesan itu. Beberapa detik kemudian, ia mengingat sesuatu. Tidak ada orang lain yang tahu bahwa Rafa memiliki janji dengan seseorang kecuali Bianca. Jadi, kemungkinan besar orang yang telah mengirim pesan itu pastinya adalah Bianca.

"Ah, ini pasti Bianca," Ucap nya ketika ia mengingat kejadian tadi pagi yang beralasan ketika di ajak pergi oleh Bianca.

Sebenarnya Rafa merasa tidak enak hati karena Bianca tau dia hanya beralasan saja supaya tidak jadi keluar bersama gadis itu. Namun mau bagaimana lagi? Rafa memang tidak menyukai sosok Bianca dari awal. Rafa justru lebih tertarik pada Nadia yang terlihat lemah lembut dan baik hati.

"Aku harus bilang apa sama Bianca? Dia salah paham atau enggak ya? Kalau dia salahin Nadia karena aku yang udah nolak permintaan dia buat iku ke toko sepatu gimana? Kan nanti jadi masalah sama Nadia nya kasihan," monolog raga sambil memandangi layar ponselnya yang menampilkan chat dari Bianca.

Rafa hanya takut jika kesalahpahaman dari Bianca menyeret Nadia juga, sebab sebenarnya Rafa sendiri sudah sedikit tau kalau sebenarnya hubungan antara Bianca dan Nadia itu tidak cukup baik. Meskipun Rafa masih belum tau apa alasannya, tapi yang jelas bisa Rafa lihat kalau memang Bianca tidak terlalu menyukai Nadia.

"Lebih baik aku jelasin dulu ke Bianca daripada semuanya jadi kacau. Kasihan Nadia," putus Rafa lalu mulai mengetikkan sesuatu di layar benda pipih itu.

Ketika ia hendak membalas pesan Bianca, tiba-tiba ponselnya mati. Baterainya habis. Alhasil, Rafa tidak bisa membalas pesan yang dikirim oleh Bianca itu, dan mungkin saja Bianca yang saat ini di seberang sana merasa di abaikan oleh Rafandra.

"Ck, lupa charger lagi..." Gerutu Rafa.

Dengan ogah-ogahan, Rafa mengecas ponselnya lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hingga entah karena terlalu lelah atau bagaimana akhirnya, Rafa terlupa untuk membalas pesan Bianca, dan justru tertidur.

***

Di sisi lain, Bianca merengut sambil memandangi ponselnya. "Cuma di baca aja? Ck, menyebalkan sekali. Apa dia pikir, dia setampan dan sepopuler itu sampai kau berani mengabaikan pesanku? Dasar!" umpat Bianca lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Gadis cantik itu kemudian keluar dari kamarnya sambil merengut kesal.

Sementara Nadia yang baru sampai rumah, langsung masuk ke kamarnya untuk istirahat dan juga membersihkan diri. Seharian bekerja membuat tubuhnya lengket. Setelah mandi, Nadia keluar dari kamar mandi dengan rambut nya yang masih basah terbalut handuk. Manik cantiknya itu menangkap sesosok gadis yang duduk di tempat tidurnya.

"Kamu lupa sama apa yang udah aku peringatkan sama kamu waktu itu?" Bianca membuka suara. Pandangan gadis itu seperti hendak menerkam Nadia saat itu juga.

Nadia sudah tau apa yang di maksud oleh Bianca saat ini, sudah tentu Bianca tau kalau tadi sore ia bersama dengan Rafa di kedai camilan. Meski hanya sebentar, jika Bianca sudah tau Nadia bersama dengan Raka, maka Bianca tidak akan pernah perduli ataupun mau tau berapa lama mereka bersama.

"Jangan salah paham, Bianca..." lirih Nadia, gadis cantik itu berjalan mendekati adiknya.

"Tidak, aku tidak pernah salah paham padamu. Aku memang sudah mengenal sifat mu, Nadia Arsa Wijaya!" sahut Bianca ketus dengan senyum smirk nya.

"A-apa maksudmu?" Nadia tidak paham, yang Nadia tau Bianca saat ini sudah jelas sangat marah dan kecewa padanya.

"Apa kamu tidak sadar diri selama ini? Kamu selalu merebut setiap hal yang aku inginkan, Nadia!" Kini nada bicara Bianca naik beberapa oktaf, membuat manik cantik Nadia berbinar seketika karena menahan tangis.

Nadia memekik terkejut. Gadis itu memejamkan matanya ketakutan. Sementara Bianca beranjak dari duduknya, dan berjalan perlahan mendekati Nadia.

"A-aku? Aku merebut apa? Apa yang kamu inginkan?" tanya Nadia dengan tatapan sendu bercampur dengan rasa gugup luar biasa.

"Segalanya... Kamu merebut segalanya dari aku. Termasuk kebahagiaan ku," jawab Bianca dengan nada gemetar.

Tidak seperti biasanya ketika Bianca marah pada Nadia, jika Bianca marah maka Nadia sudah tau persis adiknya itu akan membentaknya ataupun memukulnya. Tapi kali ini, Bianca terlihat menahan tangis. Ada apa dengan Bianca sebenarnya?

"Bianca... Katakan, apa yang aku rebut. Jangan seperti ini, aku benar-benar tidak mengerti maksud mu, Bianca..." Nadia berusaha meraih pergelangan tangan Bianca.

"Jangan sentuh aku!" Dengan kasar, Bianca menepis tangan Nadia.

"Kamu tau apa yang membuat aku sangat-sangat tidak menyukai mu?" tanya Bianca pada kakak tirinya.

Nadia diam, ia tidak tau harus menjawab bagaimana. Bahkan untuk menatap mata sang adik saja ia tidak sanggup. Saat ini Bianca benar-benar terlihat sangat marah padanya, namun kemarahan Bianca kali ini sangat berbeda dari kemarahan Bianca sebelum-sebelumnya. Gadis itu tidak menampar atau memukul kakaknya seperti yang biasa ia lakukan, Bianca justru diam dan hanya menatap Nadia yang tidak berani menatap dirinya.

"Jika kamu ingin tau, maka jawabannya adalah wajahmu. Wajah cantik mu itu," lanjut Bianca dengan nada tegas dan begitu menusuk di dada Nadia.

Nadia mematung mendengar pernyataan dari Bianca. Bagaimana mungkin Bianca yang terkenal dengan pesona dan kecantikan nya itu mengatakan hal seperti ini? Padahal juga tidak banyak orang mengatakan kalau Bianca itu lebih sempurna dari Nadia, Bianca bahkan juga tidak kalah pandai dengan Nadia sendiri.

"K-kenapa kamu berkata seperti itu, Bianca? Apa yang salah dengan mu? K-kamu bahkan lebih cantik dari aku," ucap Nadia tergagap. 

Kini Bianca tak sanggup menahan tangis nya. Air mata gadis itu menetes perlahan. Nadia begitu terkejut melihat Bianca meneteskan air matanya. Ini adalah kali pertama Bianca melihat itu.

"Tapi, daripada itu semua... Aku lebih membenci sifatmu!" pungkas Bianca.

Gadis itu pergi begitu saja dari kamar Nadia sambil mengusap kasar air mata yang jatuh di kedua pipinya. Berjalan cepat dan membanting pintu kamar Nadia. Sementara Nadia tidak mengerti dengan maksud Bianca. Dengan tak berdaya, Nadia jatuh terduduk di atas kasurnya. Air matanya pun tidak bisa ia tahan. Ini kali pertama ia melihat Bianca yang marah hingga menangis.

"Apa salah ku, Ca? Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini padaku? Kenapa kamu berubah? Aku merindukan Aca ku yang dulu..." ucap Nadia dengan suara parau nya.

Nadia memandang pintu kamarnya yang tertutup. Gadis itu kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya. Namun air mata itu terus keluar dari pelupuk mata cantiknya. Hingga mungkin karena terlalu lelah dan juga beban pikirannya yang tidak karuan, tanpa sadar Nadia tertidur.

Namun lain hal di kamar Bianca saat ini. Gadis cantik berambut cokelat itu menangis sesenggukan di samping ranjangnya. Sebenarnya ia tidak tega mengucapkan kata-kata kasar seperti tadi pada kakaknya, namun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat kakaknya itu menjadi wanita yang kuat dan hebat.

Bianca melakukan ini supaya kakaknya menjadi orang yang tidak mudah di tindas oleh orang lain. Namun, sudah hampir 10 tahun Bianca melakukan ini kakaknya itu masih saja menjadi orang yang mengalah dan baik hati. Bianca tidak mau itu terjadi karena suatu saat mamanya pasti akan menjatuhkan Nadia.

Sementara Bianca sendiri memiliki janji untuk ia tepati pada Bunda kandung Nadia sebelum wanita itu meninggalkan putri kandungnya.

"Bunda, Bianca sudah berusaha. Tapi, Kak Nadia tetap tidak berubah. Dia tetap jadi kakak Bianca yang baik hati. Bagaimana cara Bianca mengatakan pada Kak Nadia kalau dia harus berusaha melawan? Sebentar lagi Kak Nadia akan berusia 18 tahun. Mama pasti akan melakukan sesuatu untuk melenyapkan Kak Nadia. Bianca harus bagaimana, Bunda?" lirih gadis itu sambil terus menangis dan menenggelamkan wajahnya di antara keduanya lututnya.

Dan ya, janji Bianca itu hanya untuk membuat Nadia merubah sifatnya lebih tegas dan tidak selalu mengalah. Entah karena itu sifat asli Nadia atau bagaimana, tetapi yang jelas semakin lama Bianca sendiri sudah semakin tidak tahan jika harus terus menerus berpura-pura jahat pada kakaknya.

Jujur saja, Bianca sudah lelah untuk menutupi segala kasih sayangnya pada sang kakak dengan perbuatan kasarnya. Bianca rindu akan kebersamaan antara dirinya dan sang kakak.

"Apa aku harus jujur sama dia tentang semuanya?" gumam Bianca yang sudah frustasi.

.


Chapter 12: Perasaan iri hati orang lain

Keesokan harinya, Nadia bersiap untuk pergi ke sekolah seperti biasanya. Berusaha melupakan kejadian semalam. Ia berharap Bianca sekarang juga sudah merasa lebih baik. Mungkin Bianca terlalu marah padanya karena ia bersama dengan Rafandra.

Seperti biasanya, Nadia menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sebelum berangkat ke sekolah. Setelah semuanya sudah ia pastikan rapi dengan baik, barulah Nadia berangkat ke sekolah dengan tenang.

Gadis itu berjalan santai menyusuri koridor sekolah. Senyuman manisnya tidak pernah ia lupakan, dan ia juga selalu menyapa siswi lain yang berpapasan dengannya karena Nadia memang terkenal dengan keramahannya.

Saat asyik berjalan dan bersenandung kecil, gadis itu tiba-tiba ter-pelonjat kaget, sebab ada tangan kekar yang tiba-tiba menyender di punggungnya, lalu merangkul punggung sempit itu.

"Rafa?!" pekik Nadia saat tersadar siapa pemilik tangan itu.

Dengan segera, Nadia menepis tangan Rafa. Gadis itu tidak mau menambah masalah lagi dengan Bianca. Tidak lagi untuk saat ini dan seterusnya.

"Kenapa?" tanya Rafa tidak paham. Remaja laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Apanya yang kenapa?" tanya Nadia balik.

"Kenapa melarang ku merangkul mu?" jelas Rafa.

Nadia terdiam sejenak dan berpikir alasan apa yang tepat supaya Rafa tidak sakit hati ataupun salah paham.

"A-aku hanya tidak suka. Aku risih," ucap Nadia tanpa melihat siapa yang mengajaknya berbicara.

"Ck, kamu ini..." decak Rafa.

Tidak menghiraukan Rafa, Nadia berjalan begitu saja meninggalkan remaja itu. Membuat Rafa menggelengkan kepalanya takjub dengan sifat Nadia yang berubah-ubah dalam sekejap. Kemarin Nadia menurut, lalu marah dan dingin. Sekarang seperti itu lagi, hanya saja gadis itu masih berusaha untuk berbicara dengan sopan.

Rafa sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Nadia. Mungkin itu semua karena Rafa hanya mengenal Nadia dari sisi luarnya saja. Sebab tidak ada yang tau bagaimana sisi dalam Nadia yang sebenarnya penuh luka tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya.

"Hei,  Nadia. Tunggu aku!" teriak Rafa memanggil gadis cantik yang sudah berjalan cepat semakin meninggalkan dirinya.

Nadia tidak menghiraukan panggilan Rafa, ia terus berjalan cepat bahkan sampai berlari kecil untuk menghindari siswa baru yang selalu membuntutinya itu. Nadia risih juga takut, ia segera masuk ke dalam kelasnya secepat mungkin.

Gadis cantik itu menghela nafas lega ketika melihat Yeri sahabatnya sudah duduk manis di bangkunya. Setidaknya ada yang akan membantu nya untuk menghindari Rafa pagi ini. Nadia berjalan perlahan menghampiri Yeri dan duduk di bangku kosong samping siswi berpipi chubby itu.

Beberapa saat kemudian, Nadia sadar dengan raut wajah Yeri yang tidak seperti biasanya. Gadis gembul itu terlihat lesu dan tidak bersemangat. Merasa tidak biasa, Nadia tersenyum tipis dan menatap sahabatnya itu dengan lekat. Namun tidak ada pergerakan dari Yeri yang masih diam menyenderkan kepalanya di atas mejanya.

"Kamu kenapa?" Nadia memberanikan diri untuk bertanya Yeri.

Yeri menghela nafas berat dan hanya menggeleng pelan sebagai respon dari pertanyaan Nadia. Merasa tidak puas dan tidak percaya, Nadia bertanya lagi.

"Kamu kenapa? Jawab aku," kini Nadia sedikit memaksa Yeri untuk menjawab.

Yeri mengangkat kepalanya dan menatap Nadia dengan sendu yang mana membuat Nadia terheran-heran karena tidak biasanya Yeri yang galak berubah menjadi seperti gadis lemah.

"Apa aku sangat gemuk ya?" Yeri menatap Nadia dengan tatapan semakin sendu, bahkan bibirnya pun mengerucut.

"T-tidak, tidak gemuk sama sekali. Apa yang kau tanyakan ini?" Nadia menatap Yeri sambil tersenyum, tangannya menggenggam tangan Yeri.

"Aish, jangan mengatakan itu untuk menenangkan aku saja. Jawablah dengan jujur, Nadia," gerutu Yeri.

Nadia menggeleng. "Aku sudah jujur. Kau tidak gemuk, Yeriee..."

"Ck, tapi lelaki menyebalkan itu mengatakan kalau aku gemuk. Bahkan katanya aku menghalangi jalannya ... Huwaaa~~..."

Seketika Nadia panik, Yeri tiba-tiba merengek seperti bayi. Dengan cepat Nadia membekap mulut gadis gembul itu, sebab anak-anak yang lain sudah melempar tatapan tak suka dengan suara mengganggu Yeri.

"Sssttt... Apa kamu tidak malu? Di kelas banyak anak-anak yang lain," ucap Nadia berusaha menenangkan sahabatnya itu (lagi).

"Huem, mulai sekarang, aku tidak akan makan. Aku ingin kurus," sahut Yeri sambil sedikit terisak dan mengusap ingusnya yang sedikit keluar.

"Jangan menyiksa dirimu. Katakan padaku siapa laki-laki yang mengatai dirimu. Akan ku habisi dia," Nadia berkacak pinggang, berakting seolah-olah ingin mengajak baku hantam.

Yeri mendengus kasar. "Aku tidak mengenal nya. Aku hanya bertemu di toserba kemarin malam," jujurnya.

"Sudahlah, jangan seperti ini, kau itu sudah cantik apa adanya. Yang terpenting kan kau sehat, jangan insecure. Mengerti?" tutur Nadia membuat Yeri mengangguk-anggukkan kepalanya seakan menurut.

Nadia tersenyum lega ketika sahabatnya itu sudah tenang. Ya, cukup beruntung jika Yeri tidak melanjutkan aksi merengek manjanya. Terlebih lagi Nadia sudah cukup pusing karena harus menghindari Rafa yang bahkan saat ini masih memandangi dirinya dari bangkunya.

"Beruntung nya jika aku jadi dirimu,"

Perkataan Yeri membuat Nadia mengerutkan keningnya. Nadia tidak paham dengan apa yang baru saja di katakan oleh sahabatnya itu.

"Apa alasan mu bilang seperti itu?" tanya Nadia.

"Kamu cantik, wajahmu sempurna dan juga tubuh mu indah. Semua orang menyukai mu. Bagaimana pun juga, kau beruntung bukan?" jawab Yeri sambil menundukkan wajahnya.

"T-tapi, aku tidak pernah mendapatkan cinta seperti apa yang selama ini orang lain dapatkan, Yer," lirih Nadia.

Yeri seketika mendongakkan kepalanya. Gadis itu tau apa yang di maksud oleh Nadia, sebab selama ini hanya ia yang mendengar segala keluh kesah dari gadis cantik sahabatnya itu. Yeri merasa sangat bersalah karena secara tak langsung ia berpikir sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Nadia.

"Maaf Nadia. A-aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu tentang itu. Maaf," ucap Yeri panik.

Nadia tersenyum teduh dan menggeleng. Nadia sebenarnya juga tau kalau sahabatnya itu tidak mungkin memiliki pemikiran seperti itu. Nadia paham bahwa yang di inginkan oleh Yeri hanya fisiknya, namun itu benar-benar bertolak belakang dengan keinginan Nadia yang selama ini hanya menginginkan cinta dan kasih sayang tulus dari semua orang di dekatnya. 

"Ah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku mengerti maksud mu," sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung Yeri lembut.

Yeri tersenyum canggung. "odohnya aku mengatakan ini!" batinnya.

Sementara Nadia mulai sibuk mengeluarkan buku-buku dari tas sekolahnya. Menata buku pelajaran itu rapi di atas meja nya. Kemudian, ia melamun dan kembali bersedih. Semua orang mengira hanya karena memiliki fisik sempurna membuat dirinya bahagia dan mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Namun pada kenyataannya itu adalah kesalahan yang besar.

Nadia tidak pernah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan mudah. Harus ada usaha yang lebih untuk segalanya yang ia inginkan. Belum lagi jika Bianca atau Mama tirinya yang menghalangi keinginannya.

Sejak dulu, Bianca ingin menyerah pada keadaan karena ia merasa tidak sanggup untuk menjalaninya. Namun karena dukungan dari Yeri dan karena ia juga menunggu janji dari Bunda nya membuat ia harus berpura-pura tegar untuk waktu yang lama.

Kebahagiaan yang selama ini Nadia inginkan hanya menjadi sebuah angan-angan belaka bagi gadis berusia 17 tahun tersebut. Cukup beruntung baginya memiliki sahabat seperti Yeri yang mau menerima dirinya dengan baik tanpa memandang apapun dari sisi baik buruk dirinya.

Jika bukan karena Yeri, mungkin Nadia sudah menjadi korban bully anak-anak yang lain sebab tidak ada yang mau berteman dengannya secara tulus karena kebanyakan dari mereka hanya menaruh perasaan iri pada Nadia.

Sungguh menjadi sebuah keprihatinan tersendiri bagi gadis cantik itu.

"Jika kalian iri pada fisikku, apa aku juga boleh iri pada kebahagiaan kalian? Jika aku boleh memilih, aku hanya ingin di hargai karena apa adanya diriku. Aku tidak ingin di hargai karena fisik atau belas kasihan. Sungguh, ini membuatku semakin merasa tidak berguna sudah di lahirkan di dunia ini!" batin Nadia. Kemudian ia tersenyum kecut.

..


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C11
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT